Menuju konten utama
Metode Rukyat dan Hisab

Awal Ramadhan Berbeda, tapi Lebaran 2024 Berpotensi Berbarengan

Kendati diawali dengan perbedaan awal mulai puasa, Idulfitri 1445 Hijriah alias Lebaran 2024 disebut dapat berlangsung berbarengan.

Awal Ramadhan Berbeda, tapi Lebaran 2024 Berpotensi Berbarengan
Anggota tim dari Lembaga Falakiyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta mengamati hilal di Masjid Hasyim Asyari, Jakarta, Minggu (10/03/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/tom.

tirto.id - Perbedaan penentuan awal Ramadhan, Idulfitri, dan Iduladha merupakan diskursus yang sudah berjalan puluhan tahun. Perbedaan ini turut mewarnai khazanah Islam di Indonesia dengan metode dan kriteria keilmuan yang masing-masing pihak sodorkan. Tak jarang ketegangan, beban psikologis atas dikotomi yang terjadi, menimbulkan riak-riak kecil.

Perbedaan ini umumnya terjadi antara ormas Muhammadiyah vis a vis pemerintah bersama sebagian besar ormas Islam lain. Seperti Ramadhan 2024, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengawali bulan suci umat Islam ini sehari lebih awal dibanding kalender pemerintah yang beredar.

Pada 12 Januari 2024, PP Muhammadiyah sudah mengumumkan awal Ramadhan akan jatuh pada Senin (11/3/2024).

Sementara itu, pemerintah baru meresmikan awal Ramadhan 1445 Hijriah pada Minggu (10/3/2024), melalui sidang Isbat yang dipimpin Kementerian Agama.

Hasil sidang pemerintah mengumumkan awal Ramadhan jatuh pada Selasa (12/3/2024), atau berbeda sehari dari ketetapan PP Muhammadiyah. Maka ada sebagian umat Islam di Indonesia yang melaksanakan ibadah puasa lebih awal.

Pemerintah menetapkan awal bulan dengan menunggu hasil rukyat atau pengamatan hilal. Hasil rukyat menjadi acuan bagi pemerintah melaksanakan sidang penentuan Ramadhan. Hilal sendiri merupakan sabit sangat tipis selaksa benang cahaya dengan bagian bulan yang terang kurang dari 1 persen. Tidak mudah mengamatinya, karena kecerahan langit dapat mempengaruhi hasil pengamatan.

Peneliti Riset Astronomi-Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, menerangkan bahwa perbedaan awal Ramadhan, Idulfitri, dan Iduladha di Indonesia utamanya bukan disebabkan berlainan metode. Namun, terjadi karena ada perbedaan kriteria penentuan awal bulan.

PP Muhammadiyah melakukan penentuan awal bulan dengan kriteria hisab wujudul hilal (terbentuknya hilal). Sementara pemerintah dan sebagian besar ormas Islam lain, menentukan berdasarkan hisab imkannur rukyat (kemungkinan terlihatnya hilal) dengan kriteria Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).

“Wujudul Hilal hanya oleh Muhammadiyah. Pemerintah dan sebagian besar ormas Islam pakai kriteria MABIMS,” kata Thomas kepada reporter Tirto, Selasa (2/4/2024).

Kriteria terlihatnya hilal yang saat ini digunakan pemerintah adalah kriteria MABIMS yang menyatakan hilal dapat teramati jika jarak sudut atau elongasi Bulan-Matahari minimal 6,4 derajat dan tinggi hilal 3 derajat. Kriteria ini mensyaratkan adanya pengamatan hilal atau rukyat.

Sementara yang digunakan PP Muhammadiyah, berdasarkan hisab dengan kriteria wujudul hilal alias terbentuknya hilal. Menurut kriteria ini, hilal terbentuk jika konjungsi atau kesegarisan Matahari, Bulan, dan Bumi terjadi sebelum magrib dan matahari terbenam lebih dulu dibandingkan bulan. Kriteria ini tidak mengharuskan adanya rukyat.

Lebaran Diprediksi Serentak 10 April

Kendati diawali dengan perbedaan, Idulfitri 1445 Hijriah alias Lebaran 2024 disebut dapat berlangsung berbarengan. Hal ini dikuatkan hasil analisis prediksi awal Syawal yang dilakukan oleh Peneliti Riset Astronomi-Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin.

Menurut pengamatan Thomas, posisi hilal pada saat magrib akhir Ramadhan di wilayah Indonesia sudah cukup tinggi. Pada saat Magrib, 9 April 2024 mendatang di Jakarta, tinggi bulan sudah melebihi dari 6 derajat. Berarti sudah melebihi batas kriteria MABIMS (minimal 3 derajat).

“Diharapkan cahaya senja sudah redup pada posisi hilal tersebut,” kata Thomas.

Selain itu, elongasi bulan (jarak pisah matahari) pada saat Maghrib juga relatif besar, yakni lebih dari 8 derajat. Artinya juga telah melebihi batas kriteria MABIMS minimal 6.4 derajat. Hilal diharapkan sudah cukup tebal untuk dapat teramati.

Walaupun, kata Thomas, tetap akan sulit karena masih sangat tipis. Jika hilal Syawal dapat teridentifikasi, dia berharap dapat menjadi bahan Kementerian Agama mengisbatkan Idulfitri jatuh pada Rabu, 10 April 2024.

“Idulfitri 1445 insyaallah seragam pada 10 April karena posisi bulan pada 9 April sudah cukup tinggi,” sebut Thomas.

Sebelumnya, PP Muhammadiyah sudah menetapkan 1 Syawal atau Idulfitri tahun ini jatuh pada Rabu, 10 April 2024. Keputusan ini ditetapkan lewat Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah 1445 Hijriah pada 12 Januari 2024.

PP Muhammadiyah menyatakan bahwa pada Selasa, 9 April 2024, di Yogyakarta hilal sudah kelihatan dan di wilayah Indonesia pada saat Matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk.

Pemantauan hilal di Jakarta

Petugas Kantor Wilayah Kemenag DKI Jakarta mengamati posisi hilal menggunakan teleskop di Jakarta, Minggu (10/3/2024). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/tom.

Disyukuri dan Diragukan

Kabar soal kemungkinan jadwal Lebaran berbarengan antara Muhammadiyah dengan pemerintah serta sebagian besar ormas Islam lain, ditanggapi beragam oleh sejumlah masyarakat. Mereka yang berbagi pandangan dengan Tirto, rata-rata mengaku sudah mengetahui terkait hal ini.

Nurma misalnya, memang sejak awal Ramadhan penasaran apakah ada kemungkinan Idulfitri tahun ini akan kembali berbeda jadwal. Perempuan yang bekerja sebagai staf di salah satu perguruan tinggi ini merupakan seorang warga Muhammadiyah. Dia bersyukur jika tahun ini, Lebaran bisa dilaksanakan berbarengan.

“Karena kalau di sekitar rumah, saya harus cari Masjid Muhammadiyah yang agak jauh untuk salat Id kalau beda lagi jadwalnya. Sudah bertahun-tahun enggak pernah salat Id bareng tetangga,” kata dia kepada reporter Tirto.

Dimas, warga asal Kota Depok, justru meragukan jadwal Lebaran tahun ini bisa seragam untuk semua umat Islam di Indonesia. Menurut dia, bukan hanya Muhammadiyah yang berpotensi berbeda jadwal setiap tahunnya. Masih ada banyak ormas Islam lain, kata dia, yang memiliki jadwal Idulfitri sendiri-sendiri.

“Jadi harapan untuk barengan itu mungkin enggak juga untuk semua,” ujar Dimas.

Sementara itu, Andri, seorang mahasiswa, berharap dengan adanya prediksi Lebaran bersamaan antara Muhammadiyah dan pemerintah, maka akan meredam kisruh karena perbedaan.

Dia mengaku sudah bosan menyimak saling klaim antarkelompok yang merasa paling benar dalam beragama. Apalagi, di media sosial menurutnya, perdebatan terkait topik ini sangat tidak kondusif dan sering berujung ribut.

“Awal Ramadhan tahun ini aja ramai kan di medsos debat kapan mulainya, jadi seharusnya jangan lagi ada orang merasa benar, kan ada caranya masing-masing,” ungkap Andri.

Perdebatan soal penentuan jadwal Ramadhan dan Lebaran, memang menjadi makanan tahunan. Masalahnya, perdebatan ini kadang dipahami sebagian orang untuk menonjolkan klaim kebenaran individu dan kelompok. Banyak yang lupa, bahwa perdebatan ini seharusnya masuk dalam koridor diskursus keilmuan.

Pernah pula, perdebatan ini berlangsung panas hingga berujung kisruh. Misalnya, pada 2023, peneliti BRIN dilaporkan ke polisi karena melakukan perdebatan di media sosial. Dalih ancaman menjadi senjata pelaporan, akibat perdebatan yang berubah menjadi arena emosi sesaat dan ajang mengempit klaim kebenaran.

Maka sudah seharusnya umat Islam di Indonesia beranjak dari diskursus yang itu-itu saja menuju hal-hal yang lebih esensial. Khazanah keilmuan yang begitu melimpah seharusnya menjadi motor untuk mendorong rekonsiliasi demi mempererat persatuan. Perbedaan, perlu terus dipandang sebagai rahmat dari Tuhan dan jalan menuju diskursus yang membangun peradaban.

Harapan ini pula sebagaimana yang tercermin dalam benak Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Moderasi Beragama, Kemenko PMK, Warsito. Dia memandang perbedaan dan persamaan perhitungan jadwal Lebaran adalah hal yang wajar dan dibenarkan dalam Islam.

Jika dengan perbedaan di tahun-tahun sebelumnya saja masyarakat bisa merayakan Idul Fitri dengan khusuk, sudah seharusnya persamaan waktu lebaran yang bakal terjadi tahun ini dapat meningkatkan kualitas ibadah dan semarak menyambut Idul Fitri.

“Justru kita harus menyikapi perbedaan ini dengan bijak, legawa, tanpa mengurangi kualitas ibadah kita di bulan Ramadhan ini. Perbedaan pendapat adalah rahmat, sebagaimana sabda Rasulullaah SAW ‘Ikhtilafu Ummati Rahma’,” ujar Warsito kepada reporter Tirto.

Di sisi lain, dia tidak mempersalahkan masyarakat yang berbeda pendapat dengan jadwal yang ditetapkan pemerintah. Undang-Undang, kata dia, telah menjamin hak warga negara untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.

“Jika kita bisa mengembangkan toleransi dan kerukunan umat beragama, maka kita juga harus bisa mengembangkan toleransi dan kerukunan dalam internal agama. Inilah hal yang lebih penting untuk kita perhatikan, alih-alih membahas perbedaan,” ucap Warsito.

Pengamatan hilal di Aceh

Petugas observatorium Tgk Chiek Kuta Karang Kementerian Agama wilayah Aceh bersama BMKG dan lembaga keagamaan melakukan pengamatan bulan baru (hilal) dengan menggunakan teleskop di Aceh Besar, Aceh, Minggu (10/3/2024). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/tom.

Menyambut Persatuan

Kepala Subdirektorat Hisab Rukyat dan Pembinaan Syariah, Kementerian Agama, Ismail Fahmi, membenarkan bahwa ada kemungkinan Lebaran 2024 antara pemerintah serta sebagian besar ormas Islam lain, akan berbarengan dengan Muhammadiyah. Ismail menyambut baik hal ini, dan menegaskan bahwa pemerintah tidak dalam peran untuk memaksakan kehendak.

Peran pemerintah, kata dia, mewadahi dan memberikan layanan untuk seluruh ormas Islam dapat bermusyawarah dalam menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. Melalui sidang isbat, sebetulnya bukan menegaskan beda antara pemerintah dengan ormas Islam, akan tetapi cara mencari hasil keputusan yang legitimate dan dilakukan bersama.

“Kaidah ushul fiqh yang sebetulnya semua ormas tahu. Yakni keputusan Hakim (Pemerintah) itu adalah penetapan dan menghilangkan perbedaan,” kata Ismail kepada reporter Tirto.

Maka di situ pula pentingnya sidang Isbat yang saban tahun dilakukan pemerintah. Justru diharapkan hadir untuk mencegah kebingungan dan saling klaim ormas Islam yang punya ketetapan metode dan kriteria masing-masing.

Meski demikian, Ismail berharap ormas-ormas Islam saling menghargai dan menghormati kriteria yang digunakan masing-masing. "Jangan sampai ada pernyataan bahwa kriteria dan ketetapan salah satu ormas justru diklaim menjadi tunggal atau yang satu-satunya eksis," tutur dia.

“[Sebab] Menodai nilai-nilai moderasi, lupa kalo ada ormas lain yang berbeda pandangan,” sambungnya.

Di sisi lain, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Hamim Ilyas, Muhammadiyah mendorong penggunaan kalender hijriah global tunggal (KHGT) ke depan, untuk menyamakan awal bulan. Dengan KHGT, kata dia, umat Islam di seluruh dunia bisa memulai puasa Ramadhan, puasa Arafah dan merayakan Idul Fitri dan Idul Adha di hari yang sama.

“Dengan penggunaan KHGT, berarti juga umat terentas dari keterbelakangan peradaban kalender. Kita berharap semoga KHGT dapat diterima dan tidak lagi ada kontroversi tentang perbedaan mulai puasa dan merayakan hari raya,” ucap dia kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait LEBARAN 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri