Menuju konten utama

NU Pasca-Pemilu: Nasionalisme Mendahului Demokrasi?

Orde Baru menggunakan Pancasila untuk mendelegitimasi lawan-lawan politik.

NU Pasca-Pemilu: Nasionalisme Mendahului Demokrasi?
Avatar Azis Anwar Fachrudin. tirto.id/Mojo

tirto.id - Dukungan Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu faktor kunci kemenangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pilpres 2019. Sebagaimana ditunjukkan exit poll Indikator Politik, sebagian besar orang yang mengklaim berafiliasi ke NU memilih Jokowi, dengan kenaikan dukungan sebesar 12% dibandingkan pilpres 2014. Di masa kampanye, dukungan terbuka kiai-kiai berpengaruh di pesantren terhadap Jokowi nyata kentara. Segenap elite NU kini tanpa sungkan menyatakan bahwa mereka telah berperan signifikan membantu Jokowi mengamankan kursi kepresidenan di periode kedua.

Lantas apa yang diharapkan NU dari Jokowi sebagai ‘imbalan’, dan apakah NU akan memengaruhi arah kebijakan Jokowi khususnya terkait urusan keagamaan? Permintaan balas jasa atas upaya mobilisasi masif pengikut NU untuk memilih Jokowi seharusnya tak menjadi hal yang mengejutkan, mengingat jual-beli kursi kabinet bukanlah barang baru dalam politik kita. Yang akan lebih besar dampaknya dalam kebijakan politik Jokowi ke depan, dan mungkin akan berefek jangka panjang dalam wacana politik keagaman tanah air, adalah kampanye nasionalisme yang belakangan ini menguat berkat didorong NU, yang disertai dengan makin lemahnya perhatian terhadap nilai-nilai demokrasi (liberal).

Kabinet baru Jokowi

NU tentu akan berharap bahwa sejumlah program pemerintah, dalam tajuk “pemberdayaan pesantren”, yang telah dibangun di banyak pesantren sejak 2017, bisa berlanjut dan makin berkembang di masa jabatan kedua Jokowi. Program ini adalah Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dan Balai Latihan Kerja (BLK), sebagaimana pernah saya tulis di New Mandala. Harapan lain adalah janji pemerintah untuk mempercepat pengesahan RUU Pesantren yang, dalam ungkapan Jokowi sendiri, akan menjadi “payung hukum bagi pengalokasian anggaran negara bagi pondok pesantren”. Dalam soal ini, tampaknya tidak ada hadangan yang berarti bagi perwujudan janji.

Yang lebih menyedot perhatian publik adalah perihal jatah kursi menteri bagi NU sebagai bentuk balas jasa memenangkan Jokowi di Pemilu 2019. Sejumlah elit dan kiai NU tidak malu-malu menyebutkan soal ini dan bahkan menuntut jumlah perwakilan NU di kabinet Jokowi periode kedua sedikit lebih besar dibanding periode pertama.

Hingga Khofifah Indah Parawansa mengikuti pilgub Jawa Timur pada tahun 2018, enam menteri di kabinet Jokowi berasal dari kalangan NU, sebagaimana pernah diungkapkan Jokowi sendiri. Jumlah ini sebenarnya sudah merupakan rekor keterwakilan NU di dalam kabinet pemerintah sejak Reformasi. Dari enam menteri itu, tiga berasal dari PKB, satu dari PPP, dan satu tokoh non-partai yang dinomasikan oleh PKB, dan satu dari tim kampanye Jokowi. Keenam menteri yang berlatar belakang NU itu adalah Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pemuda dan Olahraga, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, dan Menteri Sosial. Namun demikian, imbalan yang dinantikan NU pascapemilu 2019 ini—dan beberapa kali dinyatakan sebagai keinginan khusus—adalah jatah menteri khusus yang diambil langsung dari jajaran Pengurus Besar NU (PBNU), bukan dari partai politik.

Adakah “Agenda NU”?

Di luar persoalan jual-beli kursi menteri, hal lain yang boleh jadi lebih berdampak luas arah kebijakan politik Jokowi dalam urusan keagamaan di periode kedua nanti. NU punya peluang besar untuk bisa berpengaruh dalam hal ini. Tingkat pengaruh NU terhadap pemerintah, dan kesediaan pemerintah Jokowi untuk memenuhi tuntutan NU, telah terindikasikan melalui pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 2017 dan pemilihan Ma'ruf Amin sebagai kandidat wakil presiden. Dalam kasus terakhir, Jokowi harus merelakan preferensi pribadinya karena NU sempat mengutarakan tidak bisa menjamin adanya dukungan total dari NU untuk Jokowi jika ia memilih calon wakil presiden non-NU.

Kita tahu NU bukan organisasi yang berisi orang-orang yang seragam pemikiran dan kecenderungan ideologi politiknya. Keragaman pandangan di internal NU ini bisa berarti bahwa meski ada kekhawatiran dari sebagain orang akan ancaman konservatisme agama yang semakin mengakar dengan keberadaan Ma’ruf Amin dalam pemerintahan Jokowi, NU memiliki kapasitas untuk menyediakan wacana tandingan dari internal komunitasnya. Sebagai contoh, Ma'ruf termasuk di antara tokoh kunci yang menyatakan Ahmadiyah sesat, tetapi sejumlah komunitas nahdliyyin tetap berperan aktif memfasilitasi dialog intra-agama dengan para muslim Ahmadi.

Dalam posisinya sebagai ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, Ma’ruf mengafirmasi fatwa MUI Jawa Timur yang menyatakan Syiah sesat—fatwa yang turut menjustifikasi persekusi terhadap komunitas Syiah Sampang.

Namun demikian, sejumlah nahdliyyin juga berada bergabung dalam barisan yang membela Syiah sebagai mazhab Islam yang absah. Banyak kiai NU memiliki lebih dari satu istri, tetapi Muslim feminis muncul belakangan tumbuh dan bertambah dari kalangan nahdliyyin. Banyak tokoh-tokoh penting NU yang turut memfasilitasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang menentang pandangan yang menyatakan bahwa poligami adalah praktik sunnah.

Milisi Ansor, Banser, telah sejak lama dimobilisasi untuk menjaga gereja selama perayaan Natal, sementara baru tahun lalu Ma’ruf secara publik menyampaikan ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani. Terkahir, Ma'ruf adalah saksi ahli dalam persidangan kasus penistaan penodaan ​agama Basuki Tjahaja Purnama, tetapi sejumlah politisi NU menyatakan kehendak untuk merevisi UU Penodaan Agama di parlemen.

“Demokrasi Pancasila”

Namun demikain, dari beragamnya suara di internal komunitas NU, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa nahdliyyin dari berbagai spektrum ideologi, termasuk yang konservatif (tentu saja ada pengecualian, tetapi jumlahnya sangat sedikit), cenderung satu suara setidaknya dalam dua persoalan. Pertama, dalam isu “Islam Nusantara” dalam rangka melawan gerakan ‘puritan’ atau ‘ekstremis’. Kedua, terkait pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam isu yang terakhir ini, tampaknya hanya nahdliyyin yang memiliki komitmen kuat terhadap HAM, yang tak banyak jumlahnya, yang cenderung menentang keputusan pemerintah untuk membubarkan HTI pada 2017-2018.

Pembubaran HTI itu didukung penuh oleh NU, dilatari oleh serangkaian laporan dari Banser atas aktivitas publik HTI ke aparat kepolisian, dengan justifikasi bahwa kegiatan HTI mengancam nilai-nilai kebangsaan dan mengganggu ketertiban publik. Perhatian terhadap dihapusnya fase pengadilan sebagai prasyarat pembubaran ormas—yang terkandung dalam UU Ormas 2013 tetapi kemudian dihapus melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas yang menjadi dasar pembubaran HTI—hampir-hampir tidak muncul dalam diskusi internal komunitas NU.

Dalam soal pembubaran HTI ini, tampaknya segelintir nahdliyyin yang memiliki komitmen kuat terhadap HAM yang cenderung menentang keputusan pemerintah untuk membubarkan HTI pada 2017-2018. Seorang anggota PBNU, yang progresif dalam masalah-masalah lain, bahkan menyatakan bahwa sudah sejak lama NU mengampanyekan perlunya membubarkan HTI seraya mengutarakan bahwa keputusan pemerintah itu sebenarnya sudah cukup “terlambat".

Infografik NU Pasca Pemilu

Infografik NU Pasca Pemilu. tirto.id/Nadya

Pembelaan diri tipikal dari sejumlah intelektual NU atas pembubaran HTI lazim mengacu pada fakta bahwa bahkan di beberapa negara liberal Barat (Jerman yang paling sering dijadikan referensi), HTI telah dinyatakan dilarang. Jenis argumen lainnya: demokrasi di Indonesia bukanlah demokrasi liberal, melainkan demokrasi yang harus selaras dengan Pancasila—atau “Demokrasi Pancasila”.

Retorika yang muncul dari para elite NU cukup sering menyiratkan bahwa (1) ke(tidak)sepakatan dengan keputusan pemerintah untuk membubarkan HTI mengindikasikan komitmen patriotik seseorang terhadap nilai-nilai kebangsaan, dan bahwa (2) nasionalisme mendahului demokrasi (liberal). Para pemimpin NU kadang mengeluarkan kelakar yang meringkas ini semua, yaitu bahwa PBNU adalah singkatan dari empat pilar kebangsaan: Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.

Pada 2017, sekitar 20.000 nahdliyyin berkumpul di lereng Gunung Lawu di Jawa Tengah untuk mendeklarasikan gerakan Front Penggerak Pancasila dan berkomitmen untuk “mengambil sikap tegas terhadap mereka yang berusaha menggantikan Pancasila”. Slogan NKRI Harga Mati kini kian populer di akar rumput NU.

Repetisi Orde Baru?

Menilik sejarahnya, sikap politik NU mengalami evolusi. Di masa-masa awal Indonesia, NU bukanlah pendukung penuh Pancasila (dalam versi yang sekarang ini). Pada paruh kedua tahun 1950-an, dalam sidang-sidang Majelis Konstituante yang memperdebatkan dasar negara, NU bersama Masyumi memilih Islam sebagai dasar negara alih-alih Pancasila. Pada 1970-an, anggota PPP— satu-satunya partai politik Islam yang diizinkan rezim Orde Baru, dan dipimpin oleh rais syuriah NU kala itu, Kiai Bisri Syansuri—keluar dari sidang parlemen yang diadakan untuk mengesahkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP)—serangkaian indoktrinasi Pancasila yang wajib diikuti oleh para pegawai negeri dan siswa-siswa sekolah negeri.

Baru pada 1980-an, bersamaan dengan naiknya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke pusaran kepemimpinan NU, organisasi ini mulai merumuskan justifikasi teologis bahwa Pancasila adalah dasar negara terbaik untuk mengatur hubungan antara agama dan negara di Indonesia. Pada dekade itu, rezim Orde Baru mengeluarkan kebijakan Pancasila sebagai asas tunggal, yang kemudian memaksa semua organisasi untuk mengadopsi Pancasila sebagai dasar ideologis organisasi mereka. Beberapa pihak masih memperdebatkan apakah penerimaan NU terhadap Pancasila pada waktu itu memang tulus atau karena pemaksaan negara. Terlepas dari soal ini, yang jelas sejak itu, slogan "Pancasila final" mulai menggema dan menyebar luas di komunitas-komunitas NU.

Hari ini, NU lantang menyatakan komitmen tegasnya untuk mempertahankan Pancasila. Dukungan NU terhadap pemerintah telah mendorong wacana "demokrasi Pancasila" dalam posisi yang paling menonjok sejak Reformasi. Sejak 1998, baru pada 2017 Pancasila pertama kali menjadi justifikasi hukum untuk membubarkan organisasi. Pada 2017 pula pemerintah membentuk lembaga (yang kini bernama) Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan Ma'ruf Amin dan ketua PBNU saat ini Said Aqil Siroj menjabat posisi di Dewan Pengarah bersama tujuh orang lainnya. Sejumlah kabar mutakhir mewartakan BPIP akan berupaya "membumikan kembali" Pancasila melalui kurikulum pendidikan guna membendung penyebaran ‘Islam radikal’ di universitas-universitas dan sekolah-sekolah negeri.

Rencana tersebut, termasuk kabar mutakhir akan rencana BPIP menjadi perumus uji kesetiaan Pancasila dalam tes CPNS, menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana program ini akan berbeda dari, atau justru malah mengulangi, apa yang dulu pernah dilakukan Orde Baru melalui P4 dan PMP.

Memang bisa dipahami bahwa NU—dan kelompok-kelompok pluralis pada umumnya—kini tengah menghadapi persoalan serius, yakni keberadaan kelompok-kelompok yang mereka sebut ‘Islam radikal’ yang jelas memproduksi wacana yang berpotensi mengancam nilai-nilai kebangsaan, dan sudah banyak survei menunjukkan bahwa popularitas kelompok-kelompok ini tumbuh subur di kalangan kelas menengah perkotaan.

Namun pertanyaan yang akan terus mengikuti adalah apakah dukungan NU (dan beberapa kelompok pluralis lainnya) terhadap penggunaan aparatur negara untuk memerangi ‘Islam radikal’, terutama dengan memakai Pancasila sebagai justifikasi hukum, akan mengurangi ancaman dan meningkatkan penerimaan kelompok ‘radikal’ terhadap Pancasila, atau malah makin menyokong narasi viktimisasi-diri di komunitas Islamis dan memperkuat rasa permusuhan mereka terhadap negara dan, lebih khususnya lagi, NU.

Studi di negara-negara mayoritas Muslim lain menunjukkan bahwa pelarangan organisasi Islamis justru menyebabkan pengikut mereka bergerak di bawah tanah karena kian sempitnya ruang gerak legal mereka. Beberapa dari mereka kemudian melihat kekerasan sebagai satu-satunya pilihan yang tersisa. Dalam konteks Indonesia pasca-pembubaran HTI, masih terlalu dini untuk membuat kesimpulan serupa. Beberapa tokoh yang pernah punya afiliasi dengan HTI masih dapat memberikan ceramah publik—dalam kabar mutakhir misalnya, Felix Siauw masih bisa berceramah terbuka di masjid balai kota Jakarta meski sempat diprotes Banser.

Terlepas dari apakah pendekatan top-down dalam membendung ‘radikalisme’ terbukti efektif atau malah kontraproduktif, perkembangan tahun-tahun terakhir telah menunjukkan bahwa NU telah membuat Pancasila, hingga tingkat tertentu, memainkan kembali perannya dulu di masa Orde Baru, yakni sebagai alat untuk mendelegitimasi lawan-lawan politik. Bedanya, hari ini NU berada di sisi pemerintah.

=====

Sebelum diterjemahkan oleh Levriana Yustriani, tulisan ini terbit dalam bahasa Inggris di New Mandala dengan judul "NU after the elections: more nationalism, less democracy?. Penulisnya, Azis Anwar Fachrudin, adalah peneliti pada Centre for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) at Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Selama Pemilu 2019, ia menjadi New Mandala Indonesia Correspondent Fellow yang menulis isu Islam, perubahan sosial, dan pengaruhnya pada kebijakan publik.

Baca selengkapnya di artikel "Pilpres 2019, Jokowi, dan NU: Pandangan dari Pesantren", https://tirto.id/dmTp

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.