tirto.id - Kampanye pemilihan umum (Pemilu) 2019 resmi berlangsung sejak 23 September lalu. Namun, tidak semua jenis kampanye sudah boleh dilakukan. Merujuk pada UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 276 Ayat 2, masih ada dua jenis kampanye yang belum boleh dilakukan yakni kampanye berupa rapat umum dan kampanye berupa iklan media massa, media cetak maupun elektronik.
Aturan main perundangan hanya memberi waktu 21 hari bagi partai politik (parpol) untuk melakukan kampanye terbuka. Itu berarti hanya akan berlangsung dari 24 Maret 2019 hingga 13 April 2019. Beberapa parpol sempat menyatakan kecewa, karena saluran media elektronik dianggap sebagai alat kampanye yang cukup efisien dengan jangkauan publik calon pemilih yang luas.
Tak hanya soal waktu, materi iklan di media elektronik pun juga diatur. Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU No 23 Tahun 2018 (PDF) menetapkan aturan kampanye di media massa (termasuk media elektronik). Misalnya, batasan yang jelas, mulai dari soal isi materi hingga maksimum kemunculan iklan yang diperbolehkan.
Batasan-batasan tersebut penting mengingat belanja iklan di media elektronik dianggap bisa menjangkau publik dengan luas sehingga dinilai efektif. Ini bisa dilihat dari belanja iklan partai politik yang cukup besar pada Pemilu 2014, dan diperkirakan meningkat pada Pemilu 2019. Tirto telah merangkum total belanja iklan dari partai-partai di Indonesia. Data diambil dari Adstensity, sebuah platform monitoring iklan televisi. Dua hal akan menjadi bahasan yakni belanja iklan dua bulan sebelum pemilu 2014 (Februari dan Maret) dan belanja iklan pada Agustus dan September 2019.
Pemilu 2014
Dua bulan menjelang pemilu 2014 (bulan Februari), rekor belanja iklan tertinggi dipegang oleh PKB. Partai itu mengeluarkan duit hingga Rp22.786 miliar. Posisi kedua adalah Partai Hanura dengan belanja iklan mencapai Rp17.690,24 juta. Sementara, Partai Gerindra mengeluarkan lebih dari Rp12.849 juta untuk iklan televisinya.
Sebulan sesudahnya, giliran Partai Hanura yang menjadi juara belanja iklan. Partai yang didirikan oleh Menkopolhukam Wiranto ini mengalami peningkatan belanja iklan hingga 126 persen. Totalnya menjadi sekitar Rp39.941,33 juta.
Lonjakan belanja iklan bukan hanya dilakukan oleh Partai Hanura. Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri, PDIP, pada Maret 2014 mengeluarkan ongkos belanja iklan mencapai Rp23.696 juta. Padahal, sebulan sebelumnya, partai banteng itu hanya belanja iklan sekitar Rp750 juta. Ini artinya, belanja iklan PDIP meningkat lebih dari 3 kali lipat.
PAN pun tercatat melakukan hal yang sama. Pada periode bulan Februari 2014, mereka tercatat hanya mengeluarkan belanja iklan sebesar Rp 5.610 juta. Sebulan setelahnya belanja iklan tercatat naik hingga empat kali lipat.
Sementara, Partai Gerindra, dalam catatan Adstensity, malah menurunkan belanja iklannya sebulan sebelum pemilu berlangsung.
Pemilu 2019
Empat parpol telah memulai belanja iklan
Dalam kurun waktu dua bulan masa deklarasi hingga peresmian capres-cawapres Pemilu 2019, setidaknya ada empat partai yang mulai beriklan di televisi.
Pada Agustus 2018, PAN menganggarkan Rp40 juta untuk belanja iklan televisi. Kemudian PPP tercatat mengeluarkan anggaran belanja iklan hingga Rp9.930 juta. Sementara Partai Nasdem telah mengeluarkan ongkos sebesar Rp360 juta. Hanya Perindo yang mengeluarkan biaya belanja iklan paling tinggi. Partai milik dari Hary Tanoe itu telah belanja iklan mencapai Rp117.925,84 juta.
Tiga stasiun TV dapat jatah belanja iklan besar
Hanya Perindo dan PPP yang membagi belanja iklan ke berbagai stasiun. Sementara, Partai Nasdem hanya belanja iklan di satu saluran, yaitu Metro TV, yang tidak lain adalah stasiun televisi milik ketua umumnya sendiri, Surya Paloh. Atau, PAN yang tercatat hanya beriklan di Trans7 saja.
Sekalipun PPP tercatat parpol yang tidak punya afiliasi langsung dengan kepemilikan media, belanja iklannya muncul di jaringan media pendukung Joko Widodo. Iklan PPP yang mendapatkan slot di RCTI dan Global TV adalah wajar, sebab Hary Tanoe pemilik kedua media itu juga pendukung Joko Widodo.
Sementara Perindo, meski Hary Tanoe punya jaringan media sendiri, belanja iklannya muncul juga di TransTV, Trans7, KompasTV, Metro TV, TVOne, Net TV dan TVRI. Artinya, pilihan ekspansi iklan Perindo tidak hanya menggunakan kekuatan afiliasi kepemilikan media Hary Tanoe belaka. Bahkan, stasiun televisi yang merupakan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI masih menyediakan slot iklan untuk Perindo hingga periode September 2018.
Dari semua stasiun televisi, hanya tiga saja yang menerima jatah iklan parpol paling besar. Ketiganya yaitu: MNCTV, RCTI dan Global TV. Lagi-lagi, itu adalah jaringan media dari Hary Tanoe.
Tentu data lengkap belanja iklan periode dua bulan jelang pemilu 2019 masih perlu ditunggu. Namun, menggunakan data di atas saja, pembaca dapat melihat, belanja iklan untuk pemilu 2019 trennya lebih besar.
Total belanja iklan parpol selama Agustus 2018 tercatat mencapai Rp128 miliar untuk empat parpol. Sebanyak Rp94 miliar untuk satu parpol di September 2018. Angkanya jelas jauh dengan belanja iklan sebesar Rp74 miliar dari delapan parpol pada Februari 2014 dan Rp95 miliar pada Maret 2014. Catatan, capaian itu belum masuk fase dua bulan jelang pemilu nanti.
Belanja iklan Perindo pada Agustus 2018 (Rp 128 miliar) saja, totalnya melebihi belanja iklan delapan parpol pada Februari 2014 (Rp 74 miliar).
Rawan Konflik Kepentingan
Aturan kampanye memang akan membatasi ruang gerak promosi parpol. Namun sejauh mana aturan yang ada itu akan dapat diimplementasikan dengan baik masih akan menjadi pertanyaan. Ini mengingat kepemilikan media elektronik di Indonesia yang dikuasai oleh beberapa konglomerasi dan sebagian terafiliasi oleh partai politik, sehingga memunculkan kekhawatiran konflik kepentingan dan kemungkinan pelanggaran aturan.
Seperti diketahui, beberapa pemilik stasiun televisi ada yang menjabat sebagai ketua umum partai politik. Sebut saja Hary Tanoesoedibjo, pendiri sekaligus Ketua Umum Perindo adalah pemilik MNC Group (RCTI, MNC TV, Global TV). Atau, Surya Paloh sebagai pemilik MetroTV yang kini juga sebagai Ketua Umum Partai Nasdem. Sementara Aburizal Bakrie, pemilik TvOne, sudah lepas dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar, kini masih menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Gollkar.
Baik Hary Tanoe maupun Surya Paloh, selain partainya terdaftar sebagai peserta pemilu 2019, mereka masuk dalam barisan pendukung pasangan calon presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Demikian pula Partai Golkar yang juga berada di barisan pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin, meski Aburizal belum pernah secara tegas menyatakan dukungannya kepada pasangan nomor 1 ini.
Ketidaknetralan sejumlah pemilik stasiun televisi dalam kampanye sudah bisa dilacak sejak beberapa tahun terakhir. Catatan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada 2014 menemukan sejumlah pelanggaran. Dari total 182 sanksi kepada 12 stasiun televisi nasional sepanjang tahun tersebut, hampir sepertiganya (49 kasus) adalah sanksi terkait dengan penyelenggaraan pemilu.
Saluran televisi bakal menjadi sarana penting pada kampanye Pemilu 2019. Bukan sebatas untuk membentuk opini masyarakat, akan tetapi juga sebagai tanda bagaimana partai dan sosok dengan kapital besar mampu menguasai jaringan televisi. Catatan di atas saja telah menemukan parpol tertentu, jaringan media tertentu yang lebih punya daya daripada lainnya. Padahal, data belanja iklan di atas pun belum memperhatikan sejauh mana mereka melakukan pelanggaran, ataupun menyisipkan konten kampanye bukan pada slot iklan. Inilah pekerjaan rumah besar untuk mengawasi, agar frekuensi publik tidak digunakan untuk kepentingan sekelompok orang.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti