Menuju konten utama

Neoliberalisme di Antara MUI, Prabowo dan Jokowi

MUI membela Jokowi dan tuduhan Prabowo. Kata MUI, agenda ekonomi Jokowi bukan neoliberalisme karena membangun dari bawah, termasuk pesantren.

Neoliberalisme di Antara MUI, Prabowo dan Jokowi
Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/10/2017). Fotografer Kepresidenan/Agus Suparto

tirto.id - Setidaknya ada dua hal yang terus-menerus dibicarakan Prabowo Subianto saban berpidato di depan massa. Pertama soal penyesalannya tak mengkudeta ketika masih aktif sebagai perwira, kedua soal sistem ekonomi Indonesia yang tidak berpihak kepada orang kecil atau ia menyebutnya sebagai sistem neoliberal.

Dua topik ini ia bicarakan lagi ketika menghadiri acara kampanye calon gubernur Jawa Barat Sudrajat-Ahmad Syaikhu di Depok, Jawa Barat, Minggu (1/4) lalu.

Prabowo menegaskan, sistem ekonomi yang demikian memberi jalan agar sebagian orang menjadi kaya. Kekayaan itu diharapkan dapat menurun ke orang miskin di bawahnya—dikenal dengan istilah "trickle down effect".

"Masalahnya, menetes ke bawahnya kapan?" kata Prabowo.

Bedanya, kali ini retorika Prabowo itu ditanggapi oleh pihak yang sebetulnya tidak punya otoritas untuk menentukan jenis apakah sistem ekonomi yang sedang dijalankan pemerintah: Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Ketua MUI Ma'ruf Amin menepis tudingan Prabowo. Ma'ruf menyebut sistem ekonomi yang diusung pemerintahan Jokowi justru melawan neoliberalisme. Alasannya, Jokowi sedang membangun perekonomian dari sektor paling kecil seperti pondok pesantren.

"Kan justru Pak Jokowi melawan itu [neoliberalisme]," ujar Ma'ruf Amin usai bertemu Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (2/4/2018).

Ma'ruf menyarankan agar Prabowo agar tidak membuat pernyataan yang menimbulkan kegaduhan. Ia juga meminta mantan Danjen Kopassus itu memberikan konsep dan pendapat yang memajukan bangsa.

Tuduhan pemerintahan Jokowi neoliberal tidak hanya dilontarkan oleh Prabowo saja. Tahun 2015, ekonom Faisal Basri juga pernah menyebut pemerintahan Jokowi memang neoliberal, bahkan lebih dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Alasannya, katanya kala itu, subsidi energi khususnya BBM dicabut dan diserahkan pada mekanisme pasar. "Enggak salah Pak Jokowi disebut neolib," katanya, dikutip dari Kompas.

Tarli Nugroho, penulis buku Polemik Ekonomi Pancasila, juga berpandangan serupa. Ada dua alasan mengapa ia menyebut demikian.

"Pertama adalah liberalisasi di sektor energi, baik migas maupun ketenagalistrikan, yang berjalan sistematis di jaman SBY. Kedua, jumlah utang yang membengkak. Tapi Jokowi lebih buruk. Kasarnya, dulu SBY berutang karena ada subsidi. Nah sekarang, sesudah subsidi dicabuti, clear, pemerintah terus-menerus memperbesar utang," katanya kepada Tirto.

Sementara Haryo Aswicahyono, ekonom senior dari Center of Strategic and International Studies (CSIS) tidak menjawab dengan tegas apakah Indonesia neoliberal atau tidak.

"In general, Indonesia selalu ambivalen terhadap penerapan pasar dan globalisasi. Sangat tergantung boom and bust," katanya.

Tapi, apa sebetulnya neoliberalisme?

David Harvey, ilmuwan penulis buku A Brief History of Neoliberalism (2005), mengatakan kalau neoliberalisme secara teoretik "mengambil pandangan bahwa kebebasan dilindungi dari struktur kelembagaan, yang terdiri dari hak kepemilikan pribadi yang kuat, pasar bebas, dan perdagangan bebas... Implikasinya adalah bahwa negara tidak boleh terlalu banyak mengurusi ekonomi."

Ada enam ciri utama dari neoliberalisme. Supremasi pasar, dalam arti campur tangan negara seharusnya minim dalam pengendalian harga; fleksibilitas modal yang dampaknya adalah penerapan secara masif sistem kerja kontrak dan outsourcing; deregulasi atau penghapusan yang membatasi perputaran modal; pemotongan anggaran negara untuk belanja sosial seperti subsidi; dan terakhir penghapusan konsep barang publik seperti kesehatan dan pendidikan.

Di Indonesia, praktik neoliberalisme sering diasosiasikan dengan penerapan paket kebijakan ekonomi yang digawangi oleh International Monetary Fund (IMF) dalam rangka "menyembuhkan" krisis ekonomi yang terjadi pada 1997-1998. Formula IMF tak jauh-jauh dengan yang disebut Harvey di atas.

Empat resep utama dari IMF adalah pengetatan anggaran, termasuk penghapusan subsidi; liberalisasi sektor keuangan; privatisasi BUMN; dan liberalisasi perdagangan. Keterlibatan langsung IMF selesai pada 2006 seiring dengan dilunasinya utang mereka oleh negara, namun pelaksanaan agenda neoliberal selanjutnya dikawal oleh institusi keuangan internasional lain seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank (Konstitusi Ekonomi, 2010).

MUI Dekat dan Berjarak

Terlepas dari debat soal neoliberalisme, bukan kali ini saja Ma'ruf Amin berusaha menepis komentar miring yang dialamatkan ke pemerintahan.

Saat Amien Rais menuding 74 persen lahan di Indonesia dikuasai kelompok elite, Ma'ruf menyatakan bahwa Jokowi sama sekali tidak melakukan itu. Ia, katanya, justru membagi-bagikan tanah kepada orang miskin lewat reforma agraria.

Dengan posisinya saat ini, apa yang dilakukan oleh Ma'ruf wajar memunculkan tafsir bahwa secara tidak langsung MUI menjadi corong pemerintah.

Sosiolog dari Universitas Nasional, Sigit Rochadi, menuturkan bahwa sejak berdirinya pada 26 Juli 1975 silam, MUI memang pendukung pemerintah. Namun demikian relasi tersebut selalu pasang surut.

Hubungan keduanya sempat menegang terutama terkait beberapa kebijakan Suharto seperti UU Perkawinan, pembatasan pemakaian jilbab bagi pelajar, aliran kepercayaan dan program Keluarga Berencana (KB).

Hubungan mulai membaik sejak Suharto menunaikan ibadah haji sekeluarga pada pertengahan Juni 1991. Termasuk langkah Suharto mengizinkan beroperasinya Bank Muamalat dan memperbolehkan pemakaian jilbab bagi pelajar dan PNS.

Di era Jokowi, Sigit mengamati ada hubungan yang kurang harmonis karena kedekatan antara Jokowi dengan Ahok. Baru setelah Ahok dipenjara dan Jokowi tidak menunjukkan pembelaan yang berarti, MUI mulai dekat dengan Jokowi.

"MUI high politicalized cuma terhadap Ahok karena sangat berseberangan." tutur Sigit kepada Tirto, Rabu (3/4) kemarin.

Nizar Zahro, politikus Partai Gerindra yang duduk di Komisi X DPR RI, mengatakan kalau pembelaan Ma'ruf sudah kelewatan.

"Peran itu menurut saya lebih tepat dilakukan oleh menteri-menteri Jokowi." tutur Nizar kepada Tirto.

Ia khawatir jika tindakan ini terus dilakukan akan menyeret MUI dalam pusaran politik. Dan pada akhirnya hanya akan jadi "alat stempel" penguasa.

Sementara Masduki Baidlowi, Ketua MUI bidang Informasi dan Komunikasi, mengatakan bahwa kekhawatiran tersebut tidak bakal terjadi. Katanya, MIU bakal selalu menjaga jarak dengan pemerintahan.

"Apa yang dilakukan kiai Ma'ruf selama ini semata dalam kerangka menjaga kedaulatan bangsa dan negara," katanya.

Sementara Wakil Komisi VIII DPR RI dari Partai Golkar, Tubagus Ace Hasan Syadzily, mengatakan kalau apa yang disampaikan Ma'ruf adalah dalam rangka "agar umat sejuk dan damai."

"Jangan terprovokasi oleh pihak-pihak yang selalu membuat negara ini gaduh," jelas Ace.

Baca juga artikel terkait REFORMA AGRARIA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Rio Apinino