tirto.id - Di akhir Oktober lalu, AmazonFresh, layanan pesan-antar bahan makanan ala Amazon, menghapus ongkos kirim alias ongkir senilai $15 per bulan bagi pelanggannya. Stephenie Landry, Vice President Amazon, menyebut langkah ini dilakukan karena “Amazon tidak pernah takut berinvestasi untuk hal yang disukai pelanggannya.”
Pandangan berbeda diutarakan Jason Del Rey dari Vox. Menurutnya, apa yang dilakukan Amazon itu tak ubahnya aksi korporasi membakar uang “untuk menggaet pelanggan dan hitung-hitungan bisnisnya dapat dibalas tatkala pelanggan telah kecanduan dengan AmazonFresh.”
AmazonFresh adalah layanan pesan-antar bahan makanan, seperti daging, sayuran, buah-buahan, bumbu masak, hingga minuman. Layanan on-demand ini dipelopori oleh Instacart, yang didirikan Apoorva Mehta, mantan teknisi Amazon, pada 2012 silam. Idenya muncul dari masalah pribadinya.
Menurut Mehta, sebagaimana diutarakannya pada The New York Times, ia seringkali mendapati kulkas yang ada di rumahnya tidak terisi bahan makanan apapun. Dan sebagai kelas pekerja yang banyak menghabiskan waktu di kantor, Mehta, “tidak memiliki motivasi dan energi untuk pergi ke supermarket” untuk berbelanja bahan makanan.
Pesan-Antar Bahan Makanan
Sebagai pelopor, Instacart merupakan jawara. Di Amerika Serikat, Instacart menggenggam 59 persen pangsa pasar layanan pesan-antar bahan makanan. AmazonFresh sendiri hanya memperoleh sekitar 20 persen pangsa pasar.
Menurut data yang dipublikasikan Statista, layanan pesan-antar bahan makanan merupakan bisnis dengan total nilai penjualan sebesar $29,7 miliar di AS pada 2021 kelak. Angka itu meningkat dari hanya $6 miliar pada 2012 silam.
Pesatnya bisnis ini terjadi karena, menurut data Statistayang lain, hampir 30 persen penduduk dewasa AS mengaku menggunakan jasa pesan-antar bahan makanan. Di kota-kota besar, semisal California atau New York, penggunaan layanan ini lebih besar lagi.
Atas manisnya bisnis ini, selain Instacart dan AmazonFresh, hadir pemain-pemain lain seperti FreshDirect, Peapod, hingga perusahaan-perusahaan besar yang membeli atau bekerjasama dengan startup di bidang ini. Uber, misalnya, kala mengakuisisi Cornershop, layanan pesan-antar bahan makanan yang beroperasi di Cile, Meksiko, dan Kanada.
Dalam tataran regional, Grab, perusahaan ride-sharing yang bermarkas pusat di Singapura, melalui Grab Venture, berinvestasi pada HappyFresh, pemain layanan pesan-antar bahan makanan lokal, sejak bulan September 2018. Maka selain dapat memesan ojek atau taksi plat hitam, pengguna dapat memesan bahan makanan via HappyFresh melalui aplikasi Grab.
Selain diwakili HappyFresh, gairah layanan pesan-antar bahan makanan di Indonesia juga dilakukan oleh TaniHub, Sayurbox, hingga Wahyoo, dengan menawarkan pengalaman berbeda ketika memesan bahan makanan.
Jika HappyFresh menghubungkan orang-orang yang butuh bahan makanan dengan supermarket, yang menurut klaim mereka telah bermitra dengan lebih dari 150 supermarket dan toko khusus seperti Ranch Market, Farmers Market, Super Indo, Carrefour, GrandLucky, dan Lotte Mart, TaniHub dan Sayurbox memilih pendekatan berbeda.
TaniHub, yang sukses memperoleh pendanaan seri A sebesar $10 juta dari Openspace Ventures, Intudo Ventures, Golden Gate Ventures, dan The DFS Lab, memilih mengakses langsung bahan makanan yang hendak dijual melalui aplikasinya ke petani.
Katadatamelaporkan, semenjak didirikan pada 2015 silam, TaniHub telah bermitra dengan lebih dari 35.000 petani lokal di seluruh Indonesia, lalu menghubungkan mereka ke 10.000 individu pengguna aplikasi.
Selain mengambangkan model bisnis konsumen, alias business-to-consumer, TaniHub juga mengembangkan business-to-business. Klaim mereka, TaniHub telah menjadi telah bekerjasama dengan 400 UKM yang membeli bahan makanan dari mitra petani mereka. Model bisnis ini hampir sama dilakukan Sayurbox. Menghubungkan petani dan UKM dengan pembeli individu.
Sementara itu, Wahyoo lebih memilih merangkul pemilik rumah makan, seperti warteg, dan memasok bahan makanan pada mereka.
Promoconomy
Layanan pesan-antar bahan makanan merupakan seri perluasan dari bisnis pesan-antar makanan via aplikasi yang diinisiasi GrabFood, Gofood, hingga UberEats. Firma riset pasar McKinsey & Company menyebut, layanan seperti Gofood ini disebut sebagai layanan new delivery. Ini merupakan tipe layanan pengantaran makanan yang dibantu pihak ketiga, dalam hal ini penyedia aplikasi.
McKinsey & Company menjelaskan, pasar pesan-antar makanan berada di angka 83 miliar Euro di seluruh dunia. Meskipun terlihat besar, angka tersebut hanya 1 persen dari keseluruhan pasar makanan di dunia. Berkat kehadiran new delivery, pasar makanan pesan-antar diperkirakan bakal meningkat.
Masih menurut McKinsey & Company, beberapa alasan new delivery akan mampu meningkatkan pasar pengantaran makanan dikarenakan platform seperti GoJek telah menjadi bagian internal kehidupan masyarakat.
Platform juga memberikan personifikasi berbasis algoritma, yang akan membuat penggunanya dijejali makanan-makanan yang sesuai selera mereka. Selain itu, new delivery bisa menghemat waktu para penggunanya.
Sayangnya, layanan baru ini punya celah serius: ongkir alias ongkos kirim.
Tak bisa dipungkiri, ongkir merupakan salah satu elemen pemberat harga tatkala seseorang memutuskan belanja via aplikasi. Salah satu firma riset pasar lain, Ipsos, menyatakan dalam laprannya: 56 persen narasumber yang diriset mereka menyatakan gratis ongkir adalah pendorong mereka untuk berbelanja secara online.
The New York Times, dalam salah satu publikasinya menyatakan kini masyarakat pengguna layanan aplikasi on-demand terjebak dalam gratis ongkir dan kupon-kupon yang dapat menghemat biaya belanja alias promoconomy.
Joseph Turow, profesor di Annenberg School for Communication, University of Pennsylvania, menyebut, kupon dan iming-iming gratis ongkir adalah perilaku perusahaan untuk “mengkondisikan kita sebagai pelanggan.”
Sementara itu, Laura Moy, dari Pusat Privasi dan Teknologi pada Georgetown Law School, menyatakan, tatkala perusahaan memberikan kupon, maka telah terjadi pertukaran. Anda memperoleh kupon gratis ongkir, perusahaan memperoleh data perilaku belanja.
Dalam dunia yang telah terkomputerisasi seperti sekarang, data konsumen akan memudahkan perusahaan mana pun untuk merancang sebuah layanan yang kelak membuat penggunanya ketergantungan.
Editor: Eddward S Kennedy