tirto.id - Mark Bowden, penulis Black Hawk Down: A Story of Modern War (1999), pernah menggambarkan betapa sembrononya Presiden Amerika Serikat Donald Trump ketika mengambil kebijakan militer. Perangai tersebut ia rangkum lewat laporan panjang berjudul “Top Military Officers Unload on Trump” yang terbit di The Atlantic pada 2018.
Ada setidaknya empat tindak-tanduk yang memperlihatkan bebalnya Trump. Pertama, Trump, tulis Bowden, tak terlalu berminat pada detail kebijakan. Kedua, ia seringkali mengabaikan analisis para komandan dan agen intelijen. Ia lebih percaya intuisinya sendiri. Tak jarang pula Trump lebih suka mengambil sudut pandang yang terinspirasi dari pemberitaan Fox News.
Ketiga, bila ada pejabat yang menentang intuisinya, Trump tak segan-segan memecat yang bersangkutan. Keempat, ia beranggapan semua masalah harus diselesaikan dengan pendekatan militeristik.
Tak ayal lagi semua perangai itu membuat Trump senantiasa mengambil keputusan kontroversial di lanskap politik global. Termasuk ketika beberapa hari lalu ia memerintahkan serangan udara ke Qassem Soleimani, sosok penting di tubuh Garda Revolusi Iran.
Makin Mendidih
Tewasnya Soleimani tak dapat dipungkiri meninggalkan pertanyaan penting: bagaimana relasi AS dan Iran setelahnya? Pertanyaan ini, tentu, relevan dimunculkan mengingat hubungan di antara kedua negara tersebut berada di titik didih.
Sejarah mencatat bahwa hubungan keduanya memang tidak selamanya mulus—bahkan begitu rentan dengan aksi saling gertak. Jejaknya dapat dilacak hingga ke tahun 1950-an, tatkala pemerintah AS (diwakili CIA) dan Inggris bahu-membahu menggulingkan Mohammad Mossadegh, perdana menteri Iran yang terpilih secara demokratis.
Dua dekade berselang, AS kembali terlibat dalam kancah perpolitikan Iran dengan membantu Shah Iran, Mohammed Reza Pahlevi, kabur di tengah gejolak Revolusi Islam yang dicetuskan para mullah pimpinan Ayatollah Khomeini. Sebagai balasannya, tak lama setelah revolusi pecah, demonstran menggeruduk Kedutaan Besar AS di Teheran dan menyandera puluhan orang selama—total—444 hari.
Tapi, hubungan keduanya juga sempat mesra, tepatnya pada 1985 saat AS secara diam-diam mengirimkan senjata ke Iran, diduga untuk imbalan atas jasa Teheran membebaskan para sandera dari Abang Sam yang ditahan gerilyawan Hezbollah di Lebanon. Keuntungan dari pengiriman tersebut lalu disalurkan ke pemberontak di Nikaragua, yang lantas menciptakan krisis politik bagi pemerintahan Reagan. Publik kelak mengenang rentetan peristiwa ini sebagai “Skandal Iran Contra.”
Memasuki dekade 2000-an, tensi kembali memanas akibat dugaan yang menyebut Iran tengah membangun fasilitas pengembangan senjata nuklir. Pemerintah AS menjadi negara yang paling keras menentang program nuklir Iran. George Bush bahkan menempatkan Iran sebagai bagian dari “Poros Setan", bersanding dengan Irak dan Korea Utara.
Laporan Council on Foreign Relations menjelaskan bahwa program nuklir Iran sudah muncul sejak 1957. Mulanya, mereka menjalin kerjasama dengan AS. Akan tetapi, setelah revolusi, seiring dengan meningkatnya sentimen anti-Amerika, Iran mengalihkan fokusnya ke negara lain macam Cina dan Rusia.
Karena tekanan yang kuat dari negara-negara Barat, Iran memutuskan untuk menghentikan program senjata nuklirnya pada 2003—meskipun bersikeras mempertahankan pengembangan energi nuklir. Namun, temuan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memperlihatkan hal sebaliknya: Iran tetap membikin senjata nuklir.
Dari sinilah serangkaian negosiasi sampai sanksi silih berganti diterapkan anggota tetap Dewan Keamanan PBB (AS, Cina, Perancis, Jerman, Rusia, Inggris, plus Jerman) demi menghentikan ambisi nuklir Iran. Puncaknya terjadi pada 2006 saat sanksi yang dikeluarkan DK PBB membikin angka pengangguran dalam negeri mencapai 20 persen, selain juga menyebabkan PDB Iran kena kontraksi cukup parah.
Keadaan sedikit membaik ketika Hassan Rouhani naik ke tampuk kekuasaan menggantikan Ahmadinejad pada 2013. Sesuai janji kampanyenya, Rouhani akan berdialog dengan AS ihwal sanksi nuklir, guna memperbaiki perekonomian dalam negeri yang porak poranda.
Dua tahun berselang, kesepakatan jangka panjang pun diteken dalam wujud Rencana Aksi Komprehensif Bersama (The Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA). Di bawah perjanjian itu, Iran bersedia mengurangi persediaan uranium. Imbalannya: sanksi dicabut dan bantuan ekonomi bakal diberikan—jumlahnya mencapai $100 miliar setelah JCPOA diberlakukan.
Namun, lagi-lagi, semuanya tak berjalan mulus. Pada 2018, Trump membawa AS keluar dari kesepakatan JCPOA seraya menyebutnya sebagai hal “yang memalukan.” Alasannya: kesepakatan tak serta merta menghentikan program nuklir Iran.
Selain itu, Trump beranggapan bahwa Iran juga sedang mengembangkan rudal balistik yang dipasok untuk pemberontak Houthi di Yaman dan milisi Syiah di Irak. Pemerintah Trump menilai Iran menjadi sponsor utama aksi terorisme karena melatih pasukan hingga menyediakan dana untuk kelompok-kelompok militan yang tersebar dari Afghanistan, Gaza, Lebanon, hingga Pakistan.
Pemerintahan Trump menawarkan kesepakatan baru, salah dua poinnya ialah meminta Iran agar menghentikan program nuklir serta menarik pasukan dari Suriah. Tawaran AS ditolak Iran. Walhasil, AS makin beringas dalam menjatuhkan sanksi ekonomi yang menyasar penerbangan, perbankan, hingga sektor minyak, demikian lapor Al Jazeera.
Dampaknya tak main-main. Mengutip Bloomberg, perekonomian Iran seketika limbung. Embargo minyak, misalnya, membikin harga bensin melonjak drastis pada akhir 2019 sehingga memicu gelombang protes besar-besaran di Iran. Masyarakat merasa ditipu pemerintah. Kesepakatan nuklir yang dianggap akan memperbaiki hidup orang banyak ternyata justru berbuah malapetaka dengan munculnya sanksi dari AS.
Di saat bersamaan, AS tak mengendurkan tekanan. Mereka memasukkan Garda Revolusi ke dalam daftar organisasi teroris asing, di samping menuduh Iran sebagai aktor di balik rentetan serangan terhadap pesawat tanpa awak milik AS di Selat Hormuz pada Juni 2019; ledakan kapal di Teluk Persia; hancurnya pipa minyak Saudi Aramco; dan yang terbaru agresi ke pangkalan militer Irak di Kirkuk yang menewaskan kontraktor sipil dari AS.
Dinamika tersebut lalu mendorong AS untuk melancarkan balasan yang tak kalah keras: menghabisi nyawa jenderal Garda Revolusi.
Menurut studi Kayhan Barzegar, “Roles at Odds: The Roots of Increased Iran-US Tension in the Post-9/11” (2010, PDF), relasi panas AS-Iran disebabkan oleh perebutan pengaruh kedua negara di Timur Tengah. Konflik Iran-AS, terang Barzegar, adalah gambaran tentang pertikaian politik-ideologis.
Pasca invasi AS ke Irak pada 2003, Iran perlahan membangun pengaruhnya dan membuahkan hasil di sejumlah negeri seperti Afghanistan, Lebanon, hingga Palestina. Pada saat bersamaan, AS merasa terancam sebagai pihak yang memiliki jangkauan hegemonik global.
Timur Tengah Turut Panas
Perang berskala besar diprediksi tak akan terjadi dalam waktu dekat. Pasalnya, kekuatan Iran tak sebanding dengan milik AS dan sekutu-sekutunya seperti Arab Saudi hingga Israel. Meski demikian, bukan berarti Iran berpangku tangan.
Ilan Goldenberg dalam “Will Iran’s Response to the Soleimani Strike Lead to War?” yang dipublikasikan Foreign Affairs (2020) menulis bahwa Iran akan merespons serangan AS dengan hati-hati dan tak terburu-buru. Iran akan “memilih pendekatan yang dianggap efektif” dan “berusaha menghindari perang habis-habisan dengan AS”. Ketika itu sudah terjadi, maka kekacauan dipastikan muncul di kawasan Timur Tengah.
Iran sudah belasan tahun membangun pengaruhnya di beberapa negara Timur Tengah seperti Lebanon, Yaman, Suriah, hingga Irak melalui Soleimani. Oleh sekutunya, Soleimani dipandang sebagai sosok pemimpin yang dihormati.
Tewasnya Soleimani, terlebih akibat serangan AS, bakal membangkitkan hasrat balas dendam Iran dan sekutu. Pemimpin Hezbollah Hassan Nasrallah, misalnya, sudah menyerukan akan “mengibarkan bendera perlawanan di semua medan peran [Timur Tengah],” demikian yang diwartakan Financial Times.
Artinya, jaringan proksi Iran yang termanifestasi lewat Hezbollah dan milisi Syiah, ditambah dengan kehadiran satuan elite macam Garda Revolusi dan Qurds, diprediksi akan melancarkan serangan balasan yang menyasar serdadu, warga sipil, pejabat diplomatik, hingga fasilitas militer AS di Timur Tengah.
Tak hanya di Timur Tengah, serangan juga berpotensi melebar ke Afrika sampai Amerika Latin, mengingat, mengutip laporan Alex Ward berjudul “A Nasty, Brutal Fight”: What a US-Iran War Would Look Like” yang terbit di Vox (2020), Iran diperkirakan masih memiliki sel-sel tidur di sana yang mampu “bangkit kembali dengan cara dramatis sekaligus keras".
Vox mencontohkannya dengan kasus penyerangan terhadap pusat kegiatan warga Yahudi di Buenos Aires, Argentina, pada 1994. Serangan dilakukan oleh kelompok teroris yang berafiliasi dengan Iran.
Teror belum berhenti sampai situ. Ward menambahkan bahwa kekacauan juga akan merembet ke ranah siber. Iran, bisa dibilang, merupakan salah satu ancaman utama AS di dunia maya. Sejak 2011, ambil contoh, Iran sudah menyerang jaringan siber milik puluhan bank AS, mulai dari JPMorgan Chase hingga Bank of America. Serangan itu membuat bank tidak maksimal dalam beroperasi.
Masih menurut catatan Vox, Iran tercatat pernah melepas malware ke jaringan Saudi Aramco, perusahaan minyak milik Arab Saudi, dan mengakibatkan lenyapnya 75 persen dokumen, surat elektronik, serta berkaslainnya dari komputer milik perusahaan hilang dan digantikan gambar bendera AS yang dilalap api.
Ya, ongkos pembunuhan Soleimani bisa dipastikan tak sedikit. Pertanyaannya: siapkah Trump menghadapinya?
Editor: Windu Jusuf