Menuju konten utama

Nasionalisme Indonesia dan Propaganda Politik dalam Komik

Hampir 90 tahun komik hadir di Indonesia dan turut dalam pelbagai proyek nasionalisme yang digagas para pemimpin nasional.

Nasionalisme Indonesia dan Propaganda Politik dalam Komik
Komik "Pedjuang Tak Kenal Mundur". FOTO/Istimewa

tirto.id - Dalam lini kala sejarah komik Indonesia, ada sebuah periode saat komik dijadikan alat propaganda untuk mengobarkan nasionalisme. Kesimpulan ini didapat dari disertasi Marcel Bonneff, Les Bandes Dessinées Indonesiénnes, yang selesai ditulis pada 1972. Disertasi itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Komik Indonesia (terbit pertama kali tahun 1998).

Ia mencatat bahwa komik tentang perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan sempat populer pada Periode Medan, yaitu sekitar tahun 1960-1963. Sementara Tempo (23/1/2017) mencatat periode ini berlangsung dari tahun 1950-1960-an. Para komikus Periode Medan memang tak hanya memproduksi komik-komik tentang perjuangan bangsa, tapi juga menghasilkan komik yang legendaris.

“Komik Medan merupakan sebutan yang mengacu pada komik yang diterbitkan dari Medan pada 1950-1960-an. Sebutan itu muncul belakangan dari para pembaca komik, kolektor, dan akademikus. Komikus Medan sendiri lebih suka menyebut dirinya ‘cergamis’, dengan karya mereka sebagai ‘cergam’—cerita bergambar,” tulis Tempo.

Dalam penelitian Bonneff, komik-komik perjuangan dan nasionalisme membentuk alur waktu yang kronologis dan menjadi benang merah yang berkesinambungan. Kisah dari masa kerajaan sampai era Sukarno semuanya terwakili dalam komik dan merekam semangat zaman itu.

“Seluruh sejarah kontemporer Indonesia (tahun-tahun sebelum coup d’Etat 1965) tercermin secara karikatural dalam komik. Dengan menyajikan visi nasionalis, menggunakan kembali tema-tema ideologis, cita-cita kebesaran bangsa, sinkretisme agama, komik jelas telah dipolitisasi,” tulisnya.

Untuk mewakili zaman kerajaan, hadir komik Rahasia Borobudur yang mengisahkan tokoh-tokoh mitologis dan para raja Buddha dan Hindu yang membebaskan rakyat Indonesia dari penindasan. Saat kekuatan kolonial Belanda semakin mencengkeram, generasi berikutnya dari masa kerajaan Islam dihadirkan sebagai elan perlawanan yang diwarnai banyak pertumpahan darah.

“Setelah penjajah hengkang dari Indonesia, cahaya ilahi yang merupakan lambang kebebasan dan kedaulatan itu kembali bersinar di atas Borobudur,” tambahnya.

Sejumlah komik juga merekam saat-saat pendudukan Jepang dan ketika Belanda ingin kembali berkuasa atas Indonesia, seperti Pembebasan, Srikandi Tanah Minang, Pedjuang tak Kenal Mundur, Toha Pahlawan Bandung, Mongisidi, dan lain-lain.

Mengawal Proyek Nasionalisme

Memasuki tahun 1960-an, saat narasi nasionalisme kian kencang di bawah komando Bung Karno lewat operasi Dwikora dan Trikora, produksi komik yang bertema nasionalisme kembali disukai. Maka hadir komik Puteri Tjenderawasih, Pahlawan jang Kembali, Bentjah Menggolak, Kadir dan Konfrontasi, Hantjurlah Kubu Nekolim, dan sebagainya.

Masa-masa saat Indonesia dipenuhi pelbagai gerakan separatisme pun tak lepas dari komik. Udin Pelor dan Melati di Sarang Pemberontak hadir sebagai contohnya. Menurut Bonneff, meski komik-komik tersebut memotret gerakan pemberontakan yang merongrong keutuhan bangsa, tapi ideologi para pemberontak tak pernah disebutkan secara jelas.

Tak cukup sampai di situ, masa-masa menjalani politik mercusuar dan membangun Indonesia sebagai sebuah nasion yang kuat pun ditampilkan juga dalam komik. Peristiwa Asian Games 1962, Ganefo, sampai cita-cita menerbangkan roket ke luar angkasa, semuanya tak luput direkam.

“Kepribadian bangsa, rasa cinta tanah air, kebanggaan menjadi orang Indonesia lahir dan semakin kuat, tidak hanya ketika menghadapi musuh tetapi juga di dalam kehidupan sehari-hari, menjalani pembangunan, dan menikmati keberhasilan negara, yang pernah jaya pada masa lalu, dan tidak gentar menghadapi masa depan,” tulis Bonneff.

Setelah tampuk kekuasaan nasional berganti, proyek nasionalisme lewat komik diteruskan Soeharto sebagai pemimpin Orde Baru. Ia bahkan sempat memberikan kata sambutan dalam komik berjudul Merebut Kota Perjuangan yang dibuat Wid NS (pembuat serial Godam), Hasmi (pembuat serial Gundala), dan kawan-kawan.

“Saya sambut gembira diterbitkannya buku cerita bergambar mengenai perjuangan rakyat Indonesia dengan judul Merebut Kota Perjuangan. Cergam tersebut bukan bermaksud menonjolkan jasa seorang atau golongan, melainkan bertujuan mengungkap fakta sejarah, bahwa Republik proklamasi ini diperjuangkan dengan penuh kepahlawanan dan pengorbanan. Semoga jiwa dan semangat itu dapat diwarisi oleh generasi penerus dalam mempertahankannya,” tulis Soeharto, bertitimangsa 29 Juni 1983.

Selain Soeharto, komik tersebut juga menyertakan kata sambutan dari Dorodjatun (Hamengkubuwana IX).

“Semoga buku cergam ini dengan judul Merebut Kota Perjuangan mengingatkan kembali semangat perjuangan sebagai tauladan kepada anak didik zaman sekarang ini, agar semangat perjuangan itu dihayati oleh generasi muda kita,” tulis Dorodjatun.

Infografik Komik Dan Nasionalisme

Pada masa sebelumnya, yaitu zaman Revolusi, komik bertema nasionalisme juga banyak diterbitkan. Berdasarkan koleksi B. Beem untuk Museum Bronbeek, Arnhem, Belanda, di masa itu terbit komik tentang perang gerilya berjudul Gerilja Schetsen.

Karya yang sempat dipamerkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara itu dibuat H.B. Angin, seniman yang tergabung dalam Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI)—sebuah organisasi yang didirikan Djajengasmoro pada 1946.

Menurut Mikke Susanto, pengajar Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, seperti dikutip Tempo, PTPI kerap menerima pesanan dari pemerintah untuk membuat iklan, poster, dan propaganda, termasuk komik. Mikke menambahkan bahwa organisasi itu pun pernah menerima pesanan mimbar dari Bung Hatta.

“Komik H.B. Angin tersebut berisi hal-hal atau kegiatan para gerilyawan ketika harus berbaur, hidup di tengah-tengah rakyat, saat sedang istirahat, atau strategi bertahan di alam atau di area medan perang, situasi di tanah lapang, trik menghadang musuh, juga ketika menyamar atau berkamuflase mendekati target penyerangan,” catat Tempo.

Narasi tentang nasionalisme bahkan hadir pula dalam baris komik (comic strip) Put On karya Kho Wan Gie yang, menurut Seno Gumira Ajidarma dalam Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan (2011), merupakan komik Indonesia terawal yang pertama kali hadir pada 1931 di surat kabar Sin Po.

Pada ulang tahun Republik Indonesia ke-13 atau tahun 1958, dalam catatan JJ Rizal di Kompas (1/3/2009), Put On menampilkan sebuah perayaan yang kemerdekaan yang di antaranya diisi dengan pidato. Put On, judul sekaligus tokoh komik tersebut, menyinggung soal berakhirnya pemberontakan di berbagai daerah juga kegagalan imperialis dalam melakukan intervensi.

“Perajaan hari nasional kali ini agak istimewa, sebab berkenaan dengan berhasilnya penumbangan pemberontak, petualang-petualang, hingga mulai kokoh lagi persatuan nasional negara kita. Marilah kita berseru Indonesia Bersatu! […] Marilah kita berseru ambruklah untuk selamanja intervensionis imperialis!” ujarnya.

Saat ini, komik tentang kepahlawanan dan nasionalisme tetap hadir, salah satunya adalah serial tentang petuangan Bagas, tokoh pemuda yang digambarkan berjuang pada masa revolusi fisik. Komik ini diterbitkan pada 2014.

Komik yang digarap oleh Chris Lie, Andik Proyogo, dan kawan-kawan ini digagas Bob Hasan dan Mayjen TNI (Purnawirawan) Zacky Anwar Makarim yang sekaligus berperan sebagai narasumber riset. Menurut Bob Hasan seperti dikutip Gatra, komik Bagas hadir untuk menonjolkan ciri khas kebangsaan Indonesia.

Baca juga artikel terkait HARI KEMERDEKAAN atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Hobi
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan