Menuju konten utama

Partisipasi Publik Masih Rendah dalam Penyusunan RUU Sisdiknas

Aspek partisipasi publik dinilai masih rendah saat pemerintah menyusun RUU Sisdiknas.

Partisipasi Publik Masih Rendah dalam Penyusunan RUU Sisdiknas
Siswa mengerjakan soal ujian sekolah di SMPN 1 Kudus, Kudus, Jawa Tengah, Senin (7/3/2022). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/rwa.

tirto.id - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) merespons masuknya RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas perubahan 2022 ke Baleg DPR RI. P2G memberikan enam catatan kritis terkait masuknya RUU Sisdiknas.

Pertama, P2G menilai RUU Sisdiknas masih minim dalam melibatkan pemangku pendidikan. Uji publik yang pernah dilakukan Februari 2022 lalu terkesan formalitas saja. Sebab organisasi yang diundang hanya diberi waktu lima menit menyampaikan komentar dan masukan. Aspek partisipasi publik dinilai masih rendah.

"Adapun uji publik oleh Kemdikbudristek terkesan pelengkap syarat formal saja. Kami pun belum mendapatkan penjelasan atau jawaban dari Kemdikbudristek atas pendapat yang telah kami berikan (right to be explained)," kata Rakhmat Hidayat, Dewan Pakar P2G melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (27/8/2022).

Kedua, P2G menilai RUU Sisdiknas bersifat Omnibus Law. RUU Sisdiknas akan menggantikan tiga UU sekaligus: UU Guru dan Dosen; UU Sisdiknas; dan UU Pendidikan Tinggi.

Jika Kemdikbudristek ingin membentuk satu sistem pendidikan nasional, dia pun mempertanyakan mengapa hanya memasukkan tiga UU pendidikan saja dalam RUU Sisdiknas. Padahal masih banyak lagi UU pendidikan seperti UU Pesantren, UU Pendidikan Kedokteran.

"Apakah Pesantren bukan bagian dari satu sistem pendidikan nasional? Ini namanya omnibus law setengah hati", kata Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G.

Ketiga, P2G khawatir pembahasan RUU Sisdiknas ini akan bernasib sama dengan UU IKN dan UU Cipta Kerja. Pemerintah dan DPR terbukti mengebut pembahasan sampai pengesahannya. Sehingga banyak dikritik oleh masyarakat sipil karena tidak partisipatif. Padahal prasyarat pastisipasi publik yang bermakna adalah mutlak berdasarkan putusan MK tahun 2020.

"Kami khawatir, pembahasan RUU Sisdiknas dipaksakan, pembahasannya dikebut untuk cepat disahkan. RUU Sisdiknas akan menjadi RUU Roro Jongrang istilahnya, sistem kebut semalam langsung jadi, begitu kira-kira analoginya," lanjut Satriwan.

Keempat, menurut Satriwan, masih banyak persoalan pendidikan dan guru yang mestinya segera dibenahi Kemdibudristek ketimbang membuat UU Omnibus. Pemulihan pembelajaran usai pandemi masih menjadi PR besar. Dampak jangka panjang akibat pandemi terhadap pendidikan dan sekolah akan dirasakan beberapa tahun ke depan.

Kelima, bagi P2G, sebelum membuat RUU Sisdiknas, Kemdikbudristek hendaknya membuat terlebih dulu Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN). PJPN urgen dan vital dibuat, sebagai gambaran rancangan besar bagaimana pendidikan nasional Indonesia direncanakan dan dikelola.

"Oleh karena itu RUU Sisdiknas sebenarnya hanya salah satu bagian saja dalam mencapai tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. PJPN sebagai induknya, sedangkan UU Sisdiknas salah satu bagian turunannya," menurut Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G.

Keenam, Iman melanjutkan, RUU Sisdiknas belum memberi solusi kongkrit terhadap persoalan guru honorer, guru swasta, dan guru PPPK (pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).

"Mestinya RUU Sisdiknas memberi solusi permasalahan guru honorer di tanah air, mengingat ratusan ribu guru honorer diupah rendah di bawah UMP/UMK. Tak satupun pasal di dalamnya memuat klausul tentang upah minimum guru non ASN," ucapnya.

Menurutnya, P2G masih meragukan RUU Sisdiknas akan mengangkat harkat dan martabat guru di tanah air.

P2G juga sangat menyayangkan, keberadaan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai kampus pencetak tenaga guru dan tenaga kependidikan hilang dari RUU Sisdiknas. Padahal keberadaan LPTK dimuat dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang masih berlaku.

"Kami menilai Kemdikbudristek mencampakkan begitu saja LPTK. Padahal sudah puluhan tahun mencetak puluhan juta guru yang mendidik anak bangsa," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait RUU SISDIKNAS atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Bayu Septianto