tirto.id -
Mereka mengkritik sulitnya publik mencari dokumen peradilan selama proses penelitian, terutama dokumen peradilan di Indonesia.
"Ternyata dokumen peradilan itu susah diakses. Tidak ada namanya digitalisasi terkait dengan dokumen-dokumen peradilan," kata Anggota Ombudsman Adrianus Meliala di Gedung Ombudsman, Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Adrianus mengatakan penelitian harus menyisir dokumen yang ada meski penelitian berkutat pada perkara inkracht.
Menurutnya tim peneliti ada yang bertanya ke lapas, ke pengadilan, hingga ke kejaksaan maupun kepolisian.
Mereka bahkan sempat mendatangi perpustakaan untuk mendapat dokumen tersebut.
Adrianus menambahkan mereka menemukan perbedaan perlakuan dokumen padahal, dokumen tersebut merupakan jejak sejarah penanganan perkara.
Mereka pun heran dokumen bisa tercecer padahal seorang terpidana menjalani proses hukum diikuti dengan berkas.
"Asumsinya data itu kan bergerak mengikuti orang, misal Adrianus dilaporkan Adrianus dituntut, bergerak terus, tapi apakah begitu? Ternyata tidak. Ternyata sebagian besar data kumpul di pengadilan tapi karena pengadilan punya variasi yang berbeda-beda dari sisi perlakuan maka terpaksa kami mengejar ke masing-masing satker polisi penuntutan dan selanjutnya," Kata Adrianus.
Adrianus mengatakan, mereka mendapat pelajaran saat penanganan survei kepatuhan berkas-berkas tersebut.
Ia pun tidak memungkiri kemungkinan ada upaya jual beli berkas bila ada masalah dalam pengelolaan berkas perkara.
"Satu lesson learn kami dapat dari segi sampingan harusnya dunia peradilan ini itu lebih memperhatikan soal data-data. Apa lalu kemudian ada kesengajaan, mungkin. Apa mungkin data tersebut dikomoditikan? Mungkin. Ya harus begitu bacanya karena tadi kita enggak tahu motivasi mereka," Kata Adrianus.
Di sisi lain, Anggota Ombudsman Ninik Rahayu menjawab permasalahan penegakan hukum masih dengan pandangan masing-masing.
Padahal, sistem penegakan hukum saling terkait.
"Intinya masing-masing aparat penegak hukum dengan lembaga penegak hukum tidak parsial cara bekerjanya. Dia menjadi satu sistem, (yaitu criminal justice system)," Kata Ninik di Gedung Ombudsman, Jakarta, selasa.
Ninik mengatakan, dokumen penegakan hukum terhadap seseorang berpindah dari kepolisian, kemudian kejaksaan, lalu peradilan dan penjara sesuai dengan berkas masing-masing tahapan.
Seharusnya, berkas tersebut tidak tercecer, tapi ternyata ada dokumen yang hilang.
"Ini memang kritik buat di lembaga penegak hukum sendiri," Kata Ninik.
Ninik mengaku, timnya pernah menangani satu kasus tentang kesalahan administrasi terkait putusan.
Kala itu, ada seseorang melaporkan petikan putusan berbunyi 2,5 tahun tetapi isi putusan berbunyi 4,5 tahun penjara.
Namun, setelah diteliti, ternyata hukuman yang harus dijalani adalah 2,5 tahun penjara.
Ninik tidak memungkiri permasalahan administrasi bisa membuka celah hukum.
Ia menganggap masyarakat bisa saja menggugat mengingat dokumen merupakan informasi hukum. Masyarakat pun bisa menggugat bila ada data yang dianggap merugikan.
"Soal kelengkapan data memberi peluang pada masyarakat yang merasa dirugikan kemudian menggugat balik prosedur hukumnya saya kira itu mungkin saja," kata Ninik.
Survei dilakukan Ombudsman lewat pendekatan dokumen terhadap empat berkas perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Mereka mengambil sampel di 10 provinsi, yakni Sumatera Utara, NTT, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Riau, Sumatera Barat, dan Maluku.
Keempat berkas di tiap provinsi yang diteliti berdasarkan kriteria perkara tindak pidana umum, berkekuatan hukum tetap pada tingkat pertama, putusan pidana di atas lima tahun, serta perkara yang putus sejak 2015-2018.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Nur Hidayah Perwitasari