Menuju konten utama

Operasi Pembunuh Bayaran di Yaman: Puncak Gunung Es Militer Swasta

Dilandasi faktor uang dan privatisasi, keberadaan militer swasta kian menjamur di Timur Tengah.

Ilustrasi operasi militer US di Timur Tengah. iStockphoto/GettyImages

tirto.id - Uni Emirat Arab (UEA) tengah jadi sorotan media-media internasional. Laporan terbaru BuzzFeed News menyebutkan bahwa para emir UEA menyewa tentara bayaran dari AS dan Israel untuk menghabisi nyawa petinggi al-Islah, cabang Ikhwanul Muslimin di Yaman. Hal ini cukup ironis mengingat sejak 2015, UEA bersekutu dengan al-Islah untuk memberangus pemberontak Houthi.

“Tujuan utama UEA di Yaman sebetulnya ialah untuk memusnahkan al-Islah,” kata Issa Qadhi, perwakilan al-Islah, kepada Middle East Eye. Untuk itu, "mereka membawa tentara bayaran dari seluruh dunia."

Kabar tersebut serta merta menyeret Arab Saudi sebagai pihak yang diduga kuat mendukung aksi pemberangusan al-Islah. Pasalnya, menurut Issa, tidak mungkin jika Arab Saudi menutup mata atas apa yang terjadi mengingat status mereka sebagai pimpinan koalisi dalam pusaran konflik di Yaman.

“Saya percaya bahwa Muhammad bin Zayed [Putra Mahkota Abu Dhabi] meyakinkan Muhammad bin Salman untuk memerangi Ikhwanul Muslimin di Yaman,” tegasnya.

Aksi-aksi pemberangusan yang terjadi antara lain: pembunuhan sembilan tokoh kunci di al-Islah dan penahanan sewenang-wenang terhadap anggotanya, penggerebekan markas besar al-Islah, sampai serangan terhadap kediaman pemimpin al-Islah di Aden. Semua aksi tersebut dilakukan oleh tentara bayaran. Dalihnya: al-Islah dianggap punya afiliasi dengan aktor-aktor pelaku terorisme.

Mengeruk Untung di Tengah Perang

Dalam laporan berjudul “A Middle East Monarchy Hired American Ex-Soldiers to Kill Its Political Enemies: This Could Be the Future of War” yang terbit di BuzzFeed News (2018), Aram Roston menjelaskan bahwa UEA merekrut eks-personel pasukan khusus AL (Navy SEAL) untuk menjalankan misi pembunuhan dengan target para tokoh agama dan politik terkemuka di Yaman yang dianggap “teroris.”

Para pembunuh rekrutan ini punya pengalaman tempur di Irak dan Afghanistan selama bertahun-tahun.

“Ada program pembunuhan yang ditargetkan di Yaman,” ujar Abraham Golan, kepada BuzzFeed News. “Saya menjalankannya. Kami melakukannya. Itu disetujui oleh UEA dan koalisi [yang dipimpin Saudi].”

Golan adalah petinggi Spear Operations Group, perusahaan kontraktor militer Hungaria-Israel. Ia telah tinggal lama di Pittsburgh, AS. Keterlibatannya di Yaman bermula dari kesepakatan yang ia jalin dengan Muhammad Dahlan, mantan kepala keamanan Otoritas Palestina sekaligus penasihat Putra Mahkota Muhammad bin Zayed.

Inti dari kesepakatan itu adalah perusahaan Golan diminta untuk “mengganggu dan menghancurkan” eksistensi al-Islah di Yaman yang digambarkan sebagai “cabang dari organisasi teroris.” Jika misi sukses, Golan dan kroco-kroconya akan diberi imbalan 1,5 juta dolar AS beserta bonus yang jumlahnya dirahasiakan. Tiap personel yang ikut dalam misi diprediksi menerima bayaran 25 ribu dolar AS.

Selain menunaikan misi pembunuhan, Spear Operations Group ditugaskan untuk melatih tentara UEA. Agar misinya berjalan lancar, Golan turut menyertakan syarat kepada UEA, salah satunya: meminta UEA memasukkan personel Golan ke dalam kesatuan Angkatan Bersenjata UEA dengan segala pangkat kemiliterannya. Tujuannya, mengutip Golan, untuk “jaminan yuridis.”

Salah satu misi mereka digelar pada Desember 2015. Saat itu, Golan berangkat dengan selusin personel. Segala hal yang berhubungan dengan misi dipersiapkan di pangkalan militer di Assab, Eritrea. Di sana, Golan diberi pengarahan serta daftar target pembunuhan yang terdiri dari 23 nama. Dari keterangan Isaac Gilmore, rekan Golan dalam misi tersebut, sebagian besar target operasi adalah anggota al-Islah—termasuk beberapa ulama.

Kendati ada 23 nama yang disasar, misi Desember ini punya target utama: Anssaf Ali Mayo, pemimpin lokal al-Islah. Laporan BuzzFeed News menyebutkan bahwa misi membunuh tersebut gagal terlaksana karena Mayo lebih dulu meninggalkan gedung yang ingin diledakkan Golan.

Mengenai aksinya tersebut, Golan mengatakan ketika ada target “teroris” yang sulit ditangkap, maka satu-satunya cara adalah membunuhnya.

Akibat aksi-aksi Golan membuat puluhan ulama yang berafiliasi al-Islah melarikan diri dari Yaman ke Mesir dan Yordania. Mereka bahkan diimbau untuk “tetap berlindung di rumah” dan “jangan pergi ke masjid.”

Operasi sapu bersih Golan kian menambah daftar kenestapaan di Yaman. Pasalnya, Yaman sudah hancur lebur akibat konflik tak berkesudahan antara pemerintah dan pemberontak Houthi. Puluhan ribu orang tewas, ekonomi lumpuh, dan kelaparan terjadi di mana-mana. PBB bahkan menyatakan bahwa konflik pemerintah-Houthi telah melahirkan “krisis kemanusiaan terburuk di dunia.”

Tak hanya itu, pihak UEA juga diduga melakukan kejahatan perang. Laporan Al Jazeera pada Agustus 2018 mengungkapkan bahwa Abu Dhabi mengoperasikan jaringan yang berisi 27 penjara rahasia di Yaman selatan, di mana narapidana disiksa dan diinterogasi secara brutal.

Perang Bikin Kaya

Keberadaan tentara bayaran dan kontraktor militer swasta tumbuh seiring maraknya konflik. Di mana ada konflik (atau perang), maka di situ ada tentara bayaran yang siap meraup untung. Di era Mesir Kuno dan Kekaisaran Romawi, tentara bayaran dipakai para penguasa untuk menambahkan kekuatan pasukan imperial. Sementara di era modern, tentara bayaran dikonsolidasikan ke dalam korporasi.

Peter W. Singer dalam bukunya, Corporate Warriors (2003), menulis bahwa dalam beberapa dekade terakhir, kontraktor militer swasta telah berkembang, baik secara ukuran maupun fungsi. Hal tersebut, catat Singer, merupakan imbas dari tiga faktor. Pertama, berakhirnya Perang Dingin yang memicu penurunan secara drastis jumlah pasukan yang dibutuhkan negara-negara adidaya.

Kedua, adalah perubahan sifat peperangan yang menjadi lebih dinamis, dengan berbagai konflik regional seperti perang di Rwanda dan Kosovo. Terakhir, banyak pemerintahan yang mengalihdayakan (outsourcing) tanggung jawab mereka dengan cara privatisasi. Layanan yang sebelumnya disediakan oleh sektor publik, termasuk pendidikan, kepolisian, dan yang paling penting, peperangan, dibuka untuk sektor swasta dalam upaya untuk mengurangi biaya melalui mekanisme pasar.

Dalam “Private Military Corporations: Benefits and Costs of Outsourcing Security” yang dipublikasikan Yale Journal of International Affairs (2011, PDF), Allison Stanger dan Mark Williams mencatat bawa bisnis kontraktor militer swasta tumbuh subur di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Afrika Selatan, dan Israel. Kerja-kerja militer swasta mencakup penasihat strategis, analisis intelijen, pelatihan taktis, hingga bantuan teknis, logistik, dan operasional.

Daftar negara klien kontraktor militer swasta dalam beberapa dekade terakhir antara lain Angola, Australia, Kanada, Kolombia, Kongo, Kroasia, Perancis, Liberia, Oman, Papua Nugini, Arab Saudi, Senegal, Sierra Leone, Sudan, dan Inggris. Allison dan Mark menjelaskan, terdapat perbedaan tujuan penggunaan militer swasta di tiap negara.

Untuk negara-negara berkembang macam Kongo hingga Sierra Leone, militer swasta dipakai untuk merespons perang atau konflik dalam negeri yang sedang berkecamuk. Sementara untuk negara-negara maju, militer swasta dimanfaatkan untuk keperluan kebijakan luar negeri, khususnya dalam intervensi di wilayah-wilayah tertentu.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/10/22/rental-militer-di-timur-tengah--mild--fuad-01.jpg" width="860" alt="Infografik Rental Militer" /

Penggunaan jasa militer swasta mengalami lonjakan selama dan sesudah operasi militer AS di Irak dan Afghanistan. Data Congressional Research Service, dikutip dari artikel Alex Casendino berjudul “Soldiers of Fortune: The Rise of Private Military Companies and Their Consequences on America’s Wars” yang terbit di Berkeley Political Review (2017), menyebutkan bahwa proporsi militer swasta yang dikontrak selama perang di Irak dan Afghanistan mencapai 50 persen—naik lima kali lipat dibanding ketika Perang Dunia II berlangsung (10 persen).

Penggunaan militer swasta kerap menimbulkan masalah. Masih menurut Casendino, masalah utama militer swasta adalah pengawasan dan transparansi. Lemahnya dua faktor tersebut di atas menyebabkan militer swasta cenderung melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan kerugian material dan korban jiwa.

Hal ini bisa terjadi lantaran militer swasta tak punya hierarki yang jelas. Siapa yang mengawasi mereka dan berhak menjatuhkan hukuman kepada personel jika berbuat indisipliner? Hanya kontrak tertulis antara penyewa jasa dan kontraktor yang bisa dijadikan pegangan.

Contohnya bisa dilihat pada kiprah Blackwater, kontraktor militer swasta asal AS. Pada 2009 silam, sebagaimana diwartakan Guardian, mereka diadili karena terlibat dalam aksi baku tembak yang menewaskan 17 warga sipil Irak di Nisour Square, Baghdad. Catatan sebelumnya lebih miris lagi: sejak 2005, mengutip data Kongres AS, Blackwater terlibat dalam hampir 200 penembakan di Irak.

Blackwater didirikan oleh mantan tentara AL AS, Erick Prince, tak lama usai invasi AS ke Irak pada 2003. Saat ini, Blackwater memegang status sebagai “kontraktor keamanan dan militer swasta terbesar di AS,” yang telah memperoleh kontrak lebih dari 1 miliar dolar dari pemerintah AS dalam sembilan tahun terakhir.

Sean McFate, penulis The Modern Mercenary: Private Armies and What They Mean for World Order (2014) mengatakan apa yang membuat peran militer swasta begitu bermasalah adalah ketika mereka mencari keuntungan dengan pembunuhan.

“Kehadiran mereka justru memperpanjang dan memperluas konflik,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait KONFLIK YAMAN atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf