tirto.id - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menilai janji sekolah gratis itu: (1) tak perlu dipercaya, dan (2) ketinggalan zaman. Ia ingin masyarakat kritis dengan omongan pejabat sebab pendidikan di Indonesia bisa berjalan dengan pemanfaatan APBN dan APBD. Pejabat tipe seperti itu, katanya, biasanya merujuk pada sekolah yang tak terurus.
“Percuma gratis kalau tidak mutu. Ini selalu saya ingatkan bahwa tidak ada sekolah gratis itu," ujarnya sebagaimana dikutip Temposaat meresmikan gedung Techno Park di SMK Negeri 2 Pangkalpinang, Jumat (23/3/2018).
Muhadjir sempat menyinggung bahwa di negara-negara lain di seluruh dunia sudah tidak memberlakukan sekolah gratis, termasuk di negara-negara Eropa maju, termasuk Jerman. Katanya kebijakan itu dilakukan untuk meningkatkan dunia pendidikan di negara bersangkutan.
Benarkah demikian?
Selama abad ke-18 Kerajaan Prussia, yang berkuasa di teritori Jerman modern, adalah salah satu negara pertama di dunia yang memperkenalkan pendidikan dasar maupun umum secara gratis. Pendidikan dasar ditempuh selama delapan tahun. Ini membantu menyediakan keterampilan membaca, menulis, dan berhitung yang dibutuhkan di industri. Juga soal etika, kewajiban, kedisiplinan, dan kepatuhan.
Usai Perang Dunia I Republik Weimar turut mengembangkan sekolah dasar empat tahun yang bebas dan bersifat universal, artinya bisa diakses siapa saja. Sebagian besar siswa melanjutkannya ke jenjang empat tahun selanjutnya untuk kursus. Sementara lainnya melanjutkan ke sekolah dengan kurikulum yang lebih berat untuk satu atau dua tahun, cukup dengan membayar sedikit biaya.
Muhadjir tidak 100 persen salah. Dalam catatan Angloinfo, pendidikan anak usia dini dan taman kanak-kanak di Jerman modern tidak sepenuhnya gratis. Pemerintah memang menanggung pendanaan, tetapi dapat sebagian dipenuhi oleh orang tua anak. Tergantung pada kebijakan otoritas lokal dan kemampuan ekonomi orang tua. Kebijakan ini juga berlaku untuk sekolah dasar hingga menengah atas.
Meski demikian Muhadjir keliru jika menganggap yang gratis-gratis menghambat perkembangan dunia pendidikan. Dalam konteks pendidikan tinggi, Jerman mampu menjadi salah satu negara dengan mutu pendidikan terbaik salah satunya dengan menggratiskan biaya kuliah. Tak hanya bagi warga Jerman asli, tetapi juga untuk mahasiswa dari luar negeri.
Sebagian besar kampus di Jerman dikelola oleh negara. Hanya lima persennya yang dikelola swasta. Menurut catatan Barbara Kehm di Conversation, pada tahun 1976 keluar aturan pelarangan biaya kuliah di Jerman Barat. Ini adalah hasil dari berkuasanya Partai Sosial Demokrat (SPD).
Pada pemerintahan koalisi konservatif dan liberal era 1980-an muncul ide pengembalian kebijakan biaya kuliah. Sempat terjadi kebuntuan, sebab pemerintah negara bagian akan mengurangi pendanaan rutin mereka ke universitas. Kebijakan larangan biaya kuliah berlaku hingga runtuhnya Tembok Berlin dan penyatuan Jerman pada awal 1990-an.
Pada pertengahan 1990-an wacana penerapan biaya kuliah kembali mengemuka dengan alasan untuk menanggulangi sejumlah permasalahan di sektor pendidikan tinggi, khususnya beban “mahasiswa abadi” alias yang tak lulus-lulus atau lulus terlalu lama.
Pemerintah konservatif memulai upayanya pada 2002. Pada 2005 mereka berhasil. Sesuai Pengadilan Konstitusional Federal, Jerman mulai mengenakan biaya kuliah di tujuh negara bagian. Nominalnya sekitar 500 euro per semester.
Kebijakan ini diprotes oleh mahasiswa dan masyarakat yang turun ke jalan dalam jumlah besar. Mereka mampu mengumpulkan 70.000 petisi melawan biaya kuliah. Tekanan kepada pembuat kebijakan makin besar sebab partai-partai yang mendukung biaya kuliah dan menggunakannya selama kampanye ternyata kalah di pemilu.
Pemerintah Jerman akhirnya luluh. Pemerintah negara bagian Hessen adalah yang pertama membatalkan kebijakan biaya kuliah pada 2008. Lainnya berangsur-angsur mengikuti langkah ini. Bavaria pada 2013 dan Lower Saxony pada 2014 adalah dua negara bagian terakhir yang menghapus biaya kuliah.
Pemerintah menanggung biaya kuliah dengan penerapan pajak yang tinggi—sebagaimana diberlakukan di banyak negara Eropa. Dengan demikian gratis yang dimaksud Muhadjir di awal adalah mengandaikan negara lepas tangan. Padahal gratis yang diterapkan Jerman adalah dengan mengelola serta membiayai sebagian besar biaya institusi pendidikannya melalui sumbangan warganya sendiri.
Dibandingkan anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) lain yang mayoritas adalah negara ekonomi maju, rata-rata pajak warga Jerman tertinggi kedua setelah Belgia. Persentasenya mencapai 39,5 persen. Jauh dibandingkan Inggris misalnya, dengan 23,7 persen, atau rata-rata seluruh anggota OECD yakni 25,5 persen.
Dalam catatan BBC, melalui kebijakan pajak yang tinggi, pemerintah Jerman mengeluarkan biaya tinggi untuk riset. Pencapaian di bidang sains dan teknologi pun signifikan tak hanya untuk memajukan pendidikan, namun juga memberikan sumbangan untuk ekonomi negara.
Jerman juga andal di bidang keterampilan pekerja. Menurut laporan LA Times, pangkal persoalannya adalah kondisi geografis Jerman yang luas tetapi kurang kaya secara sumber daya alam. Pemerintah berinvestasi besar untuk memajukan vokasi. Ekonomi negara juga tumbuh sebab institusi pendidikannya mampu melahirkan para pekerja yang terampil.
Ada banyak lulusan yang memilih untuk lanjut di sekolah vokasi. Hal ini menyebabkan jumlah mahasiswa Jerman tidak sebanyak di Amerika Serikat. Kembali mengutip data OECD,hanya 30 persen warga Jerman usia 25-34 yang menyelesaikan perguruan tinggi. Angka ini di bawah AS yakni 45 persen atau bahkan rata-rata negara OECD.
Meski lebih sedikit, keseriusan pemerintah dalam mengelola sekolah vokasi tidak diragukan lagi. Apalagi perusahaan-perusahaan juga turut berinvestasi sebab berpengaruh terhadap produktivitas jangka panjang karyawannya.
Berbeda dengan di negara-negara lain di mana lulusan kuliah yang ahli di bidang teori lebih dihormati. Di Jerman, lulusan sekolah vokasi yang jago di ranah keterampilan juga mendapat penghormatan yang setara.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf