tirto.id - Pada 29 Agustus 1859 terjadi fenomena Matahari, yang disebut duo ahli antariksa Richard Carrington dan Richard Hodgson sebagai “white light flare”. Akibat aktivitas aneh Matahari tersebut, medan magnet Bumi rusak. Jaringan telegram di Amerika Serikat (AS) dan Eropa tiba-tiba terganggu. Masyarakat Bumi tak tahu apa yang menyebabkan Matahari bertingkah aneh dan mengapa white light flare terjadi.
Hampir seabad berselang, tepatnya pada 1958, Eugene Parker, fisikawan muda lulusan Michigan State University dan Caltech, merilis paper berjudul “Dynamics of The Interplanetary Gas and Magnetic Fields.” Paper itu melahirkan istilah “solar wind” atau angin surya, yang digunakan untuk menjelaskan fenomena Matahari yang menyemburkan partikel bermuatan atau “charged particles” ke segala arah, ke penjuru antariksa. Paper yang dibuat parker tersebut merupakan jawaban atas fenomena white light flare.
Sayangnya, kerja Parker itu kurang mendapat sambutan positif. Dalam laporan The New York Times paper tersebut dianggap masyarakat mengandung “gagasan yang salah.” Namun, Parker percaya diri dengan gagasannya. Ia menegaskan“tidak melihat sedikitpun kesalahan dalam gagasan ini.” Sembari merujuk pemikiran Newton tentang dinamika fluida.
Setelah 60 tahun berselang sejak dirilisnya paper tersebut, Parker memperoleh pembelaan terbaik atas karyanya. NASA, lembaga luar angkasa milik AS, meluncurkan wahana antariksa yang bertugas meneliti Matahari, salah satunya angin surya. NASA lantas memberi nama wahana itu Parker Solar Probe, yang merujuk nama si doktor kelahiran Michigan itu.
Parker Solar Probe
Parker Solar Probe merupakan wahana milik NASA yang, merujuk The Times, diluncurkan untuk “memahami angin surya serta berbagai implikasinya pada dunia sains dan kebijakan keamanan dunia terutama karena fenomena Matahari berpotensi menghancurkan peradaban manusia.” Selain itu, wahana juga dikirim untuk mengambil berbagai informasi penting terkait Matahari.
Paling tidak, ada empat instrumen dalam wahana yang disiapkan untuk menjaring informasi Matahari. Keempat instrumen itu ialah Solar Wind Electrons Alphas and Protons Investigation (SWEAP), Wide-field Imager for Solar Probe Plus (WISPR), Electromagnetic Fields Investigation (FIELDS), dan Integrated Science Investigation of the Sun (ISIS).
Parker Solar Probe dibuat dan dikembangkan oleh Johns Hopkins University menggunakan dana yang telah dianggarkan melalui APBN AS pada 2009. Wahana ini menunggang roket Delta IV Heavy milik United Launch Alliance, perusahaan patungan antara Boeing dan Lockheed Martin, wahana tersebut memulai perjalanam sejal 12 Agustus 2018 mendekati Matahari.
Sebagaimana dikutip dari laman resmi NASA, perjalanan Parker Solar Probe tak sebentar. Dalam dua bulan mendatang, wahana yang memiliki kecepatan hingga 430 ribu mil per jam diperkirakan baru akan sampai di Venus, planet terdekat kedua dari Matahari. Menggunakan gravitasi Venus, Parker Solar Probe lantas melanjutkan perjalanan menuju titik terdekat dengan Matahari, yakni 4 juta mil dari permukaan Matahari, atau setara dengan 1/10 jarak Merkurius ke Matahari, pada 2024 mendatang.
“Hari ini merupakan titik kulminasi enam dekade sains dalam mempelajari Matahari,” kata Andy Driesman, manager proyek wahana tersebut. “Parker Solar Probe kini akan memulai perjalanan mencengangkannya selama enam tahun mendatang untuk memahami sains yang ekstrem,” tambahnya.
Proyek “mencium” Matahari bukanlah perkara mudah. Sejak 1958, sejak Parker merilis papernya, para ilmuwan ingin mengirimkan wahana ke Matahari. Sayangnya, belum ada teknologi yang mendukung keinginan tersebut. Kini, sebagaimana dikutip dari Wired, Parker Solar Probe menggunakan gabungan antara serat karbon dan busa karbon untuk melindungi diri dari sengatan Matahari ekstrem. Menurut perkiraan, pelindung tersebut sanggup memproteksi Parker Solar Probe hingga paparan sinar matahari sepanas 2.500 derajat Fahrenheit. Pada sebagian instrumen, wahana menggunakan Niobium. Elemen langka yang memiliki titik leleh sangat tinggi.
Ongkos Mahal Proyek Antariksa AS
Parker Solar Probe tak murah. Diperkirakan, NASA menghabiskan dana senilai $1,5 miliar atau hampir Rp22 triliun untuk misi tersebut. Kesemuanya, berasal dari kantong APBN AS.
AS memang jor-joran terkait eksplorasi alam semesta. Sikap ini bermula sejak Presiden Eisenhower “sakit hati” melihat diluncurkannya Sputnik, wahana antariksa milik Uni Soviet, pada 1957. Hampir setahun berselang, tepatnya pada 29 Juni 1958, Eisenhower melahirkan NASA. Katanya, kelahiran NASA bertujuan karena “banyak aspek di luar angkasa, termasuk teknologi yang mendukung eksplorasinya, bisa digunakan mendukung kehidupan manusia.”
Perlahan, selepas kelahiran NASA, banyak proyek-proyek luar angkasa yang diluncurkan AS. Salah satunya ialah proyek Apollo, proyek ambisius sebagai bagian dari langkah AS memenangkan Perang Dingin melawan Uni Soviet. Menurut hitung-hitungan, proyek Apollo, yang salah satu misinya mengirimkan manusia ke Bulan, menghabiskan uang senilai $20 per warga negara Amerika Serikat kala itu. Jika diukur dengan nilai saat ini, artinya tiap warga Amerika Serikat membayar $200 untuk proyek tersebut, atau setara dengan pendanaan senilai $65 miliar.
Selepas proyek Apollo, Amerika Serikat memotong biaya eksplorasi luar angkasa mereka. Sejak 1972, rata-rata NASA hanya menghabiskan dana senilai 0,5 persen dari belanja negara. Jika mengaca APBN Negeri Paman Sam, biaya eksplorasi luar angkasa memang relatif kecil. Pada 2017 misalnya, NASA “hanya” menghabiskan uang sebesar $19 miliar. Bandingkan dengan biaya militer Amerika Serikat, yang pada tahun yang sama, menghabiskan dana senilai $590 miliar.
Meskipun kecil, di seluruh dunia, NASA merupakan lembaga antariksa pemilik anggaran tahunan terbesar. ESA, lembaga antariksa Eropa, hanya memiliki anggaran sebesar $6,1 miliar di 2017. Rocosmos, lembaga antariksa Rusia, memiliki anggaran sebesar $2,5 miliar di tahun yang sama.
Meskipun terasa “buang-buang uang” program luar angkasa NASA bukanlah hal sia-sia. Selain mampu perlahan membuka tabir misteri alam semesta, program luar angkasa pun memacu perkembangan teknologi. Salah satunya ialah kamera.
Pada 1990, Jet Propulsion Laboratory NASA mengembangkan kamera berukuran kecil yang sanggup ditempatkan pada wahana antariksa. Kamera yang dikembangkan bukan hanya diterapkan pada wahana-wahana NASA, tetapi juga dipakai pada ponsel yang dijual di pasaran saat ini.
Editor: Suhendra