tirto.id - Abdul Rahman Baswedan adalah salah satu dari enam nama yang ditetapkan Presiden Joko Widodo sebagai Pahlawan Nasional pada 2018. Lelaki yang namanya lebih sering ditulis dengan A.R. Baswedan ini bisa dijadikan teladan soal bagaimana kaum peranakan menafsirkan dirinya dalam proses menjadi Indonesia.
Kisahnya bermula dari sebuah pertandingan sepakbola. Di tepi lapangan Pasar Turi, Surabaya pada 13 Mei 1932, Baswedan bertemu dengan Liem Koen Hian, pemimpin redaksi surat kabar Sin Tit Po. Ia tidak menyangka niatan untuk sekadar menonton sepakbola malah mengubah jalan hidupnya. Baswedan tentu saja tidak akan melupakan pertemuan pertama dengan lelaki yang kelak dianggap sebagai mentornya itu.
Dalam pertemuan singkat dengan Koen Hian, ia menggambarkan sang jurnalis sebagai sosok yang tinggi besar, terlihat gahar, namun sangat hangat dalam pembawaan dan bertutur. "Liem Koen Hian pada waktu itu mondar-mandir sebagai jendral yang mengatur dan mengepalai persiapan kompetisi beberapa tim Indonesia, Tionghoa, dan Arab untuk menyaingi kompetisi Eropa," tulis Baswedan dalam Sin Tit Po (2/12/1939).
Setelah berbincang singkat dengan Baswedan, Koen Hian pun mengundangnya bergabung dengan Sin Tit Po, harian Tionghoa progresif berbahasa Melayu yang dikenal kerap melontarkan kritik-kritik pedas terhadap kebijakan diskriminatif Belanda. "Sin Tit Po bukan lagi koran Tionghoa, melainkan koran bagi bangsa kulit berwarna," tutur Koen Hian kepada Baswedan.
Tawaran Koen Hian tersebut tentu tidak disia-siakan Baswedan. Baginya, dapat diterima sebagai wartawan lepas di Sin Tit Po saja ia sudah merasa senang. Kini, ia justru ditawari langsung oleh sang pimpinan redaksi untuk mengisi posisi redaktur di harian tersebut. Baswedan menganggap Sin Tit Po sebagai suratkabar progresif yang sejalan dengan visi-misinya. Apalagi dengan menjadi redaktur Sin Tit Po, Baswedan juga bisa belajar langsung dari Koen Hian mengenai ilmu jurnalisme.
Di Sin Tit Po, Baswedan mengisi rubrik "Pojok" dengan nama pena Abunawas. Lewat koran ini, Baswedan kerap melontarkan kritiknya terhadap organisasi Ar-Rabithah Al-Alawiyyah yang dianggapnya terlalu konservatif.
Nama Koen Hian kelak semakin santer terdengar setelah mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 25 September 1932. Partai ini, seperti ditulisnya di Sin Tit Po (26/9/1932), bertujuan "membantu kemajuan ekonomi, sosial, politik dari Indonesia sampai jadi satu negeri (staat) dengan satu rupa hak dan kewajiban buat sekalian orang rakyatnya." Langkah Koen Hian tersebut nantinya menginspirasi Baswedan untuk mendirikan Persatoean Arab Indonesia(PAI) pada 5 Oktober 1934.
Baswedan menikmati masa kewartawanannya di Sin Tit Po. Ia mengemukakan bagaimana Sin Tit Po dikendalikan tiga engkoh dan dua bung yang masing-masing menempati posisi redaktur. "Engkoh" yang dimaksud adalah Liem Koen Hian, Kwee Thiam Tjing, dan Chua Chee Liang. Sementara "bung" merujuk kepada J.D. Syaranamual dan Baswedan sendiri.
Nama Tan Ping Lee mengisi posisi direktur Sin Tit Po saat itu. "Saya di belakangnya (Liem Koen Hian) sebagai serdadu kecil yang baru belajar manggul 'senapan' untuk perang di front 'bangsa berwarna'," tulisnya dalam Sin Tit Po (2/12/1939).
Pada Januari 1933, Koen Hian memutuskan untuk keluar dari Sin Tit Po. Keluarnya Koen Hian pun diikuti Baswedan yang kemudian memutuskan bergabung sebagai redaksi Soeara Oemoem yang saat itu diasuh Dr. Soetomo dan J.D Syaranamual, mantan koleganya di Sin Tit Po. Namun, karena alasan kesehatan, Baswedan memutuskan berhenti dari harian tersebut pada 1934. Setelah kondisinya membaik, ia diminta mengisi posisi redaktur di Mata Hari (Semarang), sebuahsuratkabar Tionghoa-Melayu berhaluan pro-pergerakan nasional yang diasuh Kwee Hing Tjiat.
Selama di Semarang, ia berkawan baik dengan wartawan Mata Hari lainnya bernama Tjoa Tjie Liang. Baswedan kerap menumpang di rumah Tjoa hingga berminggu-minggu lamanya. Tjoa pun mafhum dengan kondisi Baswedan, mengingat gajinya di Mata Hari hampir selalu ia gunakan untuk membiayai Persatoean Arab Indonesia(PAI).
Baswedan hanya bertahan selama beberapa bulan di Mata Hari dan memutuskan untuk mengembangkan PAI yang saat itu baru dirintisnya. Lantas, ia pun hanya mengandalkan pemasukan yang sangat terbatas dari penerbitan majalah Sadar.
Perpecahan Komunitas Hadrami
Abdul Rahman Awad Baswedan lahir di Ampel pada 9 September 1908. Kawasan Ampel saat itu dikenal sebagai Kampung Arab dengan populasi Hadrami terbesar di Hindia Belanda. Kakek Baswedan, Umar bin Muhammad bin Abdullah (1842-1911), bermigrasi dari Hadramaut, Yaman ke Hindia Belanda.
Hampir seluruh kaum Hadrami yang bermigrasi ke Hindia Belanda sebelum abad ke-20 datang tanpa membawa istri. Mereka kemudian menikahi perempuan setempat dan beranak-pinak di Indonesia. Begitu juga dengan Umar yang menikahi Aliyah, seorang perempuan peranakan Hadrami yang berasal dari Bangil. Pernikahannya membuahkan 10 anak, termasuk Awad yang merupakan ayah dari Baswedan.
Pada umur 6, Baswedan dikirim untuk belajar di Madrasah Al Khairryah yang didirikan kaum Hadrami setempat dan terletak di Ampel, Surabaya. Namun perlakuan diskriminatif yang diterima Baswedan membuat sang ayah memindahkannya ke Madrasah Al Ma'arif. Baswedan juga sempat menimba ilmu di Madrasah Al-Irsyad (Batavia), di mana ia belajar bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama di dalam Islam, tanpa terkecuali. Namun, karena ayahnya sakit keras, Baswedan pun terpaksa meneruskan pelajarannya di Hadramaut School, Surabaya, yang diasuh Sayyid Muhammad bin Hashim, editor Hadramaut Courant dan Al-Bashir, majalah berbahasa Arab pertama di Hindia Belanda.
Baswedan menggarisbawahi bagaimana kaum Hadrami di Hindia Belanda saat itu terkotak-kotak ke dalam beberapa kelompok. Secara umum, para pemuda Hadrami terpecah ke dalam dua kelompok, yakni Al-Irsyad (non-sayid, berdiri 1915) dan Ar-Rabithah Al-Alawiyah (sayid, berdiri 1928).
Pertentangan di antara dua kelompok tersebut pada awalnya dipicu perbedaan tradisi semata, namun dengan cepat merembet ke permasalahan politik dan urusan lain. Tidak jarang persoalan tersebut berakhir dengan perkelahian atau bahkan pembunuhan, dan hal tersebut berlangsung hingga puluhan tahun lamanya.
Selain itu, Baswedan menyebutkan bagaimana golongan Arab peranakan (muwallad) dan Arab totok (wulaiti) kerap bertukar ejekan yang tidak jarang berujung pada perkelahian. Kaum wulaiti memandang golongan muwallad sebagai golongan "tidak asli" atau hanya "setengah-Arab", sehingga mereka kerap memicingkan sebelah mata terhadap golongan ini. Mereka memandang Hadramaut sebagai tanah air mereka dan menganggap Indonesia sebagai persinggahan sementara (al-mahjar). Dari segi kultural, mereka tetap mempertahankan sifat kearaban mereka ('urubah), mulai dari 'urubahiqaliyyah, 'urubah tarbusiyyah, hingga cara berpakaian yang kearab-araban.
Sementara itu, golongan muwallad umumnya lahir dari rahim perempuan Indonesia. Mereka memandang Indonesia sebagai tanah air mereka dan melekatkan stereotip terhadap kaum wulaiti sebagai golongan yang tinggi hati, eksklusif, dan sukar membaur.
Terlepas dari posisinya sebagai golongan muwallad, Baswedan menyatakan kebanggaannya terhadap darah Hadramaut yang mengalir di tubuhnya. Namun persentuhan dengan dunia lain di luar Kampung Arab semakin memperluas cakrawala pemikirannya.
"Saya dahulu terlalu dekat sekali melihat tangan saya sendiri! Saya taruh di muka kedua belah mata saya, maka akhirnya selain saya tidak bisa betul melihat jari-jari saya, saya juga tertutup daripada pemandangan dunia yang luas yang ada di muka saya. Setelah saya menjauhi pergaulan kampung Arab dan pergerakan Arab tak lagi menyendiri, maka terbitlah perasaan dan anggapan itu sehingga saya dapat melihat sesuatu dengan nyata dan obyektif," tutur Baswedan kepada Hoesin Bafagieh, seperti dikutip dari buku Nabiel A. Karim Hayaze berjudul A.R. Baswedan: Revolusi Batin Sang Perintis (2015).
Sumber: "A.R. Baswedan, Debat Sekeliling P.A.I Soerabaia" (1939). Foto/Ravando Lie
Mendirikan Persatoean Arab Indonesia
Sebuah terobosan penting dilakukan Baswedan untuk meminimalisasi sekat-sekat di antara komunitas Hadrami. Ia mengumpulkan 40 tokoh peranakan Hadrami dari berbagai latar belakang. Mereka berkumpul di rumah Said Bahilul di Kampung Melayu, Semarang pada 4 Oktober 1934 untuk mendiskusikan sikap golongan Hadrami terkait perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, mereka berupaya menyelesaikan beragam gesekan internal yang kerap terjadi antara Al-Irsyad dan Ar-Rabithah.
Dengan persiapan yang matang, Baswedan berhasil meyakinkan para partisipan untuk mendirikan Persatoean Arab Indonesia (PAI) pada 5 Oktober 1934. Selain mendorong kaum Hadrami untuk keluar dari sekat-sekat isolasi kesukuan, PAI juga meyakinkan mereka untuk menerima Indonesia sebagai tanah air, dan budaya Indonesia sebagai budaya mereka, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
"Tanah air kita adalah Indonesia. Allah yang tetapkan begitu, walaupun orang lain tidak mau menerima, dan kita pun tidak menerima permintaan orang lain," ujar Baswedan.
Pada awalnya pergerakan PAI kerap dipandang sebelah mata dan hanya dianggap sebagai "pergerakan anak-anak". Namun, konsistensi perjuangan yang ditunjukkan PAI berhasil menuai respons positif dari kaum pergerakan Indonesia. Mereka memuji PAI sebagai organisasi progresif dan berupaya menyokong gerakannya.
Gabungan Politik Indonesia (GAPI), misalnya, secara terbuka menerima anggota PAI sebagai bagian dari gerakan mereka, dan bahkan menginstruksikan beberapa pimpinan cabang PAI untuk memimpin konferensi GAPI dalam pelbagai kesempatan.
Dalam rapat umum kongres PAI di Cirebon yang diselenggarakan pada pertengahan 1939, Baswedan kembali menegaskan PAI tetap mengakui Indonesia sebagai tanah airnya.
"Arab Indonesia, sebagai umat baru yang mempunyai perasaan yang tidak berbeda dari rakyat Indonesia, tentu saja tidak akan menghadapi pergerakan ini hanya sebagai penonton [...] PAI dalam perkara ini pun tidak ingin ketinggalan, sebab PAI juga merasa ada kewajiban buat membela tanah airnya, kalau perlu dengan memanggul senapan!" seru Baswedan, seperti dikutip Aliran Baroe (No. 9, April 1939).
Terobosan yang dilakukan Baswedan juga merambah hingga ke politik berpakaian. Baswedan mengkritik mayoritas komunitas Hadramaut yang kerap meniru cara berpakaian ala Mesir dan Turki dengan menggunakan penutup kepala tarbus dan peci Afganistan. Baswedan juga mengkritik penggunaan hijab panjang pada kaum perempuan yang dianggapnya berlebihan dan tidak sesuai dengan tradisi kultural Indonesia.
Untuk itu, Baswedan mempropagandakan penggunaan songkok bagi kaum laki-laki, yang biasa dikenakan para tokoh nasionalis Indonesia. Namun proses ini tidak berjalan mulus, mengingat banyak kaum Hadrami yang memandang penggunaan songkok dan blangkon hanya akan menurunkan derajat mereka.
Antara 1934 dan 1935, Baswedan berkeliling Indonesia guna meyakinkan kaum Hadrami mengenai tujuan PAI. Baswedan mengharapkan agar di tiap-tiap daerah yang ia kunjungi dapat didirikan cabang-cabang PAI. Namun upaya Baswedan tidak berlangsung mulus. Resistensi golongan Hadrami totok begitu kuat, sehingga Baswedan tidak dapat leluasa berjalan tanpa adanya perlindungan.
Perjuangan Baswedan tidak sia-sia. Hanya dalam tempo tiga tahun (1937-1940), 45 cabang PAI sudah berdiri di berbagai kota di Indonesia. Sebagai corong propaganda, PAI menerbitkan dua majalah, yaitu Insaf yang diasuh Husein Bafagih dan berbasis di Surabaya, dan Sadar yang dipimpin Baswedan.
Membela Golongan Tionghoa
Tidak hanya memperjuangkan nasib golongan Arab, Baswedan juga memperjuangkan orang-orang Tionghoa yang menjadi korban dari peliknya urusan birokrasi terkait kewarganegaraan Indonesia setelah pengakuan kedaulatan (1949).
"Janganlah kita hanya memandang dari kacamata yuridis-formal saja, akan tetapi kita harus selalu berpegang teguh pada prinsip yang kita pakai sewaktu kita menyusun negara kita, seperti telah tercantum dalam UUD dan Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia bahwa kaum peranakan Tionghoa harus kita anggap sebagai rakyat Indonesia," tutur Baswedan kepada Antara yang dikutip Malang Post (10/1/1952).
Baswedan menganggap ada cukup banyak golongan Tionghoa yang menolak kewarganegaraan Indonesia bukan karena mereka tidak ingin menjadi Indonesia, melainkan karena pemerintah kerap memberikan informasi yang simpang-siur terkait permasalahan ini.
Di samping itu, Baswedan juga mengkritik keras anjuran penggantian nama bagi orang Tionghoa. Baginya itu merupakan hak asasi tiap-tiap manusia yang hakiki. Menurutnya, melalui nama, orang tua tentu berharap si anak akan mengenal leluhurnya lebih dekat. Perubahan nama dianggap hanya akan menjauhkan mereka dari tradisi dan budaya leluhur.
Salah satu sahabat karib Baswedan, Yap Hong Tjoen (yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit mata di Yogyakarta), pernah mengungkapkan kepadanya bahwa pergantian nama tidak serta-merta membuat seorang Tionghoa menjadi lebih nasionalis. Baswedan mengamini pendapat itu.
Setelah kemerdekaan, Baswedan tetap merasa penduduk Indonesia masih terkotak-kotak ke dalam beberapa kelompok. Baginya, hal itu merupakan warisan politik diskriminasi Belanda yang harus dihilangkan.
“Bila merujuk kepada apa yang diajarkan Islam, tiap-tiap manusia pada dasarnya tidak memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Satu hal yang membedakan manusia hanyalah amal ibadahnya,” tegas Baswedan.
Baswedan mengembuskan napas terakhir pada 16 Maret 1986, atau tepat hari ini 34 tahun lalu, di Jakarta. Jenazahnya kemudian dikuburkan di Pemakaman Tanah Kusir. Lima tahun sebelum diangkat jadi Pahlawan Nasional, Baswedan mendapatkan Penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana dari pemerintah melalui Keppres No. 57/TK/2013. Penghargaan itu merupakan penghormatan atas jasa-jasa Baswedan dalam pembentukan Indonesia.
==========
Ravando Lie adalah kandidat doktor sejarah di University of Melbourne, Australia. Ia menekuni studi peranakan Tionghoa dan menulis buku Dr. Oen: Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil (2017). Saat ini sedang menyusun disertasi tentang surat kabar Sin Po dan nasionalisme Indonesia.
Editor: Ivan Aulia Ahsan