tirto.id - 18 Mei 2011. Pusat kota Nikosia dilanda kerusuhan. Sekelompok orang dengan wajah tertutup melemparkan bom ke kantor polisi. Sementara di waktu bersamaan, sekelompok yang lain menghancurkan pos-pos milik Partai Konservatif Siprus (DYSI) dengan bom bensin. Nikosia tak ubahnya medan perang.
Tengah malam, polisi anti huru-hara berhasil meredam keributan. Delapas belas orang yang ditengarai sebagai provokator ditangkap, lima orang dibawa ke rumah sakit karena terluka, sedangkan beberapa bangunan mengalami kerusakan parah.
Kerusuhan hari itu merusak perayaan yang terjadi sore sebelumnya ketika ribuan orang berkumpul di alun-alun untuk bernyanyi dan bergembira. Mereka, yang datang dari segala usia maupun latar belakang, sedang bersuka cita atas pencapaian klub bola lokal bernama Omonoia Nicosia yang baru saja menggondol Piala Siprus untuk ketiga kalinya.
Bagi sebagian besar masyarakat Siprus, Omonoia bukan sembarang klub. Ia adalah klub bola yang melestarikan nilai-nilai komunisme. Omonoia merupakan bukti saat sepakbola menjadi alat pemersatu semua golongan, perlawanan terhadap represi politik yang ditujukan kepada orang-orang kiri, sampai tongkat pukul untuk menggebuk kebrutalan para fasis.
Klub yang berdiri pada 4 Juni 1948 ini merupakan produk dari sejarah politik Siprus. Omonoia punya hubungan formal dengan Partai Pekerja Siprus (AKEL) karena mayoritas pendukung Omonoia juga pendukung AKEL. Mereka sama-sama anti-fasis dan anti-nasionalis. Omonoia lahir karena dua perkembangan sejarah besar: pembentukan Partai Komunis Siprus dan perlawanan atas penggunaan nasionalisme sebagai alat mengendalikan negara oleh Imperium Inggris.
Inggris masuk ke Siprus pada 1878. Mereka memperoleh pulau ini dari Kerajaan Ottoman sebagai bentuk dukungan diplomatik. Pada saat itu, penduduk lokal yang mayoritas adalah keturunan Yunani, menyambut hangat kedatangan Inggris. Asumsinya: Inggris dapat memodernisasi Siprus dan meningkatkan hak-hak sipil masyarakat di dalamnya.
Alih-alih membawa penghidupan yang diharapkan, kehadiran Inggris justru mendatangkan malapetaka. Siprus dipakai Inggris sebagai pangkalan militer. Dampaknya, wilayah Siprus dieksploitasi habis-habisan yang mengakibatkan kemiskinan dan keterbelakangan yang cukup parah. Kondisi tersebut praktis membuat masyarakat Siprus kecewa. Pada dekade 1930-an, dua gerakan pun lahir: anti-kolonialisme yang dimotori komunitas Yunani dan Gereja Kristen, serta sosialisme sebagai respons atas pendudukan Inggris.
Keinginan untuk berdikari ditanggapi dengan aksi-aksi brutal aparat pemerintah kolonial. Ruang gerak mereka dipersempit, Partai Komunis Siprus—yang berubah nama jadi AKEL—dibekukan. Kendati begitu, di akar rumput, serikat buruh dan kelas pekerja terus mengupayakan berbagai hal demi terciptanya kemerdekaan yang bebas dari intervensi Inggris.
Di tengah masifnya perlawanan ini, pada 1934, Federasi Sepakbola Siprus (COP) berdiri. Namun, alih-alih menjadi induk sepakbola yang netral dari kepentingan politik, COP nyatanya malah menjadi senjata kelompok elite sayap kanan—dengan bekingan Inggris—untuk merepresi orang-orang kiri. Salah satu cara mereka ialah dengan menyebarkan propaganda bahwa pesepakbola “yang punya kedekatan dengan kelompok kiri” adalah pengkhianat dan berbahaya.
Ihwal ini bisa disaksikan pada Mei 1948. Menurut “When Then ‘Communist Bandits’ Formed a Football Team: A Glimpse of the Extraordinary History of Omonoia Nicosia” yang disusun Vassilios Loakimidis, kala itu, klub ibukota, APOEL, mendukung keberadaan Asosiasi Atlet Amatir Hellenic yang dikendalikan pemerintahan sayap kanan di Athena, Yunani. Sikap APOEL mendapatkan kritikan karena menurut aturan federasi, klub tidak boleh “bertindak politis.” Dalam surat dukungannya, APOEL menulis bahwa mereka berharap pemerintah Yunani “dapat mengakhiri pemberontakan etnosida.”
Konteks “pemberontakan etnosida” tersebut merujuk pada Perang Sipil Yunani yang terjadi antara 1946-1949. Terminologi itu, secara luas, digunakan oleh kelompok sayap kanan Yunani untuk memperlihatkan bahwa perang sipil bukanlah hasil dinamika politik maupun intervensi asing (Inggris dan AS), melainkan disebabkan oleh “orang-orang Moskow” alias kelompok kiri.
Lima pemain yang punya kedekatan dengan kelompok kiri di APOEL lantas menolak mentah-mentah klaim yang ada. Bagi mereka, surat dukungan tersebut tak lebih dari fitnah belaka. Di bawah tekanan dari pers sayap kanan dan histeria anti-komunis yang meluas, pesepakbola kiri dari APOEL kemudian dijatuhi hukuman: tiga orang dilarang bertanding selama tiga bulan dan satu orang dikeluarkan dari klub.
Perlakuan tak mengenakkan tersebut mendorong anggota Dewan Sosialis Lokal Nikosia yang juga penggemar sepakbola, Mattheos Papapetrou, untuk mendirikan klub sepakbola sebagai bentuk dukungan moral kepada pemain yang dihukum APOEL. Pada Juni 1948, Omonoia pun lahir.
Nama Omonoia, mengutip Rebel Ultras, dipilih dari kata Yunani yang berarti “kesatuan dan kesetaraan,” dua elemen yang absen dalam kehidupan masyarakat Siprus waktu itu. Warna hijau kemudian dipilih sebagai warna klub, terinspirasi dari warna EPON—asosiasi pemuda komunis Yunani yang selama Perang Dunia II gigih melawan pendudukan Nazi. Sedangkan untuk lambang klub diputuskan memakai “Shamrock,” sebuah simbol bergambar tangkai dan daun semanggi muda, menggambarkan eksistensi santo pelindung, dan membawa semangat anti-kolonialisme.
Dalam beberapa minggu usai dibentuk, ribuan kelas pekerja Siprus mendaftar sebagai anggota Omonoia. Dengan sepakbola, mereka seperti memperoleh ruang untuk menyalurkan hasrat untuk melawan terhadap penindasan-penindasan yang dilakukan kelompok sayap kanan di Siprus.
Tak Bisa Lepas dari Politik
Pada 1960, Siprus merdeka. Namun, masalah tetap muncul dan tak kalah ganas berwujud konflik etnis yang melibatkan orang-orang Siprus Yunani dan Siprus Turki.
Konflik terjadi karena perbedaan pandangan akan masa depan Siprus. Orang-orang Siprus Yunani beranggapan bahwa Siprus harus menyatu—unifikasi—dengan Yunani. Sementara Siprus Turki menolak gagasan tersebut dan berdalih bahwa kedua komunitas etnis harus dipisahkan.
Puncak konflik terjadi pada musim panas 1974. Sekelompok ekstremis sayap kanan yang dikendalikan dan dipersenjatai oleh junta militer Yunani berupaya melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Melihat keadaan itu, militer Turki segera melancarkan serangan terhadap separuh wilayah utara Siprus demi melindungi masyarakat keturunan Turki di sana. Perang pun tak bisa dihindarkan dengan korban yang tak sedikit jumlahnya.
Di tengah eskalasi konflik ini, masih mengutip Vassilios Loakimidis dalam makalahnya, kelompok kiri Siprus muncul menawarkan gagasan berupa independensi Siprus dari perpecahan etnis dan kekuatan imperialis. Tujuan politik semacam itu menarik respons ganas dari kelompok paramiliter sayap kanan yang mengakibatkan penyiksaan dan pembunuhan terhadap orang-orang kiri Siprus.
Kendati begitu, kelompok kiri tak patah arang. Mereka terus melanjutkan upaya penyatuan Siprus. Salah satunya lewat Omonoia. Sepanjang dekade 1970 sampai 1980-an, Omonoia tak cuma klub bola biasa. Ia juga membawa motif politik kuat untuk menantang kelompok kanan serta mendorong adanya reunifikasi antara kedua komunitas.
Aksi politik itu dilakukan di Gate 9—tribun bagi para ultras Omonoia. Beberapa hal yang sudah mereka tempuh antara lain mengecam penggunaan bendera Yunani dalam kehidupan sehari-hari, mendirikan jaringan “Alerta” yang menyatukan para pendukung sepakbola anti-fasis di seluruh Eropa, mendukung imigran dengan menyediakan tiket gratis pertandingan, menentang rasisme, hingga mengundang orang-orang Siprus Turki ke stadion sembari merentangkan spanduk bertuliskan kata “damai.”
Rival Abadi: APOEL
“Kebanyakan mereka menyebut kami komunis. Dan kami menyebut mereka fasis,” kata Panayiotis Kouis, salah satu pendukung Omonoia.
Sebagaimana klub bola yang punya sejarah panjang, Omonoia juga terlibat rivalitas dengan klub bola lainnya. Dalam hal ini, seteru abadi mereka ialah APOEL Nicosia. Pertarungan keduanya lebih dari sekadar urusan di lapangan.
Kedua klub, catat Cyrus Philbrick dalam “The Hangover or War” yang dipublikasikan The Blizzard (2013), dipandang menjadi representasi politik di Siprus. APOEL digambarkan mendukung kelompok sayap kanan yang punya cita-cita bersatu dengan Yunani—termasuk saat mereka begitu antusias dengan digulingkannya Presiden Siprus, Uskup Agung Markarios III, pada 1974. Sedangkan Omonoia sendiri menjadi perwakilan dari klub yang mendukung “kemerdekaan Siprus tanpa campur tangan pihak lain.”
Perseteruan itu terasa di lapangan. Kala kedua klub bertanding, masing-masing pendukung menggemakan chant yang saling menjatuhkan. Salah satu chant klasik milik pendukung Omonoia yakni ketika menyebut pendukung APOEL sebagai “anak pelacur dan kumpulan fasis.” Tak jarang, serangan verbal semacam ini berujung aksi baku hantam.
Setelah 1974, ketegangan antar-dua kubu perlahan mendingin. Namun, dalam beberapa kesempatan, tensi tetap panas. Bedanya, saling serang kedua belah pihak tidak didorong motif politik melainkan karena hooliganisme. Konflik kebanyakan dimainkan secara verbal, di ruang-ruang obrolan antar-pendukung dan dalam nyanyian yang bergema di sekitar dinding stadion GSP di Nicosia.
Konflik kian menjadi kabur kala Siprus bergabung dengan Uni Eropa pada 2004. Bergabungnya Siprus ke Uni Eropa praktis turut mengubah regulasi sepakbola dalam negeri. Keran pemain asing mulai dibuka. Situasi tersebut membikin pertukaran pemain di antara Omonoia dan APOEL yang sebelumnya mustahil terealisasi, menjadi mudah dijumpai.
Rivalitas kedua klub ini pada hakikatnya bukanlah hal yang baru dalam dunia sepakbola. Namun, perseteruan keduanya tetap terasa istimewa karena mereka benar-benar bergerak bak dua kutub yang berseberangan. Selain itu, bagi sebagian masyarakat Siprus, Omonoia dan APOEL ibarat partai politik yang saling serang dan saling hantam demi kepentingan politiknya sendiri-sendiri.
Satu hal yang pasti: banyak penggemar sepakbola yang melihat APOEL sebagai cermin penindasan dan otoritarianisme yang lebih luas atas ide-ide sosialisme di Omonoia, atau dalam konteks yang lebih luas, Siprus.
Editor: Nuran Wibisono