tirto.id - Kebingungan melanda Umar bin Khattab. Anas bin Malik mengaku baru saja melihat bulan baru yang menjadi tanda bahwa malam tersebut merupakan hari pertama di bulan yang baru. Jika kesaksian Anas benar, esok hari berarti umat Islam harus mulai berpuasa dan malam itu juga dilakukan salat tarawih pertama.
Bisa dipahami jika Umar sedikit ragu. Sebab, selain Anas sudah sangat sepuh, beberapa sahabat yang berada di tempat yang sama tak menyaksikan apa yang dilihat Anas. Langit tidak menunjukkan tanda-tanda ada bulan baru yang muncul, bahkan Umar sendiri tidak melihatnya.
Umar lalu mendekat dan menyibakkan uban dari alis Anas. Setelah pandangan Anas kira-kira tidak tertutupi oleh alis lebatnya sendiri, Umar lalu meminta Anas untuk melihat kembali. Memastikan dengan seksama ke arah yang tadi. Beberapa sahabat juga penasaran, karena memang mereka tidak melihat bulan baru yang dimaksud. Dalam pandangan yang kedua, Anas kemudian baru mengakui, tadi ia salah lihat. Bulan baru tidak kelihatan.
Umar tentu tidak akan main-main dengan begitu saja mengiyakan kesaksian Anas. Sebab saat itu, bersama sahabat yang lain, ia sedang melakukan pra-syarat ibadah paling penting dalam 12 bulan kalender Hijriah. Ibadah yang kita kenal sebagai Puasa Ramadan.
Kisah di atas dijelaskan dalam tiga kitab, Aujaz al-Masalik Juz 5 (hlm. 21), Bain al-Sunnah wal Ijtihad (hlm. 50), dan Tantawi’s Irshad (hlm. 154).
Memahami Metode Rukyat
Pada masa Nabi Muhammad dan beberapa tahun setelahnya, menentukan bulan baru sangat sederhana. Karena dalam kalender Hijriah perhitungan hari dimulai saat matahari tenggelam (waktu magrib), maka cukup menanti matahari terbenam di hari ke-29. Setelah itu, tinggal mencari kemunculan bulan sabit.
Jika ada—minimal—dua orang yang melihatnya, sudah bisa dipastikan bahwa malam itu sudah masuk tanggal 1. Sebaliknya, jika saat itu hilal tidak terlihat, maka jumlah hari dalam bulan tersebut akan digenapkan menjadi 30 hari.
Penanggalan Hijriah berdasarkan atas peredaran bulan mengelilingi bumi (revolusi bulan terhadap bumi). Setiap bulan diawali dengan kemunculan hilal yaitu bulan sabit muda pertama (the first visible crescent) di kaki langit saat ghurub (terbenamnya matahari) dan juga diakhiri dengan dengan kemunculan hilal.
Disebabkan karena bulan membutuhkan waktu mengitari bumi selama 29,531 hari atau hampir 29,5 hari, maka itulah kenapa pilihan yang tersisa hanya tinggal dua untuk durasi hari dalam satu bulan. Kalau tidak 29 hari berarti 30 hari. Tinggal kecenderungan mana yang lebih berat pada jelang matahari terbenam di hari ke-29.
Hal ini terjadi karena dari hari ke hari penampakan bulan akan berubah jika dilihat dari bumi. Letak perubahan yang mengakibatkan “wajah bulan” juga akan mengalami perubahan. Semakin menjauh dari matahari, maka cahaya bulan akan semakin luas. Perubahan inilah yang kemudian jadi tanda, bahwa bulan sabit adalah awal/akhir bulan (antara tanggal 29, 30, atau 1) dan purnama adalah tepat di hari tengah-tengah bulan (sekitar tanggal 15).
Dari pembacaan fase wajah bulan itu kemudian lahirlah metode yang kemudian kita kenal sebagai metode “rukyatulhilal”. Berasal dari kata rukyat yang secara etimologis berarti “melihat”. Sedangkan hilal merupakan bulan yang berbentuk sabit/celurit yang tipis. Rukyatulhilal berarti upaya untuk melihat secara langsung
bulan sabit di kaki langit di waktu ghurub dengan mata, baik menggunakan alat bantu optik maupun dengan mata telanjang (Muhammad Hadi Bashori, Pengantar Ilmu Falak, hal. 193)
Persoalannya, melihat hilal sangat sulit. Hal ini disebabkan karena hanya sekitar 1,25% bagian dari permukaan bulan saja yang terkena paparan sinar matahari. Hal ini membuat penampakan bulan dari bumi hanya seperti garis lengkung tipis saja.
Terlebih, kondisi saat hilal akan terlihat adalah ketika langit masih dalam keadaan terang di waktu magrib. Kadang-kadang cahaya bulan akan kalah dengan berkas cahaya matahari, sehingga membuat hilal terlihat samar. Atau, jika tidak, malah langit dalam keadaan mendung.
Di sisi lain, hilal juga muncul sebentar saja. Sekitar 15 menit sampai 1 jam sebelum akhirnya ikut tenggelam juga bersama matahari karena gerak rotasi bumi lebih cepat daripada gerak revolusi bulan.
Jika dilihat dari bumi di ufuk barat, posisi matahari, hilal, dan cakrawala akan membentuk sudut segitiga. Horison (garis pertemuan langit dan bumi) sebagai garis di bawah, hilal sebagai titik di sudut atas, dan matahari sebagai titik sudut bawah. Jarak antara bulan dan horison disebut sebagai sudut azimut. Sedangkan garis antara bulan ke matahari ini disebut sudut elongasi.
Untuk terlihat, hilal paling tidak harus berada di sudut azimut lebih 2 derajat dari matahari. Kasarnya, bulan harus ada di atas matahari. Jika kurang dari itu maka (dari bumi) bulan akan terlihat sejajar dengan matahari, dan itu akan membuat hilal keburu ikut tenggelam saat langit mulai sedikit gelap.
Posisi ini dinamakan ijtimak. Posisi yang jika dilihat dari luar angkasa, bumi, bulan, dan matahari berada dalam satu garis lurus. Karena berada dalam garis lurus, bulan tidak akan bisa terlihat dari bumi karena terlalu dekat dengan matahari. Untuk mencapai sudut azimut 2 derajat, paling tidak diperlukan waktu 8 jam bulan beredar selepas ijtimak terjadi.
Selain sudut azimut, sudut elongasi juga punya batas minimal agar bisa dilihat. Sudut yang menggambarkan jarak antara matahari dan bulan dari bumi. Kasarnya, jika sudut azimut adalah posisi bulan di atas matahari, maka sudut elongasi adalah posisi bulan di arah kiri/kanan matahari. Artinya, semakin lebar sudutnya, maka hilal akan semakin mudah dilihat. Sebaliknya, semakin kecil sudutnya, maka akan semakin sulit juga hilal bisa dilihat.
Jarak ideal mata telanjang bisa melihat hilal adalah 7 derajat. Kurang dari itu maka diperlukan alat bantu teleskop. Batas penggunaan alat ini pun ada batasnya pada sudut 3 derajat. Kurang dari itu hilal tidak akan terlihat karena terlalu dekat dengan matahari.
Karena rukyatulhilal memiliki banyak keterbatasan maka berkembanglah metode hisab. Metode yang bermakna menghitung (‘adda), kalkukasi (akhsha), dan mengukur (qaddara). Hisab berarti menghitung pergerakan posisi hilal di akhir bulan untuk menentukan awal bulan—khusus—seperti Ramadan.
Perhitungan hisab yang dilakukan para ahli falak (astronomi) dipandang cukup dan punya akurasi yang presisi. Karena alasan ini, tidak sedikit ulama kontemporer yang menggunakan metode ini. Meskipun di sisi lain ada juga beberapa ulama yang menganggap bahwa penggunaan hisab secara murni (dalam kasus penentuan bulan Ramadan) juga dinilai sebagai bidah. Kecuali juga dibarengi dengan metode rukyah.
Secara sederhana perbedaan ini terletak pada konsep wujudulhilal (keberadaan hilal) bagi golongan yang menggunakan metode hisab murni. Artinya, tafsir soal “melihat hilal” dipahami sebagai melihat tidak harus dengan mata kepala tetapi juga bisa menggunakan ilmu. Dengan hisab, posisi hilal akan bisa diprediksi ada "di sana” sekalipun wujudnya tidak terlihat. Barangnya ada, tapi tidak terlihat.
Sedangkan konsep rukyatulhilal (melihat hilal) mendorong keterlihatan hilal dengan mata kepala langsung. Itulah yang kemudian perhitungan sudut azimut dan elongasi punya peran penting dalam penentuan awal/akhir puasa Ramadan. Artinya, sekalipun wujud hilal ada, jika ia tidak bisa dilihat oleh manusia, maka itu tidak akan berarti sama sekali. Meskipun harus diakui juga, metode kuno ini punya serangkaian kelemahan.
Dua metode ini adalah gambaran, bahwa dengan metode hisab, para ulama mencoba menggunakan pendekatan rasional. Melihat pola, membacanya, lalu menyusun prediksi-prediksinya. Semua dilakukan dalam rumus-rumus. Sedangkan metode rukyat merupakan pendekatan empirik. Bagaimana pengalaman menyaksikan tanda-tanda alam adalah penentu sebuah hukum syariat berlaku.
Pada akhirnya, seperti yang sudah dijalankan selama bertahun-tahun, pemerintah Indonesia menggabungkan dua metode ini secara bersamaan. Pendekatan rasional dengan hisab dan pendekatan empirik dengan rukyat.
Metode hisab digunakan untuk menghitung kemungkinan wujud hilal dan posisinya, lalu dengan metode rukyat dikonfirmasi keberadaan hilal. Jika dalam konfirmasi ini hilal tidak terlihat, maka sesuai hadis yang digunakan dasar para perukyat, “jika tertutup (tidak terlihat), maka genapkanlah”—bahkan sekalipun hilal memang benar-benar ada di sana.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS