tirto.id - Pusat perkulakan Goro di Pasar Minggu masih saja dipadati warga sampai menjelang tutup pukul sepuluh malam. Jalanan jadi macet karena ramainya mobil-mobil yang diparkir di pinggir jalan. Pengunjung memborong belanjaan sebanyak-banyaknya. Kabar anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS membuat panik konsumen, karena harga kebutuhan pokok terutama dari impor akan menjadi makin mahal.
Selain di daerah perkulakan, swalayan pun diserbu warga yang belanja. Swalayan Galael salah satunya. Warga bukan cuma membeli beras dan kebutuhan pokok, tapi juga roti kalengan serta mie instan. Begitu pula dipusat perkulakan Makro. Akibat pengunjung membeludak, swalayan pun sampai membatasi jumlah pembelian dari konsumen. Misalnya mie instan pembeli hanya diperbolehkan membeli dua kardus saja.
Seputar kepanikan ini ditulis oleh harian Media Indonesia pada 9 Januari 1998 dengan judul “Masyarakat Mulai Panik”. Saat itu sedang awal bulan puasa. Krisis yang melanda Indonesia tidak hanya membuat warga panik, pemerintah juga turut panik. Kelangkaan dan mahalnya sembako membuat pemerintah harus operasi pasar terus untuk menjaga harga stabil.
Kepala Bulog, Bedu Amang memastikan stok beras aman menjelang lebaran. Pemerintah sudah mengimpor 1.500 ton untuk memenuhi kebutuhan pasar dan menjual dengan harga normal.
"Bulog tidak mengambil untung. Sementara itu Operasi Pasar terus kami lakukan," kata Bedu Amang.
Sayangnya, omongan Bedu Amang tidak seperti yang kenyataan. Di sejumlah daerah, beras mulai menghilang. Di Palembang, Solo, Bandar Lampung, Yogyakarta, dan Bali, kelangkaan beras terjadi.
Media Indonesia pada 10 Januari 1998 menurunkan sebuah laporan “Beras Menghilang di Beberapa Daerah”. Dari laporan itu diketahui di beberapa lokasi memang ditemukan beras, namun harganya sudah melambung tinggi.
Misalnya di Pasar Cinde Palembang sudah tidak ada lagi yang menjual beras, di toko-toko kelontong kecil harga besar sudah melonjak tinggi hingga Rp5.000 sampai Rp6.000 per kg. Harga itu naik sampai hampir lima kali dari harga bisa. Di Solo harga beras pun cepat naik di sejumlah pasar dan toko-toko. Pada pagi hari harga besar masih Rp1.300 per kg, tapi siang hari sudah naik menjadi Rp1.500 per kg.
Makin Parah Menjelang Lebaran
Dua minggu sebelum lebaran, kondisi pasar tak juga kunjung stabil. Sembako masih juga langka dan harga meroket. Kondisi itu memicu aksi demonstrasi mahasiswa di beberapa daerah. Harian Republika pada 14 Januari 1998 melaporkan di Kota Surabaya dan Medan mahasiswa melakukan aksi pada 13 Januari 1998. Aksi itu menuntut agar pemerintah agar segera mengambil kebijakan terkait kenaikan harga kebutuhan pokok yang kian tak terkontrol. Di Medan harga beras sudah mencapai Rp1.900 padahal normalnya harga cuma Rp1.200.
Harian Kompas pada 18 Januari 1998 melaporkan kenaikan tidak hanya terjadi di Medan dan Surabaya, di Kutai, Kalimantan Timur, harga beras juga ikut menggila. Harga per kg mencapai Rp7.000 padahal harga normalnya hanya Rp1.500 saja per kg. Bahkan untuk beras berbau apek yang terendam air bisa laku dijual Rp3.500 per kg.
Pada hari yang sama, Kompas juga menurunkan laporan penjarahan toko sembako di Kota Banyuwangi. Penjarahan pun merembet ke Kota Jember. Di sana ada lima toko yang dijarah warga karena mereka sudah tidak lagi mampu membeli kebutuhan pokok. Penjarahan bahkan terjadi di sebuah departemen store di pusat Kota Jember.
Kondisi itu membuat Wakil Presiden Tri Sutrisno langsung turun tangan melakukan operasi pasar. Seperti diberitakan Republika pada 22 Januari 1998, Tri Sutrisno memerintahkan Bulog agar kerja efisien, efektif dan produktif.
Sayangnya lagi-lagi, Bedu Amang, Kepala Bulog mengatakan stok beras sampai Lebaran masih aman. Ia mengklaim Bulog sudah melakukan operasi pasar dengan menjual 20 ribu ton beras per hari dengan harga murah hanya Rp1.000 per kg.
Namun, lagi-lagi ada saja pedagang yang mencoba ambil untung dari kesulitan itu. Di Surabaya misalnya, beras dari Dolog Jatim justru tidak dinikmati oleh warga. Sebagian besar beras justru dibeli oleh pedagang besar untuk dijual lagi. Temuan Republika ada pemborong yang membeli lebih dari 100 kg beras. Bukannya dicegah, petugas Dolog justru membiarkan saja praktik tersebut terjadi.
Lebaran Penuh Keprihatinan
Lesunya ekonomi membuat banyak perusahaan bangkrut. Ada jutaan pengangguran yang bertambah akibat PHK. Dalam kondisi perusahaan yang tengah lesu itu, pemerintah tetap menegaskan agar perusahaan tidak alpha membayar Tunjangan Hari Raya (THR).
Harian Kompas pada 22 Januari 1998 menuliskan pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan ultimatum kepada perusahaan di DKI Jakarta untuk membayarkan THR. Jika itu tidak dilakukan maka perusahaan tersebut akan diseret ke pengadilan pidana.
“Bila mereka terbukti tidak membayar THR terhadap karyawannya, pihak berwenang akan menyidik dan mengajukan perusahaan tersebut ke pengadilan dengan tuduhan perbuatan pidana,” tulisa Kompas.
Kondisi yang makin memprihatinkan ini membuat para ulama turun tangan untuk menenangkan warga. Menjelang lebaran, Pejabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof KH Ali Yafie mengajak umat agar merayakan Idul Fitri dengan sederhana dan semangat keprihatinan. Bahkan pada salat Idul Fitri, isu krisis moneter yang melanda Indonesia disisipkan dalam kotbah-kotbah.
Kompas dalam tajuk rencananya pada 2 Februari 1998 menuliskan kotbah sarat dengan ajakan membangun etos kerja pembangunan. “Khotbah shalat Idul Fitri di mana-mana mengangkat realitas yang sedang kita hadapi, yakni krisis moneter dan ekonomi, yang akibatnya telah menyentuh kehidupan kita sehari-hari. Inilah kesempatan yang ikut diciptakan oleh kesulitan ekonomi itu, bahwa kita agar membangun kembali etos pembangunan.”
Karena itu pada Lebaran 30 Januari 1998, menjadi lebaran penuh keprihatinan.
Editor: Suhendra