Menuju konten utama

Partai Masih Menimbang Pilihan Soal Presidential Treshold

Beberapa partai masih belum dapat menentukan berapa ambang batas presidential treshold yang cocok untuk diterapkan pada RUU Pemilu untuk 2019 mendatang.

Partai Masih Menimbang Pilihan Soal Presidential Treshold
Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu (Pansus RUU Pemilu) Lukman Edy (kedua kanan) didampingi Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Benny K Harman (kanan), Yandri (kedua kiri) dan Riza Patria (kiri) memimpin rapat Pansus RUU Pemilu di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (13/6). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Beberapa partai masih belum dapat menentukan berapa ambang batas presidential treshold yang cocok untuk diterapkan pada RUU Pemilu untuk 2019 mendatang. Hal ini diujarkan oleh beberapa petinggi partai, antara lain PAN dan Gerindra pada hari ini, Kamis (6/7/2017).

"PAN sikapnya fleksibel. Misal 10 persen jadi sepakat, saya kira lebih baik," pungkas Yandri Susanto yang merupakan anggota Komisi II dari fraksi PAN yang membidangi masalah pemilu.

Menurut Yandri, pansus RUU pemilu masih tetap bekerja dan apabila sampai tanggal 10 Juli mendatang keputusan tidak bisa diambil, maka akan diadakan pengambilan suara per item.

Sampai sekarang ada 5 hal yang masih harus dikaji dalam RUU pemilu, yakni terkait ambang batas pencalonan Presiden, ambang batas parlemen, metode konversi suara ke kursi, alokasi kursi ke dapil, dan sistem pemilu.

Yandri menilai bahwa sikap pemerintah menjadi penentu pengambilan keputusan di DPR. "Tergantung sikap pemerintah sebetulnya," tuturnya.

PAN sendiri tidak bisa menilai sikap fraksi yang lain karena perubahan pilihan bisa saja terjadi dalam rapat resmi. Namun, Yandri mengaku bahwa PAN sudah menentukan sikap, yakni mencegah keputusan agar tidak buntu.

Namun, ketika ditanyakan terkait suara PAN bila presidential treshold mencapai ambang 20 persen, Yandri enggan menjawab dengan tegas.

"Kita belum sampai sana," terang Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu ini.

Yandri menambahkan bahwa sejatinya, banyak pihak yang awalnya memilih ambang batas 0 persen menjadi 10 - 15 persen. Tetapi, suara yang di angka 20 persen masih urung menerima hal tersebut. Yandri sendiri mengaku setuju untuk mengajak fraksi lain agar setuju dengan ambang batas 10 - 15 persen.

Sebelumnya, ketua PAN, Zulkifli Hasan juga berpendapat demikian, bahkan ia merasa DPR tak perlu bertemu presiden.

"Kelihatannya ada semacam titik temu karena 20 persen terlalu tinggi, 0 persen tidak ada. 10-15 persen menjadi solusinya," jelas Yandri.

Sedangkan Gerindra, melalui Sekretsris Jenderal Ahmad Muzadin menikai bahwa pihaknya sebisa mungkin ingin melaksanakan preisdential treshold tanpa ambang batas, atau 0 persen. Hal ini didasari berdasarkan fakta bahwa pada 2019, pemerintah menganut sistem pemilu serentak.

"Serentak atau bersama-sama itu artinya meniadakan treshold," pungkasnya. "Makanya kita menginginkan (PT) 0 persen."

Menurutnya, meski masih akan membicarakan, Muzadin ingin agar PT 0 persen bisa terwujud sebagai bentuk cara pandang konstitusi. Meski demikian, dengan adanya PT 0 persen, bisa saja dimungkinkan adanya presiden terpilih tanpa dukungan suara di parlemen. Tapi Muzadin menyatakan tidak keberatan. "Bahwa nanti ada presiden terpilih tidak didukung oleh parlemen pun mungkin saja," terangnya.

Benny K Harman dari fraksi Demokrat pun turut menyatakan bahwa 'ketidakmampuan Presiden memperoleh majority vote koalisi di parlemen' menjadi sebab terjadinya perdebatan terkait ambang batas suara. Benny menyarankan agar presiden sebaiknya mengundang perwakilan partai untuk berdiskusi.

"Regulasi sudah jelas ini. Dikatakan musyawarah untuk mufakat," katanya."Ya, silakan voting."

Baca juga artikel terkait RUU PEMILU atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maya Saputri