tirto.id - 1979 adalah tahun di mana Iran meletakkan pondasinya sebagai sebuah republik Islam. Di antara rangkaian insiden yang mengawali revolusi para mullah, krisis pendudukan kantor kedutaan besar Amerika Serikat di Teheran adalah salah satu fragmen paling penting.
Bukan soal durasinya yang tercatat sebagai krisis penyanderaan terlama dalam sejarah, akan tetapi dampaknya yang amat efektif untuk merusak hubungan Iran dan AS hingga hari ini.
Narasi anti-Amerika mengental sejak massa turun ke jalan. Mereka termotivasi oleh jejak CIA dalam Operation Ajax (1953) yang berakibat pada tergulingnya Perdana Menteri Mohammad Mosaddegh dan naiknya Shah Mohammed Reza Pahlevi ke tampuk kekuasaan.
Salah satu jurnalis yang menarasikan peristiwa tersebut dengan cukup komprehensif adalah John Skow, reporter Majalah Time. Dalam laporannya yang bertajuk The Long Ordeal of the Hostages, Skow menjelaskan bagaimana kedutaan besar AS di Teheran menjadi sasaran demonstrasi yang berlangsung agresif.
Inisiatornya adalah aktivis yang tergabung dalam Mahasiswa Muslim Pengikut Garis Imam, aliansi mahasiswa pendukung Revolusi Iran dari berbagai universitas. Mereka sudah merencanakan aksi penyerbuan sejak bulan September.
Rencananya sederhana: menduduki kedubes AS selama beberapa jam, atau paling lama satu minggu, untuk menunjukkan pada dunia perihal kontribusi mereka dalam revolusi Iran. Pendudukan kedubes dianggap mampu memaksimalkan perjuangan revolusi “dengan cara yang jauh lebih tegas dan efektif.”
Pada tanggal 4 November 1979, 39 tahun silam, militansi mahasiswa makin mengeras. Mereka siap untuk kontak fisik dengan aparat keamanan. Meski demikian, mereka tetap bertindak cerdas. Untuk membuka gerbang kedubes, misalnya, mereka menyelundupkan aktivis perempuan yang membawa pemotong gembok di balik kerudung panjangnya.
Usai gerbang terbuka, massa menyerbu ke dalam kedubes. Sebanyak 66 warga Amerika disandera. Tangan mereka diikat, mata ditutup dengan selembar kain. Dokumen-dokumen rahasia dibakar massa di jalanan depan kedubes, bersama meja, kursi, dan hasil jarahan lain.
Mahasiswa kemudian mengadakan konferensi pers untuk meminta pendeportasian Shah Pahlevi yang pergi berobat ke AS usai digulingkan oleh gerakan revolusioner Iran. Mereka meminta AS minta maaf atas intervensinya di dalam politik dalam negeri Iran, termasuk penggulingan Mossadegh, dan menyerahkan aset Iran yang dibekukan di bank-bank AS.
Sesuai rencana awal, pendudukan kedubes dan penyanderaan para karyawan akan berlangsung dalam waktu singkat. Namun, segalanya berubah setelah Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Iran, menyatakan dukungan penuh kepada mahasiswa.
Khomeini pulang dari pengasingan selama 15 tahun di Perancis pada 1 Februari 1979. Ia dan Dewan Revolusioner mengambil alih kekuasaan pada 6 November, dua hari setelah aksi penyanderaan, usai PM Mehdi Bazargan dan jajaran pemerintahannya menyatakan untuk mengundurkan diri.
Mark Bowden dalam bukunya Guests of the Ayatollah: The First Battle in America's War With Militant Islam (2006) mencatat bagaimana Khomeini memanfaatkan berbagai insiden di lapangan untuk menyatukan sekaligus menguatkan moral warganya.
Pendudukan kedubes Khomeini sebut sebagai “revolusi kedua”. Sementara kedubes AS ia nyatakan sebagai “sarang mata-mata Amerika di Teheran”.
Berbagai faksi internasional mendukung aksi penyanderaan, baik yang berafiliasi Islamis maupun yang kiri—dua entitas musuh AS selama periode perang dingin. Uni Soviet, Kuba, Libya, dan Jerman Timur diduga memberikan bantuan tak langsung. Organisasi Pembebas Palestina (PLO) memberikan personel, pelatihan, hingga dana. Fidel Castro tak ketinggalan melontarkan pujian untuk Khomeini.
Presiden AS Jimmy Carter dan jajaran pemerintahannya cukup pusing sebab para penyandera menolak negosiasi. Hal ini membuat durasinya memecahkan rekor: 444 hari. Sepanjang satu tahun lebih warga di Iran mengukuhkan agenda revolusi mereka, sementara demonstrasi anti-Iran merebak di berbagai kota di AS, terutama di ibukota Washington D.C.
Beberapa sandera ada yang mampu berangsur-angsur dibebaskan. Pada 20 November 1979, misalnya, sandera perempuan dan yang berkulit hitam dilepaskan. Sisa sandera tercatat 53 orang. Pada 11 Juli 1980 totalnya menjadi 52 orang setelah satu orang sandera dibebaskan karena sakit.
Bowden menggarisbawahi perbedaan kondisi sandera dari yang dilaporkan pihak Iran dan yang berasal dari pengakuan para sandera sendiri.
Pihak Iran berkali-kali menegaskan bahwa sandera adalah tamu sehingga mesti diperlakukan dengan hormat. Sementara sandera yang diwawancarai Bowden berkata sebaliknya: mereka kerap menerima pemukulan, pencurian, dan teror verbal.
Sandera lain mengaku pernah diborgol berhari-hari, dikurung di ruangan gelap, dilarang pergi ke ruangan lain kecuali ke toilet, dan dilarang berkomunikasi dengan sandera lain selama berbulan-bulan. Mereka berkali-kali menerima ancaman akan dieksekusi jika tidak menurut. Ada juga yang bersaksi jadi korban permainan “Russian roulette” oleh sejumlah penyandera.
Ada seorang sandera yang mogok makan. Dua lainnya mencoba bunuh diri dengan cara mengiris pergelangan tangan memakai pecahan gelas kaca. Percobaan ini gagal saat penyandera masuk ke ruang gelap tempat keduanya disekap, lalu dibawa ke rumah sakit terdekat.
Empat sandera ada yang mencoba kabur, tetapi tertangkap, lalu mendapat hukuman kurungan khusus. Para penyandera suka memberikan ancaman-ancaman yang bertujuan untuk meruntuhkan kondisi psikologis para sandera. Perlakuan mereka, kata korban kepada Bowden, adalah “suatu bentuk penyiksaan yang diulur-ulur”.
Pemerintahan AS bukannya diam. Mereka pernah melakukan upaya penyelamatan pada April 1980, tapi gagal, dan justru secara tak sengaja membunuh delapan pekerja asal AS. Carter makin tertekan sebab demonstrasi di AS sendiri makin meluas.
Pada pertengahan Januari 1981 kebuntuan akhirnya bisa dipecahkan melalui proses negosiasi panjang yang telah AS jalani sejak bulan November 1980. Sebagaimana merujuk pada catatan CNN Middle East, Aljazair berperan sebagai mediator. Iran mau membebaskan para sandera setelah AS bersedia untuk mencairkan aset-aset Iran yang dibekukan.
Pada 20 Januari 1981 ke-52 sandera diterbangkan ke Aljazair, lanjut ke Pangkalan Udara Rhein-Main di Jerman Timur. Mereka dirawat selama beberapa di rumah sakit Weiesbaden sebelum akhirnya diterbangkan ke New York. Sambutannya luar biasa besar, bak pahlawan yang baru pulang dari medan perang.
Masih mengutip CNN, banyak ahli yang berpendapat bahwa krisis penyanderaan sebagai awal mula AS berhadapan dengan politik Islam. Iran bukan lagi berstatus sebagai kawan AS di Timur Tengah. AS berpaling ke Irak, memasok berbagai bantuan militer, dan turut memperkuat posisi Saddam Hussein.
Belum ada satu tahun sejak dimulainya drama penyanderaan, Saddam menginvasi Iran. Aksi ini memulai perang antar kedua negara yang berlangsung hampir sewindu dan memakan nyawa lebih dari 100.000 warga sipil.
AS tentu saja terlibat untuk mendukung Irak—sikap yang kemudian berbalik pada awal 2000-an dengan dalih kepemilikan senjata pemusnah massal. Sementara itu hubungan AS dengan Iran terus-menerus panas. Keduanya seakan ditakdirkan sebagai musuh abadi.
AS rajin mengancam Iran melalui berbagai jenis embargo ekonomi, sesekali benar-benar mereka realisasikan. Perbincangan soal nuklir tak pernah tak alot. Dalam konteks persaingan geo-politik, Iran selalu lebih dekat dengan Rusia dan negara-negara lain yang anti-AS.
Gedung kedubes AS di Teheran kini dialih fungsikan sebagai museum dan pusat kebudayaan Islam. Tiap tahun jalanan di sekitarnya diramaikan oleh warga yang memperingati hari pertama penyanderaan. Mereka meneriakkan slogan “matilah kau Amerika!” dengan penuh kebencian, seakan-akan waktu tak beranjak dari tahun 1979.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti