tirto.id - Dari sekian banyak hal yang menjadi sorotan pada Kongres Diaspora yang berlangsung di Jakarta kemarin (2/7), soal toleransi menjadi salah satu topik utama. Masalah toleransi lekat dengan kaum diaspora karena kebanyakan dari mereka kini tinggal di tempat yang kebudayaannya berbeda dengan Indonesia.
Pengalaman Imam Syamsi Ali yang menjadi Imam Besar di New York, Amerika Serikat, bisa dijadikan contoh. Sebagai diaspora yang tinggal di negara mayoritas Kristen dan Katolik, Ali mengaku sempat takut dengan tetangganya yang beragama lain. Namun, ternyata ia merasa tidak mendapat masalah yang berarti.
Berdasar pengalaman Ali, hidup sebagai muslim di Amerika memang tidak mudah. Apalagi setelah terpilihnya Donald Trump yang kerap menyulut kemarahan kaum muslim yang tinggal di Amerika.
Di sana, haknya dijamin oleh negara, tetapi dirinya juga sadar kondisinya sebagai minoritas.
“Misalnya kami sebagai minoritas di sana merasa memang dijamin ya memang dijamin secara hukum. Tapi kami sebagai minoritas juga harus tahu diri bahwa saya minoritas dan saya harus melakukan pendekatan-pendekatan,” katanya. “Jadi yang namanya toleransi itu bisa kita pertahankan saat masing-masing pihak sudah ada tanggung jawabnya, bukan hanya haknya saja, tapi juga tanggung jawab.”
Solusi yang ditawarkan Ali dalam menghadapi masalah toleransi ini adalah menyaring informasi keagamaan yang ditampilkan oleh media. Dan tugas menyaring informasi itu, menurut Ali, adalah tugas ulama. Bagi Ali, semua agama mengajarkan kebaikan, dan pemimpin agama seharusnya bertugas untuk mengayomi masyarakatnya agar tetap mengamalkan kebaikan.
“Tokoh agama harus merepresentasi ajaran agama yang sebenarnya,” tegas Ali. “Bahkan Nabi pernah mengatakan, siapa yang menyakiti minoritas, saya akan menjadi musuhnya di akhir hayat nanti. Ini yang perlu disampaikan ulama kita. Ulama-ulama ini harus menyajikan yang menyejukkan di tengah-tengah konflik ini.”
Romo Markus yang bekerja di Vatikan, mengatakan ada hal yang diambil diam-diam oleh negara-negara Barat dari Indonesia, yakni kebinekaannya. Markus kemudian menceritakan pujian Paul Poupard dari Prancis, yang menjabat presiden transisi Dewan Kepausan untuk dialog antarumat beragama di Vatikan, 10 tahun yang lalu.
“Negaramu itu sangat indah. Begitu banyak perbedaan, tapi orang-orangnya hidup aman, indah, dan damai. Ini yang menarik bagi kita,” tuturnya menirukan perkataan Paul Poupard.
Namun, meski masih merasa optimis dengan situasi kebinekaan Indonesia, Markus tak bisa mengingkari ada rasa cemas. Bahkan, lanjut Markus, apabila sahabat-sahabatnya di Vatikan tahu kondisi Indonesia sekarang, mereka pasti sudah mulai merasa pesimis. Untungnya, karena pengaruh bahasa, kebanyakan informasi yang terperinci tidak sampai ke Vatikan.
Sebelumnya, Barack Obama dalam pidatonya menyampaikan harapan agar Indonesia menjadi panutan bagi negara-negara lainnya. Syaratnya: toleransi dan kesetaraan gender.
“Jika Indonesia bisa terus melakukan toleransi [...] dan memberikan kesempatan yang sama bagi para wanita, Indonesia bisa menjadi model bagi negara lain,” katanya. “Amerika bisa membantu menghindari dari serangan teroris, bisa membantu menangkal ISIS. Tapi faktor utama kesuksesan negara adalah dari dalam dirinya sendiri, bukan dari luar.”
Menurut Obama, Indonesia sudah punya modal semangat toleransi yang tinggi. Ia mencontohkan banyaknya masjid dan gereja yang dibangun berdampingan. Selain itu, toleransi juga terlihat saat ia menyaksikan bagaimana Candi Borobudur dan Prambanan yang suci bagi umat Buddha, tapi dilindungi oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.
"Borobudur adalah Candi Buddha terbesar yang berada di wilayah yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Demikian juga dengan candi Hindu, Prambanan, yang berada di tengah penduduk yang beragama Islam. Itu adalah simbol bahwa Indonesia pada dasarnya menghargai keberagaman dan toleransi," kata Obama.
"Semua itu jadi simbol khas Indonesia, bahwa mereka Bhinneka Tunggal Ika, bersatu dalam keberagaman. Hal itu dapat dijadikan contoh untuk negara muslim lain di dunia," imbuhnya.
Obama mencontohkan Suriah dan Irak saat konflik sektarian memperparah kondisi negara itu. Dia optimis masalah itu tidak akan terjadi pada Indonesia jika masyarakat masih memegang teguh sikap toleran terhadap keberagaman.
Sementara itu, Gubernur terpilih DKI Jakarta 2017 Anies Baswedan menanggapi isu intoleransi yang dilontarkan Obama dengan persoalan kesetaraan ekonomi. “Kita harus berkompetisi dalam karya. Itu ditunjukkan dalam kreasi, usaha-usaha, dan program kerja untuk menangkal kaum ekstremisme, puritan, dan radikal yang memang selalu ada,” ujarnya.
Kata Anies kunci masalah intoleransi adalah membereskan kesenjangan di Jakarta. Kesejahteraan yang tidak berimbang di Jakarta membuat orang merasa tidak punya kesempatan.
“Jadi, secara konstitusional, seorang gubernur bertanggung jawab membangun suasana yang kondusif. Itu artinya ada suasana orang nyaman, bahagia. Ada keadilan, tidak ada ketimpangan. Jadi yang dibangun oleh seorang gubernur itu bukan saja mengelola perbedaan identitas, tapi juga membereskan disparitas,” lanjut Anies.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan & Felix Nathaniel
Editor: Maulida Sri Handayani