Menuju konten utama

Negara-Negara yang Mengizinkan Bunuh Diri

Ketika hidup tidak lagi layak dijalani, mati adalah pilihan paling masuk akal. Tapi banyak peradaban dunia menganggap bunuh diri sebagai tindakan amoral dan melawan kehendak Tuhan. Namun, peradaban modern mengenal konsep Eutanasia, sebuah proses membunuh diri sendiri melalui jalan medis.

Negara-Negara yang Mengizinkan Bunuh Diri
Para pengunjuk rasa di luar Gedung Parlemen di London. Aksi meminta sikap anggota parlemen memperdebatkan dan bersuara pada kasus Euthanasia. [Foto/sbs.com.au/Jonathan Brady]

tirto.id - Martin Aleida menulis kisah pilu tentang kematian hewan yang ditulisnya dalam cerpen Mati Baik-baik Kawan. Kisah itu tentang bagaimana manusia yang diusir dari kampung halamannya sendiri, terasing di tanah jauh, dan ingin mati secara terhormat. Dikubur selayaknya manusia tanpa harus dihina karena dituduh komunis. Banyak yang bernyawa merasa tak punya lagi alasan melanjutkan hidup dan berharap untuk segera bertemu dengan kematian yang baik dan terhormat.

Orang-orang yunani kuno menyebut kematian terhormat untuk mengakhiri penderitaan hidup sebagai Eutanasia. Ketika hidup tidak lagi mampu dijalani dengan kebajikan, atau kehidupan terlalu berat memberikan rasa malu, dan penderitaan tak lagi bisa ditanggung kematian adalah wujud paling masuk akal untuk menyelesaikan masalah. Di Indonesia sayangnya, Eutanasia bukan tindakan legal. Membantu orang mengakhiri hidup akan dijerat hukum dan bisa dipenjara.

Usaha untuk melegalkan Eutanasia pernah dilakukan. Setidaknya dalam catatan yang dilakukan tim riset Tirto diketahui, pada tanggal 22 Oktober 2004 sebuah permohonan melakukan tindakan eutanasia pernah diajukan. Permohonan ini diajukan oleh Hasan Kesuma, suami dari Agian Isna Nauli, 33 tahun, yang tergolek koma selama tiga bulan pasca operasi caesar. Istrinya berada dalam kondisi sekarat dan vegetatif. Ia hidup tapi tidak berfungsi selayaknya manusia kebanyakan. Penderitaan istrinya membuat Panca tak tahan dan mengajukan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permohonan ini tentu ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pada 2013 Ignatius Ryan Tumiwa (48), warga Jakarta Barat, mengajukan permohonan uji materi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 344 terhadap Undang-undang Dasar 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Pasal yang berbunyi “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”, dianggap menghalangi niatnya untuk menyuntik mati diri sendiri.

Ignatius ingin mengakhiri hidup sendiri dengan dibantu tim medis, tetapi gugatan itu juga ditolak. Lantas bagaimana hukum Indonesia memandang Eutanasia? Mengutip situs klinik hukum online, meski tidak secara tegas diatur, Euthanasia tetap melanggar KUHP. Pasal 344 KUHP disebutkan merampas nyawa orang lain dengan permintaan dari orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara maksimal 12 tahun. Sejauh undang-undang itu masih ada, maka Eutanasia di Indonesia adalah tindakan melanggar hukum.

Indonesia boleh jadi melarang Eutanasia, tapi setidaknya ada delapan negara yang memperbolehkan anda untuk menentukan nasib hidup sendiri. Negara itu seperti Belgia, Kolombia, India, Irlandia, Luxemburg, Meksiko, Belanda, dan Jepang. Meski demikian syarat-syarat ketat mesti dipenuhi sebelum seseorang bisa mengakhiri hidupnya. Hal ini penting agar masyarakat yang putus asa tidak serta-merta minta agar hidupnya diakhiri oleh negara. Beberapa negara juga hanya mengizinkan Eutanasia sebagai alternatif akhir dan hanya diberikan kepada mereka yang sakit serta secara medis tak lagi tertolong.

Pada 2015, Belgia menjadi perhatian dunia karena mengizinkan Eutanasia kepada seorang perempuan berusia 24 tahun. Pemerintah Belagia dianggap terlalu mudah memberikan izin untuk mati bagi warganya. Pada 2014 saja ada 1.800 orang yang menjalani eutanasia, angka ini naik 27 persen dari tahun sebelumnya. Sejak diberlakukan secara resmi pada 2002, Eutanasia di Belgia memang memicu kontroversi karena dianggap terlalu mudah memberikan izin.

Pemerintah Belgia secara resmi menyebutkan bahwa Eutanasia hanya diberikan kepada “pasien yang menderita dan tak lagi mampu menanggung penderitaan” atau sekarat. Banyak pelaku Eutanasia di Belgia adalah orang-orang lanjut usia berusia di atas 70 tahun, tetapi sejak 2012 angka anak muda yang mengajukan Eutanasia meningkat.

Belgia bukan negara pertama di dunia yang memberlakukan Eutanasia, Belanda adalah negara pertama di dunia yang memberlakukan hukum ini. Meski secara tertulis hukum ini disahkan pada 2002, namun pada praktiknya pengadilan tinggi belanda telah banyak memberikan izin Eutanasia sejak 1980an. Di Belanda dokter juga tidak punya kewajiban untuk membuat pasiennya tetap hidup, jika si pasien sendiri tidak menginginkannya.

Eutanasia sendiri bukannya tanpa tentangan. Banyak praktisi medis dan dokter menentang praktik ini karena dianggap bertolak belakang dengan semangat kesehatan. Dokter semestinya berusaha sekuat dan sebaik mungkin agar seseorang bisa tetap hidup, bukan malah membantu mereka untuk mati. Carine Brochier, manajer proyek European Institute of Bioethics, menyebutkan bahwa setiap orang pasti pernah menderita dan memiliki penyakit mental bukan berarti mesti diselesaikan dengan kematian.

Carine percaya bahwa penderitaan psikis bisa ditangani dengan baik dan banyak mereka yang memiliki gangguan mental bisa hidup dengan baik. Meningkatnya keinginan anak muda di Belgia untuk melakukan Eutanasia merupakan dampak dari begitu longgarnya hukum tersebut. Menurut Carine, hampir tidak ada kritik dan kontrol terhadap pemberlakuan Eutanasia dan kriteria seseroang untuk bisa melakukan itu semestinya diperketat lagi.

Di Indonesia perdebatan tentang Eutanasia tidak hanya terjadi di kalangan akademisi dalam bidang dokter maupun hukum. Pada 12 Juli 2001 Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta pernah mengeluarkan fatwa haram Eutanasia karena dianggap bertentangan dengan hukum islam. Sebelumnya Prof KH Ibrahim Hosen, ulama dan pemikir Islam, dalam sebuah seminar di Bandung pada 1997 menyebutkan Eutanasia boleh dilakukan dengan syarat yang ketat. Misalnya untuk mencegah penyakit menular berbahaya.

Haryadi, S.H., M.H., Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jambi, menulis esei berjudul Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Pidana. Artikel itu dimuat di Majalah Hukum Forum Akademika, Volume 16 No. 2 Oktober 2007. Menurutnya, di Indonesia hukum mengizinkan praktik Euthanasia pasif. Maksudnya, mempercepat kematian dengan cara menolak memberikan/mengambil tindakan pertolongan biasa, atau menghentikan pertolongan biasa yang sedang berlangsung.

Contoh dari Eutanasia Pasif adalah ketika dokter menyatakan diri lepas tangan dari pengobatan pasien. Pasien dianggap sudah tidak dapat lagi ditolong dengan segala bantuan medis yang ada saat ini. Dokter pula menganjurkan si pasien untuk pulang dan menikmati waktunya bersama keluarga ketimbang melakukan perawatan. Tindakan membiarkan seseorang untuk tak lagi mendapatkan bantuan medis karena sudah sekarat atau tak lagi ada alternatif medis lebih lanjut dapat dikategorikan sebagai Euthanasia Pasif.

Baca juga artikel terkait EUTHANASIA atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti