tirto.id - Komposisi panitia seleksi (pansel) calon pimpinan dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang belum diumumkan Presiden Joko Widodo. Namun, saat ini beredar 11 nama yang akan dipilih Jokowi sebagai pansel KPK, meski pihak Istana telah membantahnya.
Publik kali ini tak hanya menyoroti persoalan integritas pimpinan KPK ke depan, tetapi juga bagaimana kinerja Pansel KPK dalam memilih anggota Dewas KPK.
Sebagai catatan, kehadiran Dewas KPK tidak lepas dari revisi UU KPK yang tertuang dalam UU 19 tahun 2019. Dalam ketentuan pasal 37E, Dewas KPK diangkat oleh presiden dan dipilih oleh panitia seleksi.
Sebagaimana amanat pasal 69A ayat 1 UU 19 tahun 2019, pemilihan Dewas KPK dilakukan langsung oleh presiden. Pada ayat kedua, UU KPK membolehkan bahwa kriteria ketua dan anggota Dewas KPK diisi aparat penegak hukum.
"Kriteria ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan Pasal 37D termasuk dan tidak terbatas pada aparat penegak hukum yang sedang menjabat dan yang telah berpengalaman paling sedikit 15 (lima belas) tahun," bunyi pasal 69A ayat 2 pada UU KPK tersebut.
Dalam 5 tahun terakhir, kinerja Dewas KPK memang sempat banjir kritik. Hal ini tidak lepas dari putusan lembaga yang sempat disorot tidak optimal.
Misalnya, pada kasus eks pimpinan KPK Lili Pintauli. Dewas KPK menilai Lili terbukti berhubungan dengan pihak beperkara dalam kasus korupsi Wali Kota Tanjung Balai dan hanya dihukum pemotongan gaji.
Selain itu, Dewas KPK sempat memberikan hukuman ringan kepada eks Ketua KPK Firli Bahuri. Setidaknya ada dua pelanggaran dengan sanksi cukup ringan yakni tidak jujur melaporkan harta kekayaan dan tidak melaporkan penyewaan rumah hingga hidup mewah.
Firli baru dihukum berat dengan putusan perintah mundur dari jabatannya sebagai pimpinan KPK lantaran dianggap melanggar kode etik di kasus korupsi eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Kerja Dewas KPK Tidak Lebih Baik dari Pimpinan KPK
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, tidak memungkiri bahwa kinerja Dewas KPK belum berjalan optimal. Padahal, Dewas KPK mendapat mandat untuk bekerja sesuai amanat pasal 37B UU KPK dalam rangka mengevaluasi berkala kinerja KPK maupun memproses dugaan pelanggaran kode etik.
"Selama ini evaluasi kami 5 tahun berjalan Dewan Pengawas di bawah Pak Tumpak Hatorangan Panggabean kerjanya tidak lebih baik dari pimpinan KPK atau mungkin masih banyak catatan. Maka dari itu PR pemerintah semakin besar, bukan hanya mencari figur pimpinan KPK akan tetapi Dewan Pengawas," kata Kurnia di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (20/5/2024).
Ia berharap Jokowi mencari pansel yang benar-benar bisa menyelesaikan masalah indeks persepsi korupsi yang stagnan dan kepercayaan publik yang rendah. Kata Kurnia, Jokowi seharusnya memiliki catatan-catatan informasi yang bisa digunakannya dalam memilih Pansel KPK.
"Kalau presiden memiliki pengetahuan itu tentu dengan sendirinya pansel yang dibentuk adalah pansel yang benar-benar indpenden, mengedepankan integritas, dan memiliki kompetensi yang cukup," kata Kurnia.
Pansel KPK yang Berintegritas Jadi Taruhan Jokowi
Ketua IM57+ Mochamad Praswad Nugraha mengingatkan Jokowi bahwa Pansel KPK juga harus menghadirkan Dewas yang berintegritas. Hal ini karena melihat kinerja Dewas KPK periode sekarang yang menurutnya justru ikut mempengaruhi pelemahan KPK.
"Dewas dan Pimpinan KPK adalah faktor paling berpengaruh terhadap pelemahan KPK. Sebetulnya dari pelemahan KPK tahun 2019 mulai dari revisi sampai upaya lainnya yang berdampak signifikan adalah pemilihan pimpinan dan dewas yang mempunyai track record buruk. Hal tersebut merupakan kombinasi tepat dari revisi dalam hal eksekusi pelemahan KPK," kata Praswad, Senin (20/5/2024).
Praswad mengatakan, sudah ada dua pimpinan KPK tercatat pelanggaran etik hanya dalam dua tahun masa kerja pimpinan KPK periode 2019-2024. Bahkan, saat ini, sudah 4 dari 5 pimpinan KPK memiliki catatan etik. Salah satunya, Firli Bahuri yang bahkan menjadi tersangka di kepolisian karena tersangkut pemerasan terhadap SYL.
Praswad menilai kekacauan tersebut menyebabkan adanya kerusakan integritas turunan sampai pada level bawah. Ia mencontohkan posisi Firli selaku eks Ketua KPK yang ditetapkan menjadi tersangka pemerasan, penyidik menjadi terpidana hingga dengan masifnya pungli yang dilakukan pegawai rutan.
Oleh karena itu, komitmen Jokowi di akhir jabatan akan terlihat dari proses seleksi ini sehingga tidak perlu upaya luar biasa untuk melihat apakah ada sikap serius dari Jokowi untuk pembenahan KPK.
Apabila nantinya calon pimpinan KPK bermasalah yang tetap dipilih maka tidak ada perubahan sejak pemilihan capim KPK 2019. Ia bercerita bahwa mereka pernah menyampaikan seluruh informasi rekam jejak capim bermasalah, tetapi tidak ditanggapi oleh Jokowi dan Pansel KPK saat itu.
"Artinya, tidak ada perubahan sikap. Ini juga dapat menjadi momentum bagi Presiden pada masa akhirnya untuk memilih calon pimpinan KPK yang baik sebagai legacy terakhir," kata Praswad.
Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden Rumadi Ahmad mengatakan, pemerintah akan mendorong pembentukan Pansel KPK yang baik. Rumadi meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah akan mencari tidak hanya pansel, tetapi juga pimpinan hingga dewas yang berintegritas.
"Membentuk pansel ini kan baru langkah awal. Kita masih harus mempersiapkan orang-orang yang baik, berani dan berintegritas untuk duduk di pimpinan KPK dan Dewas," kata Rumadi dalam keterangan, Senin (20/5/2024).
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto