tirto.id - Benny Moerdani oleh banyak kalangan dicap sebagai jenderal anti Islam. Pemicunya tak lain adalah Tragedi Tanjung Priok yang menewaskan ratusan kaum muslimin. Atas peristiwa berdarah tersebut, Benny yang saat itu baru setahun lebih menjadi Panglima ABRI, segera bekerja keras untuk memulihkan keadaan. Ia tak mau jika ABRI dilabeli sebagai musuh umat Islam.
Seperti dilaporkan Tempo (12/10/2014), pada akhir 1984 Benny melakukan safari dari pesantren ke pesantren. Ditemani Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai tokoh penting Nahdlatul Ulama (NU), Benny mengunjungi Pesantren Lirboyo, Kediri, pimpinan Kiai Mahrus Ali. Benny juga menyambangi Kiai As’ad Samsul Arifin di Situbondo.
Dalam beberapa pertemuan tersebut, Benny mengatakan bahwa pelbagai penangkapan pada peristiwa Tanjung Priok ditujukan kepada para perusuh yang kebetulan beragama Islam, bukan Islamnya yang ditangkap.
Menurut Greg Burton dalam dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography (2003:155), ”Benny sangat tidak dipercaya oleh kebanyakan pemimpin Muslim, khususnya di antara kaum modernis kota.” Oleh karena itulah ia mendekati para pemimpin Islam tradisional di pesantren-pesantren, termasuk kedekatannya dengan Gus Dur.
Sepengetahuan Sekretaris Utama Menteri Pertahanan Keamanan di era Benny, Mayor Jenderal Purnawirawan Suryadi, Benny banyak memberikan bantuan ke pesantren-pesantren dan membangun masjid. Sementara menurut Setiawan Djody, Benny juga menyumbang perpustakaan untuk Pesantren Darussalam, Ciamis.
Gus Dur, menurut adiknya, Gus Sholah alias Sholahudin Wahid, sangat mengagumi Benny meski kerap berbeda pandangan. Dalam catatan Greg Burton, Gus Dur mengaku bahwa ada sisi di mana ia muak dengan Benny yang dekat dengan kekerasan. Meski demikian, Gus Dur juga melihat Benny adalah sosok yang masih bisa diharapkan.
Benny, menurut Gus Dur dalam tulisannya di buku LB Moerdani: Langkah Perjuangan (2005), mampu ”memegang pendirian bahwa harus ada perbedaan yang tegas antara mana yang menjadi tanggungjawab negara dan mana milik agama itu sendiri.”
Dalam pandangan Gus Sholah, Gus Dur dan Benny adalah orang yang pluralis dan nasionalis, keduanya menjalin mutualisme. Benny butuh pembuka jalan untuk masuk ke golongan Islam, sementara Gus Dur memanfaatkannya untuk memperkuat posisi NU dalam peta politik Orde Baru.
”Gus Dur, setahu saya, lihai sekali memainkan momen-momen seperti itu untuk kepentingan dia,” ujar Gus Solah. Sementara bagi Gus Dur, penting utnuk memelihara hubungan dengan jenderal-jenderal pemegang tentara. Apalagi Benny tampak butuh bantuannya.
Gus Dur tampak yakin Benny bisa menjadi pelindungnya. Greg Burton menyebutkan dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography (2003:155), ketika Gus Dur mengalami penahanan di era 1980-an, ia meminta kawan-kawannya memberi tahu markas besar ABRI pimpinan Benny. Itulah jurus ampuh Gus Dur untuk segera lepas dari penahanan aparat Orde Baru.
Dari Muktamar hingga Israel
Tahun 1980-an, Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal yang sontak ditolak oleh banyak kalangan Islam. Dalam kondisi seperti itu, NU malah bersikap sebaliknya dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Bagi Gus Dur, Pancasila adalah kompromi terbaik antara Islam dengan golongan lain di Indonesia.
Setelah Pemilu 1982, NU sempat terpecah antara kubu Cipete yang dipimpin Kiai Haji Idham Khalid dengan kubu Situbondo yang dipimpin Kiai Haji As’ad, yang menginginkan NU keluar dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam muktamar 1984, NU pun mengambil keputusan untuk Kembali ke Khittah 1926.
Pada muktamar tersebut, Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Menurut Jusuf Wanandi dalam Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia, 1965-1998 (2012) Benny ikut membantu Gus Dur dalam acara yang berlangsung di Situbondo tersebut.
Meski demikian, Benny tak selama mendukung Gus Dur. Pada muktamar 1989, Benny diam-diam justru mendukung orang-orang yang menentang Gus Dur terpilih kembali menjadi Ketua PBNU. Benny khawatir Gus Dur akan mendukung Soeharto, namun nyatanya tidak.
Setelah Benny disingkirkan Soeharto, Gus Dur masih terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Bahkan ketika Soeharto tak menghendaki kepemimpinan Gus Dur di organisasi Islam terbesar di Indonesia itu, Gus Dur tetap terpilih lagi.
Menurut catatan Kivlan Zen dalam Konflik dan Integrasi TNI-AD (2004:84), sebagaimana Benny yang pernah mendukung dirinya pada Muktamar NU 1984, Gus Dur juga pernah mendukung Benny Moerdani untuk maju menjadi Presiden. Selain itu, terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU untuk yang ketiga kalinya menyebabkan perseteruan antara Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung dengan KSAD R. Hartono.
Setelah Benny tak lagi menjadi pejabat penting, hubungannya dengan Gus Dur tetap baik. Bahkan terdapat anekdot antara keduanya seperti terdapat dalam Ger-geran bersama Gus Dur: Edisi Spesial Mengenang Gus Dur (2010:77) yang disusun oleh Hamid Basyaib.
Suatu kali di tahun 1994, Gus Dur berkunjung ke Israel. Pulang dari sana, Gus Dur terkagum-kagum pada negeri itu. Ia pun bertemu dengan Benny dan bertanya kepada sahabatnya itu, “Pak Benny, kok Israel itu negaranya maju sekali, ya? Kok bisa, ya? Saya ndak habis pikir, tuh."
Benny pun menjawab, “Ya karena di Israel tidak ada Dharma Wanitanya."
Editor: Irfan Teguh