tirto.id - Palsu. Keji. Tak punya kedalaman. Curiga. Demikian manusia-manusia dalam Nosedive, episode pertama musim ketiga sinetron Black Mirror. Lacie Pound, karakter utama film itu, melatih caranya terkikik di depan cermin saban pagi. Ia mengunjungi kedai kopi meski tidak menyukai kopi, ia bersusah payah membuat tapenade walau tidak menginginkannya—hanya karena keduanya mempunyai rating atau nilai rata-rata tinggi di media sosial.
Nosedive adalah dunia di mana batas antara hidup dan media sosial tak ada lagi. Manusia menghakimi dan dihakimi dengan angka. Nilai rendah berarti hambatan dalam segala urusan dan, pada akhirnya, hidup yang pahit. Sebaliknya, semakin tinggi nilai rata-rata seseorang, semakin banyak previlese yang terbuka untuknya, mulai dari kesempatan bekerja di perusahaan-perusahaan bonafid hingga kualifikasi untuk mengendarai mobil keren. Maka orang berlomba-lomba memenuhi selera dan harapan khalayak, dan itu seringkali berarti keharusan berpura-pura.
Sebagaimana episode-episode lain Black Mirror, Nosedive menampilkan situasi suram yang mungkin melingkupi umat manusia di masa depan. Ia tak mengada-ada sebab dasarnya ialah situasi hari ini. Bukankah kepalsuan, kehampaan, dan kekejian memang meruyak di media-media sosial? Bukankah kultur media sosial merawat semua itu?
Lakshmi AK dalam “The Selfie Culture: Narcissism or Counter-Hegemony?” yang diterbitkan Journal of Communication and Media Studies pada 2015menyatakan bahwa jumlah like, komentar, dan share di media sosial adalah mata uang sosial bagi anak-anak muda masa kini.
“Etiket media sosial menuntut apresiasi berupa like dan komentar atas status dan foto-foto yang diunggah setiap orang, sekurangnya dari lingkar pergaulan masing-masing. Ketika tukang potret dan yang dipotret adalah orang yang sama, ia [seolah-olah] berhak memperoleh lebih banyak like,” tulis Lakshmi.
Pahit, memang, tetapi demi modal sosial itulah Alisa Putri dan Fitria Nur, dua mahasiswi STMIK AMIKOM Purwokerto, mati pada 23 Februari silam. Mereka tenggelam di Kedung Nila, Banyumas, Jawa Tengah. Menurut laporan Antara, Alisa terpeleset saat berswafoto di tepi perairan sedalam tujuh meter itu. Fitria berusaha menolong sahabatnya tetapi malah ikut terperosok. Keduanya tidak bisa berenang.
Di Rusia, seorang anak perempuan 12 tahun jatuh dari lantai 17 bangunan apartemennya pada Oktober 2016. Juga saat mengambil swafoto. Paman anak itu, sebagaimana dikutip BBC, menulis di media sosialnya tentang kejadian tersebut: “Hidup Oksana semestinya masih sangat panjang dan kini ia kehilangan semuanya, hanya demi foto ekstrem buat dipacak di media sosial. Mustahil ada alasan lain yang membuatnya memanjat pagar balkon keparat itu.”
Pada September 2015, seorang pemuda 19 tahun di Houston, Amerika Serikat, menembak kerongkongannya sendiri saat berpose dengan senapan. Ia bermaksud mengunggah hasil swafotonya ke Instagram. Kasus serupa terjadi pula di Moskow pada Mei 2015, tetapi korbannya, seorang perempuan berumur 21 tahun, masih dapat diselamatkan sekalipun ketambahan lubang baru di kepala.
Di wilayah akademis, penelitian terbanyak tentang swafoto adalah penelitian psikologis. L. Qiu (et al.) dalam “What Does Your Selfie Say about You?” yang diterbitkan jurnal Computers in Human Behavior (2015), misalnya, membaca keadaan emosional, keterbukaan, tingkat neurotik, dan kecermatan manusia pada bahasa swafoto: ketinggian kamera, posisi bibir, sudut pandang, dan lain-lain. Dan variasi yang paling jamak, sebagaimana yang dirangkum Tirto, ialah soal swafoto dan narsisisme yang dipantulkannya.
Tetapi Hemank Lamba (et al.) memilih jalan lain. Dalam “Me, Myself, and My Killfie” (2016), mereka melaporkan hasil analisis menyeluruh atas korban-korban kecelakaan yang berhubungan dengan swafoto dan mengajukan pelbagai alasan yang mungkin menyebabkan kematian mereka. Menurut laporan itu, swafoto telah membunuh 127 orang di seluruh dunia sejak Maret 2014, dengan penyebab terbanyak berupa “jatuh dari tempat-tempat tinggi” (29 kasus) dan “digilas kereta api” (11 kasus).
Lamba dan timnya menyelidiki bahan-bahan berbasis teks, gambar, dan lokasi yang mereka kumpulkan dari media sosial, kemudian menghitung batas aman untuk pelbagai jenis swafoto nekat. Misalkan: untuk berswafoto di tepi jurang, sebaiknya berapa jauh jarak yang mesti orang ambil. Sistem itu dapat membantu para pelaku swafoto untuk mengetahui seberapa besar risiko pada lokasi dan gaya tertentu yang mereka incar dan, yang lebih penting, menegaskan garis antara berani dan dungu.
Hasil swafoto berisiko yang mengabadikan pengalaman visual unik serta mencerminkan nyali besar barangkali akan mengundang banyak like, komentar, dan share dari khalayak media sosial. Namun, yang patut jadi bahan pertimbangan: kita tidak hidup di dunia Nosedive. Di sini, hari ini, mata uang sosial yang dihasilkan swafoto nekat hanyalah mata uang sosial yang berlaku terbatas. Ia belum tentu bisa dikonversi menjadi keuntungan-keuntungan praktis. Maka, tak perlulah berusaha kelewat keras. Kalau bisa mengambil swafoto yang menarik secara aman, untuk apa bertaruh nyawa?
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti