Menuju konten utama

Pamer Terselubung, Cara Komunikasi yang Bisa Hancurkan Citra Diri

Gwyneth Paltrow sering melakukan pamer terselubung, ia dibenci, namun justru berhasil meningkatkan pendapatannya hingga 250 juta dolar AS pada 2018.

Pamer Terselubung, Cara Komunikasi yang Bisa Hancurkan Citra Diri
Gwyneth Paltrow tiba di pemutaran perdana dunia "Avengers: Infinity War" pada hari Senin, 23 April 2018, di Los Angeles. Photo by Jordan Strauss/Invision/AP

tirto.id - “Saya ya saya. Saya tidak bisa berpura-pura untuk menjadi orang dengan penghasilan 25.000 dolar AS per tahun.”

Bagi pemerhati industri hiburan Hollywood, kalimat ini tentu menjadi salah satu kalimat tak terlupakan sepanjang sejarah.

Bukan hanya karena lahir dari bibir seorang peraih Academy Award, namun juga karena sang pencipta kutipan terbukti semakin sukses menjadi pebisnis. Demikian seperti dilansir Nicki Swift.

Di tengah serangan dari para pembencinya, Gwyneth Paltrow lewat Goop justru berhasil meningkatkan pendapatannya sebanyak 250 juta dolar AS pada tahun 2018. Angka yang tak sedikit bagi selebriti dengan reputasi paling dibenci.

Paltrow bukan satu-satunya selebriti yang gemar merendahkan diri sekaligus ingin pamer atau humblebragging.

Komedian Stephen Fry pun tak luput dari godaan untuk menunjukkan pencapaiannya.

Di Twitter, Fry membagikan kecemasannya dengan menulis, “Oh, sayang. Entah apa yang harus kulakukan di bandara. Kerumunan luar biasa, tapi aku akan ketinggalan pesawatku kalau aku berhenti dan membiarkan mereka berfoto denganku. Oh sayang, aku tak bermaksud membuat kecewa.”

Merendah untuk meninggi menjadi cara berkomunikasi yang tak disukai banyak orang. Alih-alih meraih simpati, si pelaku pamer terselubung membuat lawan bicaranya merasa terganggu.

Dilansir dari Independent, menurut Ovul Sezer, motivasi melakukan tindakan ini tak hanya untuk mengeluh dan meraih simpati, namun juga untuk meraih rasa hormat. Sayangnya, cara ini justru efektif untuk menghancurkan citra diri.

Dalam penelitiannya bersama Harvard University, Sezer mengungkapkan uang serta atribut kekayaan menjadi topik yang kerap disinggung para pelaku pamer terselubung.

Selain uang, topik-topik seperti kecerdasan, kepribadian, dan penampilan fisik juga sering menjadi ajang unjuk diri.

Bukannya tanpa pola, masih menurut Sezer, pamer terselubung rupanya paling banyak dilakukan pada hari Senin dan paling sedikit pada hari Jumat.

Sebagaimana dilansir dari Psychology Today, ketidaktulusan menjadi penyebab mengapa orang tak menyukai pamer terselubung.

Dengan melemparkan masalah yang “tak menyenangkan” seperti pusing karena bingung memilih Dior atau Chanel sebagai topik pembicaraan, pelaku merasakan kebutuhan untuk dikagumi.

Tak dipungkiri, narsisme menjadi faktor mengapa orang kemudian melakukan tindakan ini.

Bagi pelamar kerja, mempresentasikan diri dengan metode pamer terselubung tak akan membuatnya dilirik HRD.

Melalui pertanyaan “Apa kelemahan terbesar Anda?”, HRD cenderung akan memilih kandidat dengan jawaban yang tak dibuat-buat karena mereka lebih tulus.

Sezer tak menampik bahwa hasil penelitiannya menunjukkan orang yang pamer secara terus terang lebih disukai daripada mereka yang pamer terselubung.

Di mata lawan bicara, pamer secara terus terang membuat orang tersebut tampak lebih kompeten.

“Kalau Anda ingin mengumumkan sesuatu, pergi lah bersama si tukang pamer dan beritahu lah orang-orang dengan tulus.

Kalau ada orang yang mempromosikan diri Anda, itu tentu akan menjadi kemungkinan terbaik yang terjadi karena Anda tidak kelihatan sedang pamer,” saran Sezer.

Sedikit berbeda dengan Sezer, Anna Goldfarb mengatakan cara terbaik untuk pamer di media sosial adalah dengan memposting konten yang bermanfaat.

Konten bermanfaat ini, misalnya, bagaimana mencapai tujuan mendapatkan berat badan yang ideal tanpa harus mengorbankan kesehatan.

The Cut melaporkan, konten-konten tersebut membuat si pengunggah tak tampak pamer karena berhasil melibatkan para pengikutnya tanpa membuat mereka merasa digurui.

“Sombong di media sosial itu sudah biasa, yang tidak biasa adalah menjadi baik di media sosial. Kalau Anda bisa melakukannya, unggahan-unggahan Anda berikutnya tentu tak akan menyakitkan,” kata Goldfarb.

Baca juga artikel terkait PSIKOLOGIS atau tulisan lainnya dari Artika Sari

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Artika Sari
Editor: Yandri Daniel Damaledo