Menuju konten utama

Nestapa Penyewa Gerai Mal di Jakarta yang Ambruk Lagi karena PSBB

Mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk protokol kesehatan menjadi sia-sia saat Pemprov DKI Jakarta mengetatkan kembali PSBB.

Nestapa Penyewa Gerai Mal di Jakarta yang Ambruk Lagi karena PSBB
Suasana pujasera di mall Senayan City, Jakarta, Senin (14/9/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/hp.

tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memperketat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai 14 September 2020 lalu, dan kembali diperpanjang selama 14 hari ke depan.

Perpanjangan tersebut lantaran di DKI Jakarta masih berpotensi terjadinya kenaikan angka kasus positif COVID-19 jika pelonggaran diberlakukan. Anies mengklaim kebijakan ini mendapatkan restu dari pemerintah pusat.

“Dalam rapat koordinasi terkait antisipasi perkembangan kasus COVID-19 di Jabodetabek, Menko Kemaritiman dan Investasi [Luhut Binsar Pandjaitan] menunjukkan data bahwa DKI Jakarta telah melandai dan terkendali. Tetapi kawasan Bodetabek masih meningkat, sehingga perlu penyelarasan langkah-langkah kebijakan. Menko Marives juga menyetujui perpanjangan otomatis PSBB DKI Jakarta selama dua minggu,” kata Anies dalam keterangan tertulisnya, Kamis, (24/9/2020).

Benar saja, angka penularan kasus COVID-19 mencapai 4.823 orang per Jumat (25/9/2020). Angka ini melampaui rekor sebelumnya yakni 4.634 kasus pada 24 September lalu. Selama kurva angka penularan belum juga melandai, PSBB tampaknya akan terus dilanjutkan.

Permasalahannya, pengetatan PSBB kali ini membuat sektor bisnis ikut kacau. Setelah empat bulan mulai bangkit, sektor food and beverage (F&B) terutama restoran yang benar-benar mengandalkan makan di tempat (dine-in) kembali terpuruk.

Pemilik restoran Holycow! Steakhouse by Chef Afit, Afit Dwi Putranto mengaku terpaksa menutup salah satu kedainya di sebuah mal di Jakarta. Alasannya ia sudah tidak bisa lagi membayar sewa toko di mal tersebut.

“Baru pekan lalu tutup, karena enggak ada pendapatan sama sekali, saya alihkan karyawan di sana [di mall] ke kedai lain,” kata Afit kepada reporter Tirto, Jumat (25/9/2020).

Biaya sewa sebuah toko mal di Jakarta menurut Afit minimal Rp80 juta/bulan dengan ukuran berkisar 150 meter persegi. Sementara para penyewa restoran kebanyakan sewa tempat dengan luas lebih daripada ukuran minimal tersebut.

Mahalnya biaya sewa toko di mal, apalagi kondisi pandemi COVID-19 ditambah adanya lagi PSBB yang ketat menjadi pukulan kedua bagi Afit. Belum lagi Afit harus membayar gaji bagi para pegawainya, sehingga Afit merasa PSBB ini sebagai "pukulan kedua".

“Saya tidak punya bensin [uang] lagi, dengan berat-berat hati 30 persen akan ada merumahkan karyawan di grup kami. Mungkin dirumahkan, kalau situasi sudah normal, akan kami panggil lagi. Kami benar-benar zero income,” keluhnya.

Pengusaha restoran seperti Afit tentu bukan satu-satunya yang mengalami nasib nahas tersebut. Masih banyak lagi pelaku usaha sektor lain yang mengandalkan pemasukan dari ramainya pengunjung mal, kini harus menarik nafas dalam dan mengambil keputusan pahit menutup gerainya di pusat perbelanjaan.

Mahalnya Protokol Kesehatan

Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengungkap, usai pukulan keras pada Maret-April lalu, bisnis UMKM mulai bangkit pada bulan Agustus 2020. Saat sektor usaha perlahan bangkit, mendadak Pemprov DKI Jakarta kembali mengetatkan PSBB.

“Kami mulai menata di bulan 8 puncak tertingginya di angka 60-70 persen, tentu ada PSBB perpanjangan ini memukul," ucap Budiharjo kepada reporter Tirto.

Menurut Budiharjo, ia bersama penyewa ritel di mal merasa sudah menaati berbagai peraturan serta protokol kesehatan COVID-19. Upaya untuk menjaga jarak pun telah dilakukannya. Sampai akhirnya mereka merasa tak adil bila mal dan gerai-gerai di dalamnya menjadi kambing hitam penyebaran COVID-19.

"Kami sudah mengeluarkan dana tambahan untuk investasi memastikan aman dalam kesehatan. Cuma tolong pengawasan jangan di kami saja, di luar itu, di jalan, banyak orang ngumpul kaki lima itu, pemerintah harus berikan mereka perhatian, masker, SOP, dan pengawasan jadi klaster tidak tumbuh,” jelasnya.

Kata Budiharjo, menjalankan aturan dan protokol kesehatan juga ada biaya mahal yang harus dikeluarkan demi menciptakan kepercayaan di masyarakat bahwa gerai mereka telah sehat dan aman dari virus corona COVID-19.

Dari mulai penyediaan perlengkapan pelindung diri dan pelatihan bagi karyawan, hingga pengadaan barang dan jasa seperti pemutakhiran tombol lift tanpa sentuh hingga penyediaan peralatan seperti thermo-gun yang bila ditotal biayanya tidaklah sedikit.

“Itu enggak murah loh training [fasilitas protokol kesehatan], beli ini itu. Sudah lagi susah, harus keluar biaya, eh terus ditutup. Biaya yang kami keluarkan jadi enggak kepakai. Rugi dua kali," keluhnya.

Saking kesalnya, Budiharjo berpikir mereka seharusnya tak perlu patuh pada protokol kesehatan, bila kemudian hari gerai mereka harus ditutup kembali akibat pengetatan kembali PSBB.

"Mal kan ramai sama restoran, sekarang enggak boleh dine-in. Toko sudah buka, tapi enggak boleh duduk. Minum enggak boleh duduk. Percuma enggak ada traffic. Kami sudah siapkan protokolnya dine-in. Sudah menjaga harusnya diapresiasi,” tegasnya.

Insentif untuk Pelaku Usaha

Pemerintah sebenarnya tak tinggal diam. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan, pihaknya tengah mengkaji insentif yang tepat untuk diberikan kepada para pelaku usaha. Khususnya usaha yang memperkerjakan banyak orang.

“Kemarin kan yang di bawah 5 juta pendapatannya sudah di-cover di BPJS Tenaga Kerja. Paling enggak sudah ada buffer untuk pekerja, sekarang yang perlu kita lihat pengusahanya seperti apa?” terang Febrio dalam diskusi virtual 'Kupas Tuntas Ekonomi & APBN', Jumat (25/9/2020).

Ia pun menyadari besarnya dampak minimnya kunjungan di pusat perbelanjaan. Namun, ia belum bisa membeberkan upaya apa yang akan diambil pemerintah karena hingga saat ini masih dilakukan kajian mendalam berkenaan dengan kondisi terkini industri sektor perdagangan dan jasa di tengah pengetatan PSBB yang kembali dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

"Sedang kami lihat. Karena tadi saya sudah jelaskan, sektor paling terkena dampak perdagangan. Dan itu memang anda juga jarang ke mal, saya juga jarang ke mal. Kalau ke mal benar-benar mikir, semprot sana-sini, pakai masker, sekarang PSBB," tuturnya.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal menilai sudah seharusnya ada insentif yang langsung diberikan pada karyawan di sektor ini. Insentif mirip seperti subsidi gaji namun lebih menyasar pada karyawan di sektor F&B.

"Insentif yang tepat mungkin mirip seperti subsidi gaji. Hal ini perlu dilakukan untuk meringankan beban pengusaha agar tetap bisa operasi tanpa harus mem-PHK karyawan," kata Faisal kepada Tirto.

Sebenarnya, insentif seperti ini perlu dikaji lebih dalam sebelum pemerintah, khususnya Pemprov DKI Jakarta mengumumkan kembali mengetatkan PSBB. Koordinasi antara Pemprov DKI dengan pemerintah pusat harus lebih ditingkatkan dalam merumuskan program pemulihan ekonomi nasional.

"Harusnya koordinasi ya [Pemprov ke Pusat] sebelum tetapkan PSBB lagi, jadi enggak akan bingung kayak sekarang mau kasih insentif apa ke pekerja di sektor restoran," pungkas Faisal.

Baca juga artikel terkait DAMPAK PSBB JAKARTA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Editor: Bayu Septianto