tirto.id - Pemerintah kembali memuka kran impor jagung sebesar 150.000 ton setelah mengimpor 130.000 ton jagung. Hal ini diduga Ombudsman terkait keterbatasan impor gandum.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengatakan besarnya impor jagung pemerintah akhir-akhir ini disebabkan karena sulitnya mendapatkan pasokan impor gandum dari negara penghasil seperti Australia, Ukraina, hingga Rusia.
Anggota ORI, Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan pada masa-masa ini negara penghasil gandum sedang membatasi ekspornya lantaran gangguan panen dan kebutuhan domestik. Di saat yang sama harga internasional gandum juga mengalami kenaikan sebagai konsekuensinya.
Akibatnya ia tidak heran bila keterbatasan pakan ternak pada 2018 membuat peternak menjerit. Hal itu pun yang ia yakini direspon pemerintah dengan membuka kembali keran impor jagung, meski terdapat informasi produksi jagung masih surplus.
“2018 ketika gandum sulit jadi ramai masalahnya. Orang kan gak tampak kenapa ramai ini peternak mengeluh soal pakan. Makanya pemerintah buka impor jagung lagi,” ucap Alamsyah saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (6/2/2019).
Alamsyah menjelaskan, sejak 2016 pemerintah telah membatasi impor jagung dari 12,9 juta ton selama 2010-2014 menjadi 5,7 ton selama 2015-2018. Penurunan drastis ini, kata Alamsyah, sempat diklaim karena produksi jagung dalam negeri mengalami peningkatan.
Di saat yang sama ia mendapati adanya peningkatan impor gandum. Dicontohkannya, seperti impor jagung menurun dari 3,3 juta ton pada 2015 jadi 1,3 juta ton pada 2016, 0,5 juta ton pada 2017, dan hampir tidak ada impor pada 2018.
Namun, impor gandum pada 2015 meningkat jadi 2,2 juta ton pada 2016, 3,1 juta ton pada 2017 dan menurun pada 2018 menjadi 1,3 juta ton, karena ada pembatasan ekspor.
“Ada data impor gandum 2017 meningkat melebihi kebutuhan. Kebutuhan 8 juta ton tapi impornya 11,4 juta ton. Kita hitung ternyata selisihnya dipasok ke industri pakan,” ucap Alamsyah.
Alamsyah menilai impor gandum sebagai pengganti bahan pakan ternak sejak 2016 ini merupakan politik pengalihan impor pemerintah ke komoditas yang tak banyak ditanam di dalam negeri.
Dengan demikian, kata dia, impor yang dilakukan tak banyak mendapat keluhan dibanding jagung yang beririsan dengan komoditas petani Indonesia.
Alamsyah juga meminta pemerintah untuk segera meninjau kebijakan impor jagung yang masih simpang-siur ini.
Ia juga mengatakan peringatan dini ORI memang selayaknya menjadi dorongan bagi pemerntah untuk segera mengevaluasi kebijakan impor yang telah berjalan akhir-akhir ini.
“Jadi menghindari seolah-olah katakanlah mereka ingin mengurangi impor jagung, bukan karena produksi berlimpah tapi karena subtitusi komoditas selain jagung untuk pakan,” ucap Alamsyah.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali