Menuju konten utama

Nasib Pendidikan Vokasi yang Masih Dipandang Sebelah Mata

Peminat pendidikan vokasi masih cukup tinggi. Mereka berharap bisa mendapatkan manfaat lebih dengan pendidikan vokasi.

Nasib Pendidikan Vokasi yang Masih Dipandang Sebelah Mata
Sejumlah mahasiswa baru dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) mengikuti kegiatan Wawasan Kebangsaan di Kupang, NTT Jumat (31/8/2017). ANTARA FOTO/Kornelis Kaha

tirto.id - Para mahasiswa lulusan pendidikan vokasi masih sering dipandang sebelah mata. Mulai dari urusan bersosialisasi di kampus hingga di tempat kerja, pengalaman dinomorduakan sudah jadi makanan sehari-hari mahasiswa vokasi.

"Sering banget disepelein," kata Junior Priabhuana , Ketua BEM Vokasi Universitas Indonesia periode tahun 2015, kepada Tirto. "Cuma boleh ikut kepanitiaan sebagai divisi medis, keamanan, dan logistik," lanjutnya, sembari menyebut salah satu ajang musik tingkat kampus yang cukup terkenal. Menurut Junior, posisi strategis seperti divisi acara, sponsor, dan lainnya hanya boleh diisi oleh mahasiswa S1 saja. "Divisi itu cuman di pegang sama anak S1," keluhnya.

Di dunia kerja, Junior merasa upah yang didapat dari seorang lulusan vokasi lebih rendah daripada upah lulusan program Sarjana. "Lulusan vokasi nggak akan pernah bisa dapat gaji yang didapat sama anak S1."

Meski disepelekan, tapi program vokasi masih mendapat minat yang besar. Terbukti dari tingginya angka pendaftar yang mengikuti ujian masuk program vokasi di PTN. Di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta misalnya, jumlah pendaftar yang bersaing memperebutkan kursi di Sekolah Vokasi pada tahun 2017 mencapai 7.041 peserta, sementara jumlah mahasiswa yang dapat ditampung sebanyak 2.266 siswa.

Selain itu, jumlah pendaftar ujian seleksi masuk Program Vokasi Universitas Indonesia juga tidak kalah banyak. Pada 2017, jumlah siswa yang ingin menjadi “anak vokasi” mencapai 9.750 orang, dengan daya tampung sebanyak 330 siswa. Kemudian di Universitas Airlangga Surabaya, peserta ujian masuk vokasi pada 2016 mencapai 3.471 orang, dengan daya tamping sebanyak 1.355 siswa.

Mahasiswa aktif jurusan Komunikasi Program Vokasi Universitas Indonesia (UI), Nurmeividiani mengaku sempat berpikir untuk mencoba lagi SBMPTN agar bisa masuk di Program Sarjana UI. Tapi setelah melewati dua semester di Program Vokasi itu, ia mengurungkan niatnya karena puas kuliah di program vokasi Kampus Kuning itu. “Nggak nyesel sama sekali,” katanya. Setelah satu tahun belajar di Program Vokasi, aku mahasiswi angkatan 2016 ini, dirinya merasakan banyak manfaat. “Program Vokasi UI selama saya kuliah itu ‘kan praktik, dan selain itu sesuai dengan apa yang dibutuhkan di dunia industri,” ujarnya.

Nurmeividiani juga mengatakan metode belajar di Program Vokasi UI juga sangat menyenangkan dan mendukung dirinya untuk siap kerja. “Lingkungannya juga enak, lulusan banyak yang masuk ke industri yang menarik jadi kita dapat jaringan yang bagus,” lanjutnya.

Kehadiran Vokasi

Pendidikan vokasi, seperti halnya program pendidikan tinggi lainnya, mempunyai misi mempersiapkan generasi siap kerja dan profesional. Dalam pendidikan vokasi terdapat dua bagian pendidikan, yakni pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan tinggi vokasi.

Manajer Sumber Daya Manusia, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia, Deni Danial Kesa mengatakan, dalam sejarahnya, Pendidikan D3 diadakan sebagai sebuah sarana memperluas akses pendidikan publik. Salah satu tujuannya adalah mempersingkat waktu pendidikan. Di sisi lain, kurikulum yang dirancang masih sama dengan jenjang pendidikan S1. “Maka muncul sarjana minus one dan sebutan lainnya,” Kata Deni kepada Tirto.

Deni menjelaskan, Program Pendidikan Vokasi di Universitas Indonesia (UI) Depok yang didirikan sejak 2008 terus berbenah agar lulusan vokasi bisa mendapatkan kemampuan sesuai dengan tujuan semula program. Dengan demikian, tidak ada lagi diskriminasi terhadap lulusan pendidikan vokasi ini.

Pembenahan itu dimulai dari penerapan berbasis praktik (70 persen praktikum dan 30 persen teori) yang berbeda dengan program sarjana. Yang terbaru adalah penerapan kurikulum 321 yaitu tiga semester belajar di Kampus, dua semester di perusahaan, dan satu semester magang dan sertifikasi.

Infografik Peminat pendidikan vokasi perguruan tinggi negeri

Deni menyayangkan jika perubahan tersebut belum diketahui masyarakat luas. “Kita berusaha menyadarkan masyarakat akan hal tersebut,” ujar Deni. “Misalnya dengan melakukan edukasi di setiap Kamaba (kegiatan mahasiswa baru) atau juga melakukan FGD dengan industri dan perusahaan,” jelasnya.

Permasalahan lain yang timbul dalam pengembangan program vokasi adalah meningkatnya jumlah pengangguran dari angkatan kerja lulusan diploma atau vokasi. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukan bahwa pengangguran dari angkatan kerja lulusan program diploma atau vokasi menunjukan kenaikan. Pada Februari 2014 misalnya, angka pengangguran tercatat sebanyak 195.258 orang. Lalu per Februari 2015 angka pengangguran meningkat cukup banyak menjadi 254.312 orang. Sementara pada Februari 2016, jumlahnya menurun sedikit menjadi 249.362 orang. Terakhir pada Februari 2017, angka penganggurangan hampir sama dengan tahun lalu namun cenderung naik sebesar 249.705.

Sistem Ganda Pendidikan Vokasi

Dalam hal pendidikan vokasi, Jerman bisa dikatakan sebagai salah satu acuan. Pada 2000, UNESCO dan pemerintah Jerman menandatangani kesepakatan yang menunjuk kota Bonn di Jerman sebagai tuan rumah pusat pengembangan kebijakan dan pelatihan pendidikan vokasi. Pusat kajian tersebut adalah cikal bakal terbentuknya UNESCO-UNEVOC, sebuah lembaga internasional yang menghubungkan negara-negara anggota UNESCO untuk memperkuat pendidikan vokasi.

Pengembangan pendidikan vokasi terus dilanjutkan oleh UNESCO dan Jerman, hingga pada 2002, Kofi Annan, sekjen PBB saat itu, mensahkan Bonn sebagai Kota PBB. Belakangan, kota itu dideklarasikan sebagai Kampus PBB. Laporan tinjauan OECD pada 2010 mengakui kekuatan dari sistem pendidikan dan pelatihan vokasi (VET) Jerman dengan sistem ganda (dual system) sebagai salah satu unggulannya.

Pendidikan dan pelatihan vokasional rupanya sangat tertanam dan dihargai oleh masyarakat Jerman. Menurut laporan OECD, sistem VET Jerman tersebut memiliki sejumlah keunggulan, di antaranya kualifikasi dalam spektrum profesi yang lebih luas dan fleksibel dalam penyesuaian dengan perubahan kebutuhan pasar tenaga kerja. Keunggulan kedua, sistem ganda pendidikan vokasi Jerman mengintegrasikan pembelajaran berbasis kerja dan berbasis sekolah, dengan tujuan mempersiapkan masa transisi sebelum mahasiswa menjalani dunia kerja yang sesungguhnya.

Keunggulan ketiga adalah sumber daya yang dimiliki Jerman. Sistem pendanaan VET Jerman menggabungkan pendanaan publik dan swasta. Jerman sendiri telah mempertahankan dukungan keuangan yang kuat dan tawaran magang untuk sistem VET bahkan selama krisis ekonomi 2008.

Terakhir, Jerman memiliki kapasitas penelitian VET yang dikembangkan dengan baik dan terlembaga. Institut Federal untuk VET (BIBB), misalnya, adalah salah satu upaya Jerman untuk mengembangkan sistem VET berbasis penelitan.

Meski demikian, ada juga beberapa negara yang gagal ketika hendak menerapkan sistem pendidikan vokasi. Dalam “The Value of Vocational Education: High School Type and Labor Market Outcomes in Indonesia” (2011), David Newhouse dan Daniel Suryadarma menyebut Korea sebagai contohnya. Negeri ginseng itu sempat merespons kurangnya tenaga kerja melalui pendirian sekolah-sekolah vokasi.

Sayangnya, kebijakan pemerintah Korea Selatan yang bertujuan mendorong para pelajar untuk melanjutkan pendidikan di sekolah vokasi tidak membawa dampak yang menggembirakan. Menurut laporan Bank Dunia, seiring masyarakat Korea Selatan melihat pentingnya mengenyam pendidikan di sekolah umum dan perguruan tinggi, status pendidikan vokasi menurun. Selain itu, jumlah lulusan sekolah vokasi yang memasuki pasar tenaga kerja anjlok dari 76,6 persen (1990) menjadi 20,2 persen (2007).

Vokasi dan Lapangan Tenaga Kerja

Agus Puji Prasetyono, Staf Ahli Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bidang Relevansi dan Produktivitas, menjelaskan bahwa menjadi pekerja berketerampilan menengah, tersertifikasi, dan produktif sangat diperlukan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). "Tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional," jelas Agus dalam sebuah keterangan tertulis.

Agus mengatakan bahwa tenaga kerja di Indonesia akan menghadapi persaingan dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Menurut Agus, meningkatnya persaingan di dunia kerja harus diantisipasi dengan melakukan formulasi ulang arah dan kebijakan strategis terkait pendidikan politeknik saat ini.

Dalam menghadapi persaingan di pasar MEA, menurut Agus, sudah semestinya seorang yang belajar di Perguruan Tinggi mempelajari teori dan praktik yang cukup. "Agar kelak ketika lulus menjadi unggul dan mampu bersaing di dunia kerja nyata," ujarnya.

Sementara itu Deni mengatakan bahwa program vokasi kini menjadi penting karena mampu mencetak alumni yang sudah siap bekerja secara profesional. Untuk itu, Deni mengaku terus mengikis stigma dan diskriminasi terhadap mahasiswa dan lulusan sekolah vokasi. “Kita selalu mendorong dunia industri dan lapangan pekerjaan untuk tidak mendikotomikan lulusan D3, D4, ataupun S1,” kata Deni, “Sehingga tidak ada yang over-qualified dari setiap peta jabatan pekerjaan,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait SEKOLAH VOKASI atau tulisan lainnya dari Ramdan Febrian

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Ramdan Febrian
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti