tirto.id - Panitia parade Bhinneka Tunggal Ika menegaskan tidak ada bagi-bagi uang dalam parade yang berlansung di Patung Arjuna Wiwaha-Patung Tani, Jakarta, Sabtu (10/11/2016). Mereka menilai, foto yang beredar dan viral di media sosial adalah hoax yang dikaitkan dengan acara tersebut.
Salah satu panitia parade, Nong Darol Mahmada mengatakan, peserta yang hadir dalam acara parade tidak ada yang dibayar, tidak ada uang tunai yang beredar pada acara itu, karena penyewaan sound system, panggung, transportasi, logistik, semua menggunakan transfer.
"Dalam acara itu, kami menyediakan 30 gerobak dorong yang berisi berbagai jenis kudapan, kami membagikan air minum, roti [yang dibungkus kardus mi instan], biskuit, bunga mawar yang kami peroleh dari sumbangan," ujarnya seperti dikutip Antara, Selasa (22/11/2016).
Karena itu, pihaknya tidak bertanggung jawab atas peredaran uang yang dibagikan saat acara berlangsung sebagaimana viral di medsos.
"Kami memperoleh beberapa foto yang dipastikan hoax yang dikaitkan dengan acara Parade Bhinneka itu," kata dia.
Nong Darol Mahmada juga menyayangkan karena tidak ada check and recheck kepada dirinya selaku panitia, sehingga terkesan tendensius. “Kami juga tidak mendukung salah satu calon dalam Pilkada DKI. Inilah yel-yel kami: Siapa kita? Indonesia. Bagaimana Kita? Bhinneka Tunggal Ika," katanya.
Dalam media sosial juga beredar polemik tentang jumlah peserta parade itu, media massa dapat melihat secara proporsional melalui cara hitung kasar dan deskripsi perkiraan panjang massa yang dilihat dari titik X ke titik Y dan seterusnya, sehingga tidak saling menyalahkan data yang ada.
Namun demikian, panitia bersyukur karena pelaksanaan parade Bhinneka Tunggal Ika telah berlangsung tertib, damai, dan bersih dengan antusiasme warga sangat menggembirakan.
Ia menjelaskan tujuan Parade Bhinneka Tunggal Ika adalah merawat dan mempertahankan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika; penegakan hukum yang adil tidak tunduk pada tekanan apa pun; dan pembelaan terhadap pemerintahan yang konstitusional.
"Hanya lima hari kerja untuk kami dalam menyiapkan acara parade ini. Iuran dan sumbangan dalam beragam bentuk dikumpulkan dari berbagai pihak secara gotong-royong, karena kami mengontrol pemberian sumbangan besar yang bisa mengendalikan kami," katanya lagi.
Dengan segala keterbatasan, pihaknya berterima kasih karena puluhan ribu orang dari berbagai latar belakang bersedia bergabung dalam acara itu tanpa membawa tanda identitas, selain sebagai warga yang cinta kebhinnekaan Indonesia.
"Dalam acara parade itu sama sekali tidak ada yang menyuarakan dukungan atau kebencian terhadap pihak tertentu. Semua hanya menunjukkan dukungan pada Pancasila, kebhinnekaan Indonesia, perdamaian negeri, dan pemerintah yang konstitusional," katanya pula.
Pihaknya menyadari dengan massa sebanyak itu, tentu tidak mudah mengendalikannya, sehingga ada saka yang hadir dengan tanda identitas organisasi tertentu, bendera, dan sejenisnya.
"Namun, kami tetap menghargai keberagaman yang diwujudkan dengan pentas reog ponorogo, pencak silat, ondel-ondel betawi, angklung, barongsai, tarian dari Aceh, Papua, Batak, Dayak, Maluku, NTT, Maumere, dan sebagainya," katanya lagi.
Tidak lupa, acara parade ini diisi dengan doa bersama untuk perdamaian negeri, dan juga secara khusus mendoakan korban pemboman gereja di Samarinda, Intan Olivia Marbun.
"Kami telah menyiapkan Pasukan Semut untuk menyisir kebersihan, namun kalah jumlah dengan peserta yang hadir. Tapi setelah acara selesai tepat pukul 12.00 WIB, kami membantu petugas kebersihan untuk menyisir sampah-sampah, kami memastikan kawasan benar-benar bersih dari sampah sebelum kami pergi, kami punya dokumentasi setelah selesai acara," kata dia.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz