tirto.id - Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mencatat penurunan ekspor alas kaki sebanyak 12,17 persen di semster I 2019.
Penurunan ekspor ini setara dengan nilai 623 juta dolar AS dan cukup signifikan memengaruhi industri alas kaki Indonesia.
“Ekspor kita turun 12,17 persen. Nilainya 623 juta dolar AS, itu turunnya besar juga,” ucap Direktur Eksekutif Aprisindo, Firman Bakri A. kepada wartawan saat ditemui usai diskusi di Milenium Sirih pada Rabu (31/7/2019).
Penurunan ini kata Firman disebabkan adanya perlambatan di pasar Eropa sebagai salah satu negara sasaran ekspor alas kaki Indonesia.
Salah satunya dipengaruhi oleh lambatnya ratifikasi European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA). Padahal di saat yang sama, Indonesia juga bersaing dengan Vietnam.
“Kami kehilangan ekspor di Eropa. Itu turun 20 persenan. Kami baca kemarin ada pelemahan di Eropa lalu kami kalah saing sama Vietnam,” tambah Firman.
Faktor lainnya menurut Firman juga terlihat dari permasalahan domestik. Misalnya persoalan upah minimum dan tingginya upah sektoral yang harus ditanggung perusahaan. Kedua hal itu membuat industri sepatu menjadi relatif kurang kompetitif.
Firman mencontohkan provinsi Banten yang mengalami kendala dua faktor itu. Dari banyak wilayah Indonesia, Banten diyakini menyumbang hampir 100 persen dari penurunan ekspor 12,7 persen.
Menurutnya, hal serupa juga terlihat jelas dari hilangnya pasar empat industri sepatu Indonesia asal Banten. Semula perusahaan bermerek Underarmour mengambil barangnya dari empat produsen itu. Namun, kini perusahaan itu memilih untuk mengambil barang dari Vietnam karena persoalan biaya tenaga kerja.
“Kalau tadi kami bicara (ekspor turun) 12,7 persen itu hampir 100 persen dari Banten,” ucap Firman.
Soal kuantitas, Firman mengatakan jumlahnya saat ini relatif stabil. Hanya saja secara nilai memang mengalami penurunan signifikan. Sebab saat ada masalah daya saing, mau tak mau perusahaan berusaha menekan biayanya.
Seperti ada perpindahan perusahaan dari Banten ke Jawa Barat dan Jawa Tengah yang ongkos tenaga kerjanya lebih murah.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nur Hidayah Perwitasari