tirto.id - Perang kemerdekaan Indonesia selama periode 1945-1949 juga berlangsung dalam suasana chaos di mana ada dua kubu yang berusaha membunuh satu sama lain, dan kekerasan dalam beragam bentuk juga lumrah dipraktikkan. Meski demikian, masyarakat Indonesia era kekinian rajin mengawetkannya dalam beragam produk budaya populer, mulai dari musik, buku, hingga film.
Fenomena ini akan dijadikan pokok penelitian dalam proyek disertasi Arnoud Arps, staf pengajar di University of Amsterdam, Belanda, sebagaimana Arnoud sampaikan dalam kuliah umum bertajuk “Pop patriotism and violent memories: Remembering the Indonesian War of Independence through contemporary Indonesian popular culture” yang diselenggarakan di Ruang Sidang 1 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM), Selasa (22/8/2017).
“Lagu-lagu perjuangan yang mengglorifikasi semangat perjuangan melawan penjajahan Belanda, contohnya, dibawakan kembali oleh sebuah grup punk rock asal Yogyakarta Endank Soekamti. Hal ini menarik. Promosi dan popularitasnya selalu ramai di bulan Agustus. Contoh lainnya adalah grup band Cokelat dan lagu-lagu perjuangan yang mereka remake,” papar Arnoud.
Saat berjalan-jalan di kawasan Kota Tua di Jakarta, Arnoud bertemu dengan orang yang berdandan menyerupai Jenderal Soedirman dan pahlawan lain dalam sejarah perjuangan Indonesia. Mereka mendapatkan nafkah dari biaya foto bersama. Arnoud juga menganggap profesi tersebut menarik sebab banyak orang yang ingin berfoto bersama mereka, terlepas dari motifnya apa, yang nanti akan ia teliti lebih lanjut.
Awetnya patriotisme '45 dalam benak masyarakat Indonesia juga muncul sebagai latar belakang cerita dalam karya literatur, yang Arnoud contohkan dengan buku Cantik adalah Luka karya Eka Kurniawan atau Soedirman & Alfiah karya E. Rokajat Asura. Meski demikian, kata Arnoud, produk budaya populer yang paling sering bertemakan patriotisme '45, terutama sejak tumbangnya Orde Baru, adalah film.
Arnoud menyebut sejumlah film kontemporer yang ia teliti, antara lain Soegija (2012), Trilogi Merdeka (2009-2011), Laskar Pelangi (2008), Battle of Surabaya (2015), Soekarno: Indonesia Merdeka (2013), dan Jenderal Soedirman (2015). Film, baginya, bertindak sebagai salah satu medium paling baik untuk menarasikan kembali sejarah perang revolusi yang terjadi 70 tahun yang lalu.
“Rujukan awal teori saya salah satunya buku 'Prosthetic Memory: The Transformation of American Remembrance in the Age of Mass Culture' karya Alison Landsberg. Lansberg menyebutkan bahwa media massa, termasuk film, bisa menciptakan memori atau ide tentang masa lalu,” jelasnya.
Usai menonton film-film tersebut, lanjut Arnoud, ia menyepakati apa yang telah disampaikan sejumlah ahli cultural studies bahwa film perang kerap disajikan dalam nuansa hitam-putih dan didasarkan pada stereotip belaka. Arnoud menemukan gaya penceritaan ini dalam Trilogi Merah Putih.
“Ada jukstaposisi, di mana para pejuang Indonesia pasti digambarkan sebagai sosok protagonis yang sempurna: baik hati, patriot sejati, saleh, relijius, dan lain sebagainya. Sementara itu, di sisi seberang, pasukan Belanda sebagai tokoh antagonis digambarkan sebagai orang kafir, tidak bermoral, kasar, kejam, serakah, penipu, penjahat, dan sebagainya” jelasnya.
Lebih dari sekadar narasi visual, romantisme perjuangan juga Arnoud temui secara nyata. Contohnya dilakukan oleh Komunitas Djokjakarta 1945 yang kerap mereka ulang perang revolusi kemerdekaan di ruang publik dan jadi edukasi sejarah untuk publik yang menonton mereka.
Dalam bidang bisnis, Arnoud mencontohkan merek Damn! I Love Indonesia yang dimiliki artis Daniel Mananta. Saat berkunjung ke gerai resminya di Jakarta, Arnoud sempay membeli salah satu produk kaosnya, dan mengatakan bahwa harganya cukup mahal.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan