tirto.id - Ombudsman RI menemukan empat masalah dalam sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2023. Temuan ini berdasarkan hasil pengawasan Ombudsman RI terhadap penyelenggaraan PPDB di 28 provinsi dan 58 kabupaten/kota.
Pengawasan oleh Ombudsman RI dilaksanakan pada satuan pendidikan yang terdiri dari 32 Sekolah Menengah Atas (SMA), 32 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 94 Sekolah Dasar (SD), 33 Madrasah Aliyah (MA), 50 Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan 43 Madrasah Ibtidaiyah (MI).
Empat masalah dalam sistem zonasi PPDB 2023 itu meliputi: rentan blankspot dan ketidaksesuaian titik koordinat; adanya manipulasi dan pemalsuan dokumen kependudukan; tidak semua penyelenggara melakukan pembagian zonasi; dan belum ada mekanisme validasi dalam seleksi zonasi.
Anggota Ombudsman RI Indraza Marzuki Rais mengatakan manipulasi dan pemalsuan dokumen kependudukan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga bekerja sama dengan petugas di institusi pendidikan serta dinas kependudukan setempat.
"Dilakukan oleh masyarakat sendiri dan juga kerja sama dengan orang-orang yang punya akses terhadap ini," ungkap Indraza, Selasa (5/9/2023).
Sementara itu, Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Irjen Kemendikbudristek) Chatarina Muliana menilai verifikasi data oleh satuan pendidikan masih lemah dalam memerangi manipulasi dan pemalsuan dokumen.
"Dari kebijakan zonasi, itu tentang KK, yang kedua tentang bahwa penempatan zonasinya itu tidak ada, yang ketiga akuntabilitas dan transparansinya dalam mekanisme memastikan data yang diinput sesuai dengan faktanya," kata Chatarina di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Selasa (5/9/2023).
"Jadi, verifikasinya yang masih lemah yang disebabkan oleh SDM dan sekolahnya yang kurang, sehingga menyebabkan verifikasi tidak dilakukan," imbuhnya.
Menurut Chatarina, pemalsuan kartu keluarga (KK) bisa dilaporkan sebagai tindak pidana oleh pihak yang dirugikan dalam kasus tersebut.
"Kemendikbud tidak bisa menghukum sekolah, yang ada kita hanya memberikan rekomendasi, dan kalau memang masuk dalam ranah pelanggaran pidana maka diproses secara pidana, kalau masuk ranah pelanggaran disiplin maka itu ranah pemerintah daerah untuk memberi hukuman kepada kepala sekolah," ujarnya.
lebih lanjut, Chatarina menilai permasalahan zonasi bukan pada kebijakan yang diterapkan, akan tetapi pada proses implementasi.
"Evaluasi kami, persoalannya ada di implementasi karena masalah seperti pemalsuan KK-jual beli bangku sudah ada sejak sebelum kebijakan ini. Oleh karena itu, tugas kami untuk memastikan kalau dalam implementasi kita bisa meminimalisir atau sama sekali menghapus ini," tutup Chatarina.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Gilang Ramadhan