Menuju konten utama

Pahlawan Nasional 2018: K.H. Syam'un, Estafet Perlawanan Banten

K.H. Syam'un adalah ulama dan pejuang pro-Republik dari Banten yang berperan besar dalam Revolusi Indonesia.

Pahlawan Nasional 2018: K.H. Syam'un, Estafet Perlawanan Banten
K.H. Syam'un. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Pahlawan Nasional Indonesia bertambah lagi. Kamis (8/11/2018), bertempat di Istana Negara, Jakarta, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada enam tokoh bangsa, salah satunya almarhum Brigjen K.H. Syam’un, tokoh dari Provinsi Banten.

K.H. Syam’un adalah cucu dari K.H. Wasyid, seorang ulama yang menjadi motor perlawanan rakyat Banten terhadap Belanda pada peristiwa Geger Cilegon tahun 1888. Ia lahir di Kampung Beji, Kabupaten Serang, Banten, dari pasangan H. Alwiyan dan Hj. Siti Hajar pada 5 April 1883.

Kematian kakeknya yang gugur dalam operasi militer untuk memadamkan peristiwa Geger Cilegon membuat ia dan keluarga besarnya menjadi buruan Belanda. Untuk menghindari ancaman itu, ia dibawa keluarganya pindah ke Makkah saat usianya baru lima tahun.

Setelah kembali dari Makkah, ia belajar di Pesantren Dalingseng, Kewedanaan Cilegon, di bawah asuhan K.H. Sa’i. Lalu belajar juga di Pesantren Kamasan yang dipimpin K.H. Jasim. Mulai 1910 sampai 1915, ia belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo. Lalu kembali sebentar ke Makkah untuk mengamalkan ilmunya. Kemudian pulang ke Banten dan mendirikan Pesantren Al-Khairiyah pada 1916 di Citangkil, Kabupaten Serang, Banten.

Dalam jurnal yang diterbitkan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung (Vol. 4, No. 1, Maret 2012), Herry Wiryono menyebutkan “Al-Khairiyah” diambil dari kata khairun yang artinya baik. Selain itu, imbuhnya, K.H. Syam’un pun terinspirasi dari sebuah bendungan air di Mesir yang mengairi sekian luas lahan pertanian dan meningkatkan kesuburan di sekitar lembah sungai nil. Nama bendungannya adalah Al-Khairiyah.

Sebelum mengadopsi sistem belajar secara klasikal, Pesantren Al-Khairiyah menerapkan cara-cara lama dalam mengajarkan ilmu kepada para santri, yakni dengan cara ngaji sorogan dan ngelekor (duduk bersila di lantai). Pusat pengajaran dilakukan di Masjid Agung Citangkil yang sempat dijadikan salah satu pusat komando pertempuran saat terjadi peristiwa Geger Cilegon.

“Sistem belajarnya sederhana sekali dan tidak terikat dengan waktu. Sekali waktu membuka kitab di masjid, kadang-kadang di perjalanan, kadang seketika itu juga harus mengangkat senjata melawan musuh,” tulisnya.

Pada 1925, K.H. Syam’un dibantu para santri dan masyarakat sekitar mendirikan gedung sekolah yang terdiri atas lima lokal, lalu diberi nama Madrasah Al-Khairiyah Citangkil. Mulai saat itulah sistem pengajaran lama seperti sorogan dan ngalekor dilengkapi dengan sistem klasikal.

Herry Wiryono menambahkan, memasuki tahun 1929, Pesantren Al-Khairiyah mulai membuka empat madrasah ibtidaiyah di sejumlah daerah di Kabupaten Serang, yakni di Kecamatan Pulomerak, Kecamatan Cinangka, Kecamatan Pandarincang, dan Kecamatan Walantaka. Kemudian pada 1930, setelah menambah dan memperluas bangunan madrasah, K.H. Syam’un membuka HIS partikelir untuk mengimbangi HIS Belanda yang ada di Cilegon.

Masuk PETA dan Gugur Sebelum Pengakuan Kedaulatan

Saat Jepang masuk, K.H. Syam’un bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Selain dia, ada juga tokoh Banten lain yang disegani yang memutuskan untuk bergabung bersama PETA, yakni K.H. Ahmad Chatib, seorang Digulis yang dalam catatan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 1 (2008) berhubungan erat dengan Ilyas Hussein alias Tan Malaka.

Kedua orang ulama ini sama-sama diangkat sebagai daidancho atau komandan batalion. Saat kekuatan Jepang mulai runtuh, mereka menyingkir ke Jakarta, dan Banten mulai dilanda kekacauan. Para ningrat mantan pegawai kolonial diburu dan ditembaki para pemuda. Kabar Proklamasi Kemerdekaan baru sampai ke Banten tiga hari setelah dibacakan Sukarno.

“Pada tanggal 20 Agustus [1924] Chairul Saleh—salah seorang pemuda radikal yang mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan—mengirim empat pemuda ke Banten, untuk membawa berita tentang Proklamasi kepada para pemimpin masyarakat, seperti Chatib dan Syam’un, serta para pemuda di sana,” tulis Poeze.

Awal September 1945, para pemuda dan tokoh masyarakat Serang berunding. Mereka akhirnya bersepakat bahwa pimpinan sipil dipegang K.H Ahmad Chatib dan urusan kemiliteran dikendalikan K.H. Syam’un. Pada 10 September K.H. Ahmad Chatib diangkat menjdi Residen Banten oleh Presiden Sukarno. Sementara pada 14 Oktober 1945 K.H. Syam’un membentuk TKR Divisi I dengan nama Divisi 1000/I yang meliputi Banten dan Bogor.

Poeze menambahkan, setelah diangkat menjadi Residen Banten, K.H. Ahmad Chatib mengangkat aparat pemerintah dari kalangan kaum radikal Banten, kalangan Islam, kaum bangsawan tua, dan kaum pemuda. Di antara yang diangkat itu terdapat Ce Mamat yang menjadi ketua Komite Nasional Indonesia.

Infografik K.H. Syam’un 1883-1949

Dalam perjalanannya, Ce Mamat beserta para pemuda radikal lainnya membentuk Dewan Rakyat yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan. Mereka tidak puas dengan keputusan K.H. Ahamd Chatib karena masih memberi tempat kepada para ningrat.

“Pada tanggal 27 Oktober Ce Mamat memperkokoh aksinya dengan pengambilalihan kekuasan secara formal. Chatib menyetujui—tidak jelas apa yang memaksanya berbuat demikian—penyerahan kekuasaan pada Dewan Rakyat,” imbuh Poeze.

Setelah kekuasaan di Serang berpindah tangan, Ce Mamat mengorganisasi Laskar Rakyat yang di dalamnya terdiri dari para jawara untuk melakukan revolusi sosial, yakni membuat perhitungan dengan mantan para pembesar dan orang-orang luar yang mereka benci. Mobilisasi massa ini kemudian melakukan sejumlah kekerasan seperti menjarah, merampok, menculik, dan membunuh.

Ketika aksi-aksi Laskar Rakyat semakin merajalela, pada November 1945 TKR Banten yang dipimpin K.H. Syam’un akhirnya turun tangan dan berhasil memukul mundur Dewan Rakyat sehingga Ce Mamat melarikan diri ke Rangkasbitung. K.H. Syam’un kemudian diangkat menjadi Bupati Serang.

TKR Divisi I yang dipimpinnya berubah menjadi Brigade I/Tirtayasa, dan restrukturisasi di tubuh militer akhirnya mengganti pucuk pimpinan militer di Banten. Ia digantikan Letnan Kolonel Soekanda Bratamanggala.

Saat Belanda melancarkan Agresi Militer II, K.H. Syam’un sebagai Bupati Serang ikut bergerilya. Ia turut dalam pasukan yang berjuang di Hutan Cacaban, Kamasan, Anyer. Dan saat itulah ia wafat pada 28 Februari 1949.

Baca juga artikel terkait PAHLAWAN NASIONAL 2018 atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan