tirto.id - Beberapa hari belakangan, nama Meiliana ramai dibicarakan setelah didakwa dengan pasal penodaan agama dan divonis 18 bulan penjara. Perkaranya, perempuan asal Tanjung Balai, Sumatera Utara, ini sekadar mengeluh kepada seorang tetangga tentang volume pengeras suara Masjid Al-Maksum yang dekat dengan kediamannya.
Keluhan Meiliana menyebar dari satu mulut ke mulut lain dan menjelma rumor liar yang disertai sentimen rasis. Muncul kabar-kabar sumir bahwa seorang "Cina mengamuk ke kelurahan," "Cina larang-larang azan", dan sejenisnya.
Lalu meledaklah kerusuhan itu. Tiga vihara, delapan kelenteng, dan satu balai pengobatan di Tanjung Balai dibakar massa yang mengamuk.
Pada Maret 2017, Meiliana ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sumatera Utara dengan pasal 156 subsider 156 a KUHP tentang penistaan agama. Puncaknya, Selasa (21/8/2018) kemarin, Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis kurungan 1,5 tahun penjara untuk perempuan berusia 44 tahun itu.
Meiliana banjir dukungan, di antaranya dari Wakil Presiden sekaligus Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla, Wakil Kedua DPR Fahri Hamzah, Putri Gus Dur, Alissa Wahid, sampai Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Tokoh-tokoh publik ini menyayangkan fakta bahwa kasus Meiliana diseret ke urusan penodaan agama.
Kebijakan di Negeri-Negeri Muslim
Keluhan seputar volume pengeras suara masjid sebenarnya bukan hal baru. Sejumlah negara di Timur Tengah yang berpenduduk mayoritas muslim bahkan secara ketat mengatur penggunaan pengeras suara masjid.
Februari 2017 silam, pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) menertibkan pengeras suara masjid di ibukota Dubai melalui instruksi Departemen Urusan dan Kegiatan Amal Islam UEA (IACAD). Pemerintah mempersilahkan warganya untuk melaporkan masjid yang membunyikan pengeras suara di luar batas kewajaran.
IACAD berpegang pada ambang batas kebisingan pengeras suara yang tidak boleh melebihi 85 desibel (dB). Sementara tes kebisingan yang dilakukan The National di kawasan pemukiman dan bisnis Barsha Heights, misalnya, menunjukkan volume rata-rata 86 dB.
Kepada The National, W.K, ekspatriat asal Libanon yang tinggal di Barsha Heights mengaku cukup terganggu dengan tingginya volume pengeras suara masjid. Namun, ia tak berani buka mulut. Ia berusaha memaklumi bahwa dirinya tinggal lingkungan mayoritas Islam. Narasumber lain yang ditemui The National mengatakan sengaja pindah rumah untuk menghindari bisingnya pengeras suara masjid. Pasalnya, ia dan istrinya berencana punya anak.
Aturan serupa berlaku pula di Bahrain yang jaraknya delapan jam dari Dubai via jalan darat. Pada November 2017, pemerintah mendorong pihak-pihak yang merasa dirugikan agar mengadukan masjid yang mengumandangkan azan dengan speaker menggelegar.
Dilansir dari Gulf Insider, Abdallah Al Moaily, pejabat Departemen Kehakiman Urusan Islam dan Wakaf, bahkan menyatakan bahwa sistem pengeras suara harus disingkirkan jika masjid menolak untuk mengecilkan volumenya. Menanggapi aduan banyak orang, Moaily menjelaskan bahwa pengeras suara yang diarahkan ke luar bangunan masjid tidak diperlukan untuk kegiatan doa, khotbah, dan ceramah lainnya, karena akan mengganggu istirahat dan ketenangan orang lain.
Di Mesir, Menteri Wakaf Mohamed Gomaa melarang penggunaan pengeras suara masjid untuk menyiarkan salat tarawih dan ceramah agama selama bulan suci Ramadan 2017 lalu, sebagaimana diberitakan oleh Egyptian Streets.
Meski tidak melarang azan lewat pengeras suara, Gomaa menjelaskan keputusannya itu bertujuan agar umat Islam dapat beribadah dengan khusyuk tanpa harus terganggu oleh pengeras suara yang saling tumpang tindih. Dikutip dari The Arab Weekly, lebih dari 100.000 masjid menggunakan pengeras suara yang dinyalakan pada saat yang bersamaan. Menurut Kementerian Wakaf, pengeras suara ini saling bersahutan, membingungkan, dan malah merusak kesucian bulan Ramadan.
Dilansir dari Arab News, sebagai negeri tempat kiblat umat muslim sedunia, Arab Saudi punya aturan ketat yang hanya mengizinkan pengeras suara dipakai untuk keperluan azan, salat jumat, salat Ied, dan salat minta hujan.
Aturan ini bahkan pernah diserukan dengan kontroversial oleh Mohamed al-Suhaimi, wartawan harian Al-Watan yang pro-pemerintah pada Februari 2018 lalu. Sebagaimana diberitakan Middle East Eye, dalam sebuah wawancara di stasiun televisi MBC, Suhaimi mengklaim bahwa jumlah masjid sudah terlalu banyak dan suara azan yang saling tumpang tindih malah membuat orang panik.
Suhaimi juga berargumen bahwa pengurangan jumlah masjid justru akan membuat jamaahnya membludak karena hanya terkonsentrasi di beberapa masjid saja. Pernyataan Suhaimi pun memicu kemarahan khalayak sampai-sampai ia dipanggil Kementerian Informasi untuk diinterogasi.
Pandangan Suhaimi tampaknya dilatarbelakangi oleh kegeramannya atas gerakan-gerakan Islamis di Saudi. Dilansir dari Al-Araby, keberadaan pengeras suara untuk menyiarkan khotbah dan tilawah dinilai Suhaimi sebagai wujud nyata dari melunaknya sikap pemerintah terhadap gerakan Sahwa yang terafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Padahal, Putra Mahkota Mohammed bin Salman pada 2017 lalu sudah menangkap pemimpin gerakan Sahwa, Safar Al-Hawali.
Kendati berpenduduk mayoritas muslim, beberapa daerah di Malaysia adalah kawasan multi-etnis dan multi-agama. Misalnya di negara bagian Selangor yang berpenduduk 57,9% muslim, 24,4% buddhis, 11,6% penganut hindu, menurut sensus 2014 (PDF).
Yong Lim Chan, seorang warga Malaysia keturunan Cina, tinggal di Taman Alam Megah, Shah Alam, Selangor, dekat sebuah masjid yang jaraknya tiga menit dengan jalan kaki. Diwawancarai Free Malaysia Today pada 2017 lalu, Yong mengatakan tidak punya masalah dengan seruan azan lima kali sehari melalui pengeras suara, meski ia mengakui bahwa suaranya terlalu keras.
Lain halnya dengan Shalini, seorang penganut Hindu yang tinggal di kota Klang, Selangor. Meski tidak mempermasalahkan azan, ia gusar dengan isi ceramah yang disampaikan melalui pengeras suara masjid. Ia mengaku tersinggung karena konten khotbah yang semestinya ditujukan pada satu komunitas tertentu, justru menyinggung kelompok ras lain.
Dilansir dari New Strait Times, penguasa Selangor, Sultan Sharafuddin Idris Shah, pada Oktober 2017 resmi melarang penggunaan pengeras suara masjid kecuali untuk untuk azan dan pembacaan ayat-ayat Al-Quran. Sementara untuk khotbah dan ceramah-ceramah lainnya, pengeras suara hanya boleh digunakan di dalam batas lingkungan masjid dan surau.
Mengeluh Sedikit, Dicap Murtad
Di Pakistan yang penduduknya mayoritas muslim, barang siapa mengeluhkan volume pengeras suara masjid bisa dicap murtad. Salah seorang yang pernah merasakannya adalah Zargar Yasir, blogger Pakistan. Kepada The Nation, ia membagikan kisahnya seputar pengeras suara masjid.
Pada Ramadan 2015, Yasir mengeluhkan besarnya volume pengeras suara dari masjid di dekatnya yang tengah melaksanakan ibadah tarawih. Yasir, yang juga ikut tarawih, mengeluh dan meminta pengurus masjid mengecilkan volume suara. Namun, Yasir malah dituduh murtad.
Pengeras suara masjid yang tak hanya dipakai untuk azan, tetapi juga untuk ceramah, debat dan kompetisi keagamaan lainnya, telah menimbulkan masalah di beberapa tempat di Pakistan. Dengan tingkat kebisingan tertentu, suara dari masjid mengganggu lansia dan orang-orang yang terbaring sakit, sehingga kehilangan ketenangan dan jam tidur, hingga menderita stres.
Dilansir dari Dawn, pada 2015, pemerintah provinsi Punjab membatasi jumlah pengeras suara menjadi hanya satu saja per masjid. Selain mengurangi kebisingan, aturan tersebut juga bertujuan membatasi penggunaan pengeras suara untuk ceramah bermuatan ujaran kebencian dan ekstremisme.
Keputusan itu disambut gelombang protes. Peraturan tersebut dinilai tak adil karena hanya berlaku untuk provinsi Punjab. Para pendemo juga menggunakan dalil-dalil agama guna meyakinkan pemerintah supaya mengizinkan lebih dari satu speaker di masjid.
Pada April 2018, dikutip dari Dawn, pemerintah provinsi Punjab merilis peraturan baru yang membatalkan regulasi 2015 tentang pengeras suara. Pemerintah kembali membolehkan empat pengeras suara per masjid yang bisa digunakan untuk pelbagai aktivitas seperti sedia kala.
"Mestinya mereka ingat bahwa volume suara yang tinggi bisa mengganggu orang yang sakit dan siapapun yang tinggal di sekitar masjid," tulis Yasir. "Barang siapa mempersoalkan volume pengeras suara ini, mereka bakal dicap 'murtad' atau 'wahabi'," imbuhnya.
Tentu saja Yasir sedang membicarakan Pakistan, bukan Indonesia—meski dalam beberapa hal, dua-duanya kini makin sulit dibedakan.
Editor: Windu Jusuf