Menuju konten utama

Oh Dokter, Kenapa sih Tulisanmu Jelek Saja Belum?

Kenapa tulisan dokter jelek? Ada yang mengatakan karena tergesa-gesa, tapi ada pula yang menyebut persoalannya bukan profesi, tapi gender.

Oh Dokter, Kenapa sih Tulisanmu Jelek Saja Belum?
Ilustrasi Dokter. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Kalau dokter mungkin dilatih nulis, anak farmasi latihan buat baca tulisannya.”

Kelakar tersebut membuka obrolan antara saya dan Rita Purnamasari, seorang apoteker di sebuah klinik daerah Yogyakarta.

Rita kemudian mengirim contoh resep yang ia dapat hari itu–bagian nama pasien dan dokter sudah disensor. Saya hanya bisa mengidentifikasi beberapa huruf dan angka, 'S', 'A', 'B', '1', dan '3'. Semuanya tidak membentuk kata apa pun.

Di ujung telepon, Rita tertawa. “Ini baru salah satunya, pusing enggak, tuh.”

Tulisan tangan yang "jelek saja belum" selama ini jadi stereotip dokter, bukan hanya di kalangan tenaga kesehatan tapi masyarakat luas. Saat kecil saya bahkan mengira kurikulum 'menulis buruk' diajarkan dalam pendidikan kedokteran.

Agar bisa membaca resep dokter dengan tepat, Rita mengaku harus latihan selama seminggu. Sebelum benar-benar boleh menerima resep asli dan meracik obat, ia berlatih dengan berdus-dus salinan resep lawas sembari diawasi penanggung jawab apoteker. Saat pendidikan, ia belajar memahami dengan menulis ulang resep, komplet dengan nama obat, aturan, dan kontraindikasi.

“Ada yang tulisannya bagus, bisa dibaca. Tapi yang jelek juga enggak kalah banyak.”

Apoteker tidak langsung meracik obat setelah memperkirakan apa isi tulisan dalam resep. Mereka terlebih dulu memastikan apa yang mereka pikir tertulis dalam resep berdasarkan indikasi penyakit pasien. Informasi tersebut akan membantu mereka menerjemahkan resep secara presisi. Jika masih buntu, maka apoteker harus menelepon dokter bersangkutan untuk mengkonfirmasi.

Kehati-hatian ini wajar karena ketika obat yang diberikan tidak sesuai, maka karier si apoteker terancam. Hal ini terjadi di Medan, Sumatera Utara tiga tahun lalu. Dua apoteker diperkarakan akibat diduga salah memberi obat. Mulanya resep dikembalikan karena dianggap kurang jelas, tapi pasien kembali menebus di lain waktu, dan jatuh sakit setelah mengonsumsi obat tersebut.

Bahkan bisa saja kesalahan ini berujung kematian. Hal ini terjadi di Amerika Serikat pada 1999. “Apoteker salah membaca obat nyeri dada menjadi obat antihipertensi. Pasien mengalami serangan jantung dan meninggal beberapa hari kemudian,” demikian tercatat dalam British Medical Journal. Bedanya bukan apoteker yang menerima sanksi. Dokter jantung penulis reseplah yang ditetapkan bersalah dan harus membayar denda kepada keluarga pasien.

Dokter memang bertugas menyembuhkan penyakit, namun kita tak bisa menyangkal bahwa tulisan tangan mereka yang buruk juga turut berkontribusi terhadap beban kesehatan lain: kematian lebih dari 7.000 jiwa dan 1,5 juta kesalahan medis di AS (laporan National Academies of Science's Institute of Medicine 2006), serta kematian 30 ribu jiwa di Inggris per tahun.

Bukan Belahan Jiwa Dokter

Berabad-abad lalu, dokter melakukan semua pekerjannya seorang diri, dari mulai anamnesis, pemeriksaan, hingga meracik obat. Tulisan tangan mereka baik soal riwayat kesehatan pasien atau obat apa yang tepat dan bagaimana komposisinya, betapa pun buruknya, ya, hanya mereka saja yang baca.

Praktik zaman sekarang sungguh berbeda. Dokter adalah bagian dari praktik kesehatan yang multidisipliner. Apa yang mereka kerjakan memengaruhi kinerja orang lain.

Tulisan tangan yang tak jelas bisa menyebabkan pasien merasakan komplikasi, kelebihan dosis, atau bahkan kematian. Pasalnya, meski apoteker dilatih membaca resep, mereka justru paling lemah dalam melakukan itu.

“Apoteker paling buruk membaca resep dibanding dokter dan perawat. Beberapa kesalahan baca tergolong sangat kritis,” demikian ungkap studi Brits, dkk. dalam jurnal The South African Family Practice (2017). Penelitian tersebut juga mengungkap betapa sulitnya membaca tulisan tangan dokter. Meski menggunakan alat baca digital seperti IntelliPen, total sampel resep yang bisa dibaca hanya 39 persen.

Kesalahan membaca resep seringkali berkaitan dengan singkatan dan dosis. Ada dokter yang menulis obat penurun panas, parasetamol secara utuh, sementara yang lain hanya membubuhkan tiga huruf: PCM.

Apoteker memang bisa melakukan konfirmasi. Namun, tetap ada kemungkinan dokter keliru mengulang resep dengan tepat.

Kenapa Sulit Dibaca?

Ada yang berpikir bahwa dokter sengaja menulis jelek supaya resepnya tak bisa dibaca pasien.

Selain teori agar resep tidak terbaca pasien–yang tak jelas juga apa manfaatnya, tulisan tangan yang buruk juga dikaitkan dengan kebiasaan dokter selama menempuh studi. Ada klaim yang mengatakan bahwa semasa jadi mahasiswa, mereka terlalu banyak mencatat dan itu harus dilakukan dengan cepat. Rutinitas itu membuat tulisan mereka memburuk.

Tapi asumsi ini disanggah dr. Gary Larson di situs tanya-jawab di Quora. “Waktu saya sekolah di tahun 1970-an saja sistemnya satu kelas dapat salinan catatan yang diketik perwakilan kelas. Sekarang pasti lebih canggih karena pakai komputer.”

Karena satu lagi teori tumbang dan rasa penasaran belum terpuaskan, saya bertanya langsung pada seorang dokter, namanya Khansa Haura (28 tahun), pada Senin (21/6/2021). Ia bekerja di sebuah klinik spesialis di Bandung, Jawa Barat. Saat ditanya apakah tulisan tangannya juga tak terbaca, Khansa tertawa kecil. “Tulisanku bisa dibaca, dan hampir tidak pernah dihubungi apoteker untuk menjelaskan resep,” ujarnya menangkis stereotip tersebut.

Menurut Khansa, alasan paling rasional tulisan buruk para dokter adalah ketergesa-gesaan.

Asumsikan saja dalam sehari seorang dokter bekerja selama 10-12 jam, menangani belasan bahkan puluhan pasien. Dalam periode itu mereka harus menulis berlembar-lembar riwayat medis, klaim asuransi, dan resep. Sementara waktu kunjungan dibatasi dalam hitungan menit. Jadi, dibanding menyempurnakan tulisan tangan, wajar jika dokter lebih memilih fokus menangani pasien. Kebiasaan itu kemudian membikin tulisan tangan semakin buruk karena otot-otot halus tangan bekerja terlalu lama.

“Biasanya tulisan susah dibaca karena buru-buru, banyak pasien. Obat yang ditulis juga sudah umum jadi apotekernya dianggap paham,” jelas Khansa.

Klaim ketergesa-gesaan ini diperkuat dengan studi berjudul “Illegible Handwriting in Medical Records” dalam Journal of the Royal Society of Medicine, 2002. Peneliti menyebut kesalahan baca mayor terdapat pada 15 persen dari total sampel resep, utamanya datang dari departemen bedah–yang dianggap lebih padat dibanding departemen lain.

Infografik Tulisan Dokter

Infografik Tulisan Dokter. tirto.id/Quita

Namun, artikel Berwick dan Winickoff, dua peneliti kesehatan asal Amerika Serikat, kembali menerbitkan keraguan. Dalam artikel “The Truth about Doctors' Handwriting: a Prospective Study” (BMJ, 1996), mereka menyebut tulisan dokter sama terbacanya dengan tulisan tangan populasi umum, yaitu tenaga kesehatan lain.

Jikalau begitu, mungkin masalahnya terletak pada gender. Penelitian berjudul “Legibility of Doctors' Handwriting is as Good (or Bad) as Everyone Else's” (2006) mendukung asumsi tersebut. Pada bagian ringkasan disebutkan bahwa tulisan tangan dokter dianggap setara dengan tulisan tangan profesi lain, “tapi 40 persen tulisan pria lebih sulit dibaca dibanding 20 persen tulisan tangan perempuan.” Mengingat data WHO yang menyebut dokter pria lebih banyak dibanding dokter perempuan, bisa jadi tulisan tangan para dokter pria inilah yang malah terekspos dan menyebabkan generalisasi terhadap para dokter.

Apapun alasannya, tulisan tangan tak terbaca pada resep membuat informasi tak tersampaikan utuh dan mencegah perawatan maksimal. Masalah tersebut semestinya sudah bisa diatasi di era digital seperti sekarang dengan membikin catatan medis atau resep elektronik.

Baca juga artikel terkait DOKTER atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Rio Apinino