tirto.id - Telusur sejarah pabrik gula di Yogyakarta tersaji dalam pameran bertajuk “Suikerkultuur: Jogja yang Hilang" di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) yang digelar sejak tanggal 4 hingga 12 Desember 2018. Pameran ini diselenggarakan oleh BBY dengan menggandeng Roemah Toea, komunitas penggemar sejarah bangunan lama.
Menampilkan foto-foto lama 19 pabrik gula disertai kisah yang menarik dan cukup memadai, pameran ini seakan mengajak pengunjung kembali ke masa silam untuk menapaki jejak-jejak pabrik gula di Yogyakarta.
Ide pameran ini bermula ketika Hermanu, kurator BBY, menyadari bahwa masyarakat Yogyakarta kini tidak tahu keberadaan pabrik-pabrik gula tersebut. “Sungguh aneh, ada bangunan pabrik gula yang cukup besar dengan mesin-mesin produksi yangs serba jumbo hilang musnah tak tersisa. Apakah sebabnya bisa terjadi?” tulis Hermanu dalam poster pameran itu.
Buku bertajuk Twentieth Century Impressions of Netherlands India terbitan tahun 1909 yang memuat foto-foto pabrik gula di Yogyakarta juga menambah inspirasi Hermanu. BBY lantas menggandeng Roemah Toea untuk menggelar pameran bertema sejarah, termasuk menyajikan kembali kenangan akan pabrik-pabrik gula di Yogyakarta.
“Pak Hermanu dan Mas Anto [Kepala Perencanaan Program Bentara Budaya Yogyakarta] mulanya menghubungi saya dan cerita-cerita pabrik gula. Oke, ya sudah [saya terima],” tutur Aga Yudhistira Pembayun, salah seorang pegiat Roemah Toea.
Berbekal 11 foto awal, Aga dan kawan-kawan berbagi tugas untuk meriset foto, dokumen, literatur, serta riset lapangan. Aga menerangkan, untuk menambahkan narasi dalam foto-foto pabrik yang berjumlah puluhan itu setidaknya menggunakan 25 sumber buku. Seluruh prosesnya memakan waktu selama satu setengah bulan, bermula sejak awal Oktober lalu.
Pameran yang dibuka pada 4 Desember 2018 ini menampilkan 19 foto pabrik gula di seluruh Yogyakarta, membentang dari selatan hingga barat Yogyakarta. Di antaranya ada Pabrik Gula (PG) Sewugalur di barat, di selatan ada PG Pundong, sebelah timur ada PG Berbah, Kedaton-Pleret, Padokan, Demakijo, Rewulu, dan beberapa pabrik gula lainnya.
PG Gondanglipuro di Ganjuran, Kabupaten Bantul, yang didirikan pada 1862 merupakan pabrik terawal di Yogyakarta. Sedangkan yang terakhir dibangun adalah PG Sendangpitu yang berlokasi di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, berdiri pada 1922.
Bermula dari Tanam Paksa
Pabrik gula di Yogyakarta mulai bermunculan sejak 1830, ketika kas pemerintah Hindia Belanda mengalami defisit parah akibat terkuras untuk Perang Jawa menghadapi Pangeran Diponegoro pada 1825-1830.
Johannes van Den Bosch yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda mempunyai ide untuk mengadakan sistem culturstelsel (sistem tanam paksa) untuk menyelamatkan keuangan dari keterpurukan.
Culturstelsel mewajibkan suatu desa menyisihkan 20 persen dari tanah yang dimiliki untuk diserahkan kepada pemerintah guna ditanami komoditi ekspor seperti indigo (nila), teh, kopi, tembakau, dan tebu.
Penduduk bakal diberi upah sebesar selisih antara sewa tanah dan nilai produk yang dikirimkan serta dibebaskan dari pajak tanah. Warga yang tidak memiliki tanah dikenai wajib kerja 75 hari selama setahun pada perkebunan pemerintah.
Program Bosch ini tidak berjalan lancar dan dihentikan pada 1870. Di tahun yang sama, diterbitkan Agrarische Wet atau Undang-Undang (UU) Agraria. UU ini membolehkan perusahaan swasta Eropa untuk mendirikan perusahaannya di Hindia Belanda (Indonesia). Namun, UU ini tidak berlaku di Yogyakarta yang merupakan daerah Vorstenlanden atau “wilayah-wilayah kerajaan”.
UU Agraria melarang pemilik modal membeli tanah untuk dijadikan perkebunan atau pabrik, mereka hanya diizinkan menyewa tanah untuk kepentingan tersebut. Masa sewa tanah itu berlangsung selama 50 tahun dan bisa diperpanjang kembali. Sebagian dari tanah sewaan itu ditanami tebu dan pabrik yang menghasilkan gula.
Sepanjang abad ke-19, gula menjadi ekspor paling utama dari negeri jajahan Belanda, mencapai 77,4% dari total ekspor pada 1840. Pada tahun-tahun inilah pemilik modal mulai menjalankan usahanya di wilayah Vorstenlanden, termasuk Yogyakarta.
Mengenai hal ini, Audrey Kahin dan Robert B. Cribb menjelaskan dalam buku Kamus Sejarah Indonesia (2012). “Tebu yang ditanam berdasarkan monopoli pemerintah dikirim ke penggilingan tebu swasta, yang seringkali dimiliki oleh pengusaha Eropa,” tulis Kahin dan Cribb dalam bukunya.
“Walaupun mereka harus mengirim gula yang diproses dengan harga tetap kepada Nederlandsce Handel Maatchappij (NHM), mereka tetap mendapatkan keuntungan yang sangat besar,” tambahnya.
Namun, industri gula mulai terancam ketika memasuki dasawarsa kedua abad ke-20. Penyebabnya adalah depresi ekonomi yang melanda dunia pada 1929. Salah satu dampak krisis tersebut adalah menyusutnya nilai ekspor gula hingga 7% pada 1938. Tidak banyak pabrik gula yang mampu bertahan serangan krisis ekonomi global itu.
Pabrik Gula yang Nyaris Punah
Meskipun Yogyakarta bukan daerah dengan populasi pabrik gula terbanyak di Jawa, namun termasuk padat mengingat wilayah daerah ini yang tidak terlalu luas. “Memang bukan terbanyak, tapi terpadat. Itu 19 [pabrik gula] di wilayah sekecil ini,” ungkap Aga.
Aga kemudian membandingkan Yogyakarta dengan Kedu yang wilayahnya jauh lebih luas, mencakup Magelang, Purworejo, Banyumas, dan Temanggung. Kedu hanya memiliki dua pabrik gula.
Jawa Timur, lanjut Aga, merupakan wilayah yang paling banyak memiliki pabrik gula. Sementara di Surakarta ada 13 pabrik.
Pada 1909, di Yogyakarta telah berdiri 11 pabrik gula, kemudian meningkat menjadi 17 pabrik gula pada 1921, dan beberapa tahun berselang bertambah lagi menjadi 19 pabrik gula.
Namun, dari 19 pabrik gula di Yogyakarta itu hanya sedikit yang masih dapat dilihat bangunan fisiknya. Satu di antaranya adalah PG Madukismo yang berada di sisi selatan Kota Yogyakarta.
PG Madukismo didirikan oleh Raja Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwana IX, pada 1959. Pabrik gula ini dibangun di bekas area PG Padokan yang hancur akibat Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta pada 1948.
Sebelum terjadinya Agresi Militer Belanda II, papar Aga, masih cukup banyak pabrik gula yang berdiri di wilayah Yogyakarta. Sayangnya, kini yang tersisa tinggal beberapa saja.
Penulis: AS Rimbawana
Editor: Iswara N Raditya