tirto.id - Tahun 1950-an, di Minahasa selatan terdapat kelompok bersenjata yang bernama Pasukan Pembela Keadilan (PPK). Menurut Berbara Sillars Harvey dalam Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (1984:50), anggota PPK terdiri dari ribuan personel yang kala itu dipimpin oleh Jan Timbuleng. Meski demikian, imbuhnya, persenjataannya sedikit sehingga tidak terlalu sering melakukan serangan terhadap militer maupun sipil. Maka itu, Barbara menyebutnya "hanyalah berupa gangguan kecil".
Dari sejumlah narasumber yang ia wawancarai, TNI terkesan agak membiarkan kelompok tersebut. Namun, hal itu dibantah oleh TNI dan beberapa bekas anggota PPK. Keberadaan kelompok ini, menarik perhatian para perwira Angkatan Darat yang bergabung dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara. Singkat cerita, PPK pun menjadi sekutu Permesta dengan nama Brigade 999. Pada April 1957, brigade ini terlibat dalam penyerbuan ke Sulawesi Tengah di bawah komando Mayor Daniel Julius Somba.
Bagi Permesta, PPK ternyata bukan sekutu yang menyenangkan. Ketika Permesta terus-terusan digempur tentara pemerintah pusat, gesekan pun mulai terjadi antara Permesta dengan PPK. Tahun 1959, hubungan mereka kian memburuk saat Jan Timbuleng dan Brigade 999 kembali ke pangkalan gerilya mereka, kemudian jadi tukang adang dan tukang rampas.
“Sejak empat bulan terakhir [pada tahun] 1959 mereka jadi sering menghadang, melucuti, bahkan membunuh-bunuhi sesama pasukan Permesta,” tulis Vintje Sumual dalam memoarnya.
Puncak perseteruan keduanya adalah ketika PPK menculik Kolonel Jacob Frederick Warouw. Kaki pemimpin tertinggi Permesta ini ditembak untuk memudahkan penangkapan. Hal ini kemudian diketahui para pimpinan Permesta lainnya, termasuk Ventje Sumual. Kala itu, dua komandan batalion Permesta yang berasal dari PPK--Gerson Sangekang alias Goan dan Otje Lisangan--tidak lagi tunduk pada perintah Jan Timbuleng. Mereka malah lebih dekat dengan Sumual.
Pada awal Oktober 1960, Sumual mengumpulkan para komandan Permesta, termasuk para perwira dari Brigade 999. Jan Timbuleng juga hadir. Dia merasa aman karena disertai pasukannya. Timbuleng bahkan tidak keberatan dengan aturan yang menyebutkan bahwa yang hadir dilarang membawa senjata.
Namun, ketika Timbuleng dan para perwira lain bertemu dengan Sumual, tiba-tiba pasukan Sumual menyergap Timbuleng dan pengikutnya. Sumual awalnya hendak membawa Timbuleng ke Pengadilan Militer Permesta. Namun, rencana itu gagal karena Timbuleng mencoba melarikan diri dengan merebut senjata petugas yang menjaganya. Dia berteriak minta tolong sambil melompat dari rumah tempatnya ditahan.
Penjaga lain segera bertindak, memberondong Timbuleng dengan peluru sebelum kakinya menyentuh tanah. Hal itu dilakukan karena Timbuleng banyak disebut sebagai orang sakti.
“Pelor dikatakan cuma melambung dari dadanya karena kekuatan magisnya. Banyak yang percaya, kekebalan Timbuleng begitu kuat selama dia berdiri di atas tanah, ia tidak mempan peluru apapun,” tulis Barbara Sillars Harvey dalam Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (1984:169). Kesaktiannya itu menjadi daya tarik para pengikutnya.
Di tempat lain, salah seorang anak buah Timbuleng yang bernama Hermanus Jus Parengkuan, menembak Warouw yang masih ditawan. Rupanya, ketika Timbuleng disergap, beberapa anak buahnya ada yang berhasil kabur dan menuju ke tempat Warouw. Di pihak lain, Sumual juga mengirimkan pasukan untuk menyelamatkan Warouw. Namun, pemimpin Permesta itu kadung ditembak. Si penembak dan kawan-kawannya kemudian menyerahkan diri kepada pemerintah pusat.
Bermula dari Kekecewaan Anggota APRIS
Di antara personel PPK, terdapat beberapa bekas pejuang pro Republik Indonesia, salah satunya No Korompis. Dia dan sejumlah pemuda Minahasa lainnya ikut melawan tentara Belanda di Sulawesi Utara pada masa revolusi kemerdekaan.
Menurut Ben Wowor dalam Sulawesi Utara Bergolak: Peristiwa Patriotik Merah-Putih, 14 Februari 1946 dalam Rangka Revolusi Bangsa Indonesia (1985:57&108), No Korompis pernah menjadi kurir militer. Dia bertugas membawa kabar dari pihak militer ke warga sipil pro Republik di sekitar Minahasa, tentang persiapan perebutan kekuasaan yang akan dilakukan serdadu-serdadu KNIL pro Republik di tangsi mereka.
Ketika pemberontakan kaum pro Republik di Minahasa akhirnya gagal, No Korompis segera memimpin pasukan untuk merebut senjata di tangsi polisi di Tondano meski akhirnya dia tertangkap juga.
Pada awal 1950-an, No Korompis bersama Sam Mangindaan bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Namun, No Korompis dan kawan-kawannya menemui kekecewaan.
“No Korompis [yang] sudah berpangkat kapten diturunkan sampai sersan. Begitu juga teman-teman mereka,” kata Vintje Sumual. Dari kekecewaan inilah PPK lahir sebagai korban dari proses transisi kemiliteran di negeri yang belum lama merdeka.
Selain kawan-kawannya sesama personel APRIS, yang tidak masuk APRIS pun diajaknya untuk bergerak melawan pemerintah pusat. Mereka kemudian bersatu di bawah komando Sam Mangindaan. Setelah Sam meninggal, komando PPK diteruskan oleh No Korompis. Sedangkan wakilnya adalah Jan Timbuleng, bekas serdadu KNIL yang pernah ikut batalion 3 Mei saat menumpas Republik Maluku Selatan (RMS).
Setelah operasi militer tersebut, hidup Jan Timbuleng dan kawan-kawannya terkatung-katung hingga akhirnya bergabung dengan PPK. Belakangan, pengaruh Jan Timbuleng di PPK lebih besar daripada No Korompis.
Keberadaan PPK menimbulkan keresahan di masyarakat, bahkan ketika mereka telah bersekutu dengan Permesta. “Pasukannya merampok rakyat di mana-mana, sehingga semakin menumbuhkan antipati masyarakat umum terhadap PRRI-Permesta secara keseluruhan,” tulis Sumual.
Bergabungnya PPK yang dipimpin Jan Timbukeng dengan Permesta, seperti ditulis Phill M Sulu dalam Permesta dalam Romantika, Kemelut, & Misteri (2013:250), tak lepas dari ikatan keluarga antara Timbuleng dengan salah satu pentolan Permesta, Laurens Frits Saerang. Komandan PPK itu menikah dengan Pauline Saerang, adik Laurens Frits Saerang.
Editor: Irfan Teguh Pribadi