tirto.id - Sebelum menjadi hakim dalam dewan pengadilan di Batavia, Nicholaes Schagen pernah terlibat kasus hukum saat menjabat direktur VOC cabang Bengal. Baik Batavia maupun Bengal merupakan dua dari sejumlah wilayah yang dikuasai dan mendatangkan untung besar bagi VOC.
Pada 1687, Schagen dituntut oleh komisioner-gubernur dewan VOC, Hendrik Adriaan van Reede van Mijdrecht tot Drankenstein, atas kelakuannya menyelundupkan opium. Namun, Schagen berdalih bahwa dengan pangkat dan kehormatannya, dia tidak mungkin melakukan itu. Schagen pun memperolok petugas-petugas VOC berpangkat lebih rendah yang dijadikan saksi di pengadilan.
Network of Empire (2009) yang disusun Kerry Ward menyebutkan Schagen pada akhirnya diskors dan dipanggil ke Batavia. Setelah dinyatakan tidak bersalah, Schagen dimutasi ke Ambon, salah satu wilayah kekuasaan VOC lainnya.
Pejabat-pejabat, baik di kantor swasta atau pemerintah, yang berbuat curang sehingga menguntungkan dirinya sendiri, seperti Schagen, masih ada hingga saat ini. Mereka sekarang lebih senang menguntit uang perjalanan dinas atau pengadaan barang. Memang hampir tidak pernah terdengar pejabat sekarang yang menyelundupkan opium atau narkoba karena barang tersebut telah dinyatakan ilegal. Tapi ada kemungkinan pejabat terlibat dalam perdagangan gelap narkoba.
Namun, di era Schagen, opium diperdagangkan secara bebas. VOC yang memulai bisnis tersebut dengan mendatangkan ribuan ton opium dari Bengal untuk dijual di Nusantara.
"VOC sudah menjadikan opium sebagai komoditas utama perdagangan, selain kopi dan gula. Ada penelitian yang menyebutkan 15% pemasukan VOC berasal dari perdagangan opium. VOC juga membuat satu divisi tersendiri khusus menangani opium, yakni Amfioen Sociëteit," ujar sejarawan sekaligus pengajar Universitas Gajah Mada (UGM), Abdul Wahid, kepada Tirto, Jumat (29/6/2018).
Abdul mengatakan sebagian opium digunakan dalam bidang kesehatan, sementara sebagian lainnya dikonsumsi. Menurut Abdul, orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda adalah konsumen terbesar opium, diikuti para bangsawan pribumi dan orang-orang Eropa.
Opium dan Ambivalensi Kolonialisme
Pemerintah kolonial hanya mendatangkan opium mentah dan memberikan izin pengelolaan opium kepada para pachter. Mereka inilah yang mengolah opium menjadi layak dan nikmat untuk dikonsumsi.
Namun, sistem pachter juga menimbulkan masalah di Hindia Belanda. Mereka menguasai sejumlah wilayah peredaran opium dan menjaganya dengan "bala tentara"-nya sendiri. Pertarungan dan penyelundupan opium antar wilayah pun kerap terjadi.
Lagipula, opium membuat sebagian besar pengonsumsinya mencandu dan keuntungan yang didapat pemerintah kolonial tidak sebesar yang diharapkan karena dikorupsi pegawainya.
Pada 1887, Pieter Brooshooft, editor koran harian di Semarang, De Locomotief, melayangkan sebuah petisi yang ditandatangani 1.255 orang kepada 12 politisi Belanda.
James R. Rush menuliskan dalam Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860–1910 (1991) bahwa Brooshooft menuntut adanya suatu partai Hindia Belanda yang mewakili kepentingan Hindia Belanda di Parlemen, sembari mengritik perdagangan opium.
"Yang mendampingi petisi tersebut ialah buku berisi kritik terhadap strukrur pajak kolonial berjudul Memorie over den toestand in Indie yang di dalamnya Brooshooft melontarkan serangan terhadap perkebunan opium," sebut Rush.
Pada akhir abad ke-19, pemerintah kolonial pun menerapkan sistem baru, yakni Opium Regie. Dengan skema ini, opium hanya boleh diatur dan dikelola langsung oleh pemerintah kolonial.
Alexander Claver menuliskan dalam Dutch Commerce and Chinese Merchants in Java (2014) bahwa Opium Regie pertama kali diterapkan untuk Batavia pada 1893 dan disetujui untuk seluruh Hindia Belanda pada 1897.
"Dibuat untuk menyucikan kesalahan masa lalu, Opium Regie menampilkan kepedulian terhadap kesejahteraan material dan spiritual pribumi dan berusaha mengurangi penggunaan opium," sebut Claver.
Begitu pula pada awal abad ke-20. Belanda menandatangani kesepakatan global yang dipelopori Amerika Serikat dan Inggris mengenai opium di Den Haag. Kesepakatan itu menyatakan opium terlarang diperdagangkan, kecuali untuk keperluan pengobatan. Namun, Belanda hanya meratifikasi kesepakatan itu untuk hukum di Belanda. Di Hindia Belanda, opium tetap bebas diperdagangkan.
Sebagai reaksi atas kurangnya peran negara Belanda untuk mengurangi atau memberantas opium di Hindia Belanda, sejumlah orang di negeri jajahan itu bergabung dan membentuk organisasi gerakan anti-opium sejak 1913.
Abdul Wahid, dalam makalah berjudul “Anti-Opium Crusade in Java: the rise and Development of Anti-opium Movement in Late Colonial Java” yang disampaikan pada konferensi Colonial Medicine in Post-Colonial Times: Continuity, Transition, and Change di Jakarta, 27-30 Juni 2018, mencatat setidaknya ada tiga organisasi semacam itu, yakni Anti-Opium Vereeniging (AOV) dan International Order of Good Templars (IOGT) yang berkantor di Batavia; serta Netherlands-Indische Anti-Opium Vereeniging (NIAOV) yang berkantor di Bandung.
Hidup dan Mati Gerakan Anti-opium
AOV dibentuk berlandaskan besluit nomor 29 bertanggal 28 November 1913. Kantornya berada di Kramat 35, Weltevreden, sebuah daerah yang kini meliputi Gambir hingga Salemba, Jakarta Pusat. Sedangkan anggotanya terdiri atas orang-orang Eropa dan Tionghoa beragama Kristen. "Mereka bagian dari Zending (misionaris Belanda)," sebut Abdul.
Untuk menyediakan bantuan kesehatan pecandu opium, AOV mendirikan rumah sakit dan klinik anti-opium. Ini tidak bisa dilakukan AOV tanpa donasi. Dan begitulah tampaknya cara AOV menjaga keberlangsungan lembaganya.
Pada 1917, AOV membuka rumah sakit Anti-Opium Hospitaal Vereeniging di Jacatraweg (kawasan Mangga Dua, Jakarta), setelah mengumpulkan donasi sebesar f19.500. Pada enam bulan pertama, rumah sakit ini menangani 342 pecandu. Namun, donasi hanya mampu membiayai rumah sakit selama satu tahun. Pemerintah kolonial pun menolak memberikan bantuan dana. Pada akhirnya, rumah sakit ditutup.
Setelah itu, AOV tetap bertahan dengan donasi dan menjalin kerja sama dengan dua organisasi anti-opium lain dan rumah sakit zending. Tiap bulan, AOV mampu mengumpulkan donasi sebesar f40.
Dengan usaha itu, AOV berhasil mendirikan klinik di dua tempat, yakni Pasar Senen dan Jacatraweg, serta membiayai penanganan pecandu opium di rumah sakit lain.
"Pada 1930, AOV mengeluarkan f4.200 untuk membantu 500 penanganan pecandu opium. Pada 1932, sebanyak 9 orang Belanda, 1.847 Tionghoa, dan 647 pribumi direhabilitasi," sebut Abdul.
Di samping rumah sakit, AOV juga membuat fasilitas pendukung pemulihan pecandu opium, seperti Roemah Pertemoean di Pasar Senen dan Roemah Singgah di Jatinegara. Di sana, mantan pecandu berkegiatan bersama, mulai dari membaca, berdiskusi, atau berolahraga. Selain dibuat untuk mencegah para mantan jadi pecandu lagi, fasilitas ini juga membantu mereka mendapatkan kehidupan "normal" di masyarakat.
Kemudian, AOV juga mengalokasikan 20 persen anggaran pengeluarannya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai bahaya opium. Pertama, AOV memberikan ceramah-ceramah dan mengunjungi sekolah-sekolah. Kedua, AOV menerbitkan buku-buku, pamflet, dan melalui kerja sama dengan Volkslectuur. Serta ketiga, AOV menyelenggarakan parade anti-opium, pekan anti-opium, dan kampanye lainnya.
Abdul mengatakan AOV bisa terbentuk secara legal karena pemerintah kolonial membolehkan orang-orang, termasuk juga pribumi, mendirikan organisasi. Sejumlah organisasi, seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, Partai Komunis Indonesia pun berdiri semasa itu, mengkritik dan menyerukan kemerdekaan untuk Indonesia.
Namun, Abdul tidak melihat catatan AOV menentang kolonialisme Belanda. Ini amat berbeda dengan gerakan anti-opium di Malaysia dan Tionghoa. Di tanah jajahan Inggris tersebut, gerakan anti-opium menengarai opium yang beredar secara masif di wilayah mereka menguntungkan dan melanggengkan pemerintahan kolonial. Oleh karena itu, mereka turut serta dan bahkan menjadi penentu pergerakan nasional anti-kolonial di Malaysia dan Tionghoa.
"AOV memanfaatkan keran saluran politik yang dibuka pemerintah kolonial tersebut. Mereka tidak secara frontal menyerang pemerintah dan pada akhirnya mereka juga tidak anti-kolonial. Tetapi, yang jelas, AOV telah mengampanyekan bahwa kecanduan opium adalah masalah kesehatan masyarakat," sebut Wahid.
Editor: Ivan Aulia Ahsan