tirto.id - Salah satu yang tidak pernah mati di Jerman adalah Leitkulturdebate. Debat Leitkultur hanya mereda untuk muncul kembali. Dimunculkan kembali, lebih tepatnya, oleh para politikus untuk kepentingan yang mereka usung.
Kata Leitkultur adalah istilah yang digunakan merujuk varietas tanaman dominan di sebuah habitat. Yang mengadopsinya menjadi istilah politik adalah Bassam Tibi, seorang ilmuwan politik yang pernah menjadi dosen Hubungan Internasional di Universitas Göttingen (1973 – 2009), dalam sebuah esai berjudul “Multikultureller Werte-Relativismus und Werte-Verlust” (Relativisme Nilai Multikultural dan Kehilangan Nilai) pada 1996. Sebagai istilah politik, Leitkulturbermakna “budaya dominan” atau “budaya panduan”.
Tibi berargumen bahwa dengan semakin terbukanya batas antarnegara dan semakin bersatunya Eropa, dibutuhkan budaya panduan yang berdasar kepada nilai-nilai seperti hak asasi manusia, toleransi, dan pemisahan gereja dengan negara agar para imigran dapat berintegrasi sepenuhnya di tempat baru. Tibi sendiri seorang imigran. Ia lahir Damaskus, Suriah, pada 4 April 1944. Ia pindah ke Jerman saat berusia 18 tahun dan memegang kewarganegaraan Jerman sejak 1976.
Bahwa pada akhirnya politisi Jerman memelintir gagasan Tibi untuk menyerang para pengungsi – yang sebagian besar datang dari negara asalnya – tidak meresahkan Tibi. Jangankan mengutuk, Tibi malah cenderung membenarkan tindakan mereka dan mengeritik kebijakan tangan terbuka yang diterapkan Angela Merkel. Krisis yang terjadi akibat para pengungsi, menurut Tibi, sudah sedemikian parah sehingga ia khawatir “para orang baik hari ini bisa menjadi neo-Nazi esok hari.”
Debat Leitkultur dari Tahun ke Tahun
Debat Leitkultur pertama terjadi pada 2000. Friedrich Merz, yang saat itu mengemban jabatan pimpinan kelompok parlementer gabungan partai konservatif CDU-CSU, dalam sebuah wawancara dengan Welt berujar bahwa para pengungsi dan imigran yang berharap untuk menetap di Jerman harus “beradaptasi terhadap Leitkultur Jerman yang mantap dan liberal”.
Yang mendorong Merz mengeluarkan pernyataan tersebut adalah aturan baru mengenai kewarganegaraan Jerman yang mulai berlaku pada Januari 2000. Per aturan baru tersebut, siapa pun yang lahir di Jerman dapat menjadi warga negara Jerman. Sebelum aturan ini berlaku, kewarganegaraan Jerman ditentukan oleh asas jus sanguinis. Jerman juga menerapkan kebijakan imigrasi yang longgar untuk menarik banyak insinyur. Dengan kata lain, Jerman menyatakan diri sebagai negara imigrasi.
Merz mendesak penerapan aturan imigrasi yang lebih ketat dan meminta para imigran beradaptasi terhadap kultur dominan Jerman: sekuler, berbahasa Jerman, taat hukum. Pernyataan Merz, tentu saja, memicu perdebatan. Selain karena tidak ada yang namanya Leitkultur Jerman, hal semacam ini – merasa lebih baik dari negara dan ras lain – adalah bahasan sensitif.
“Istilah ini menjijikan,” ujar Bela Anda, juru bicara Gerhard Schröder (Kanselir Jerman saat itu). “Istilah ini juga mengancam imigran.”
Joska Fischer, wakil kanselir merangkap menteri luar negeri pada era Schröder, berujar “masalahnya adalah beberapa Demokrat Kristen seperti Tuan Merz masih tinggal di abad ke-19, masih percaya bahwa kebangsaan Jerman ditentukan oleh keturunan, masih menentang budaya imigran ketika faktanya kita sudah harus membuka diri untuk alasan ekonomi. Gagasan ‘Leitkultur’ sekarang, di Eropa pasca-nasional, benar-benar gila.”
Mayoritas politisi sosio-demokratis, liberal, dan pro lingkungan, menentang Merz dan menuduhnya menggunakan “kosa kata rasis”. Surat kabar Bild menyebut Leitkultur sebagai “kata yang amat buruk.”
Frankfurter Allgemeine berbeda paham dengan Bild. Harian konservatif tersebut mengelukan Merz karena berani memulai diskusi mengenai isu yang sejak lama tabu. “Keyakinan teguh bahwa setelah Auschwitz tidak boleh ada hal-hal yang secara spesifik “Jerman” telah memengaruhi seluruh generasi ... siapa pun yang mengangkat bahasan mengenai pelestarian kekhasan budaya, tradisi, dan konvensi beruntung jika ia dicela dengan sebutan yang tidak lebih buruk dari ‘nasionalis.’”
Satu hal mengenai debat Leitkultur adalah: ia dimulai, didukung, dan ditentang oleh orang-orang yang berbeda pada setiap kesempatan. Bild mengutuk opini Merz pada 2000 namun menyediakan tempat untuk Thomas de Maizière pada April lalu. De Maizière, dalam opini berjudul “Wir sind nicht Burka”, bahkan sampai menyertakan sepuluh poin Leitkultur Jerman.
Poin pertama dari sepuluh gagasan Leitkultur yang disampaikan De Maizière membahas kebiasaan sosial. “Kami memperkenalkan nama. Kami menjabat tangan. Dalam demonstrasi kami melarang penggunaan penutup wajah,” tulis De Maizière. Ia menutup poin pertama dengan “Kami menunjukkan wajah. Kami tidak mengenakan burka.”
Poin berikutnya membahas pendidikan. Frankfurter Allgemeine menyebut, yang dikatakan De Maizière mengenai pendidikan bertentangan dengan pemahaman Jerman mengenai pendidikan.
“Kami memandang kinerja sebagai sesuatu yang dapat dibanggakan oleh masing-masing orang,” tulis De Maizière pada poin ketiga. Bagian ini membahas meritokrasi sebagai kekuatan Jerman, juga sistem jaminan sosialnya yang bisa dibanggakan.
Dalam poin keempat, yang membahas sejarah, De Maizière menulis: “Kami adalah ahli waris sejarah kami, baik dan buruknya.” Termasuk, tulis De Maizière, sejarah mengenai hak Israel untuk berdiri.
“Kami adalah bangsa berbudaya. Nyaris tidak ada negara yang sama dengan Jerman dalam hal dibentuk oleh budaya dan filsafat,” tulis De Maizière dalam poin kelima, mengenai Jerman sebagai bangsa berbudaya. “Kami memiliki pemahaman kami sendiri mengenai nilai penting budaya dalam masyarakat.”
Poin keenam menyinggung agama. Pengaruh Kristen di Jerman, tepatnya. “Hari libur Kristen membentuk ritme tahunan kami,” tulis De Maizière. “Menara gereja memberi karakter terhadap lanskap kami. Negara kami adalah kristiani. Kami hidup dalam kedamaian religius. Dan yang mendasari ini adalah kedudukan absolut hukum yang lebih tinggi dari aturan agama mana pun dalam bernegara dan bermasyarakat.”
Dalam poin ketujuhnya, budaya sipil, De Maizière menulis: “Kompromi bersifat membangun untuk demokrasi dan negara kami. Bagi kami, sikap hormat dan toleran penting. Kekerasan tidak diterima baik dalam bermasyarakat atau dalam demonstrasi di mana pun. Kami tidak menyamakan gagasan kehormatan dengan kekerasan.”
Patriotisme, bahasan yang cukup sensitif di Jerman, baru muncul dalam poin kedelapan. “Ya, kami memiliki masalah dengan patriotisme kami,” tulis De Maizière yang juga menyebut masalah itu sudah lama berlalu.
Dalam poin berikutnya, De Maizière membahas Eropa. Jerman, adalah bagian dari Barat, menurut De Maizière. “NATO melindungi kebebasan kami,” tulisnya. “Sebagai masyarakat Jerman, kami juga selalu menjadi bagian dari masyarakat Eropa. Kami barangkali adalah negara Eropa paling Eropa – tidak ada negara yang memiliki lebih banyak negara tetangga ketimbang Jerman.”
Poin terakhir De Maizière adalah ingatan kolektif. “Kami memiliki ingatan kolektif tentang lokasi dan kenangan,” tulis De Maizière. Termasuk dalam ingatan kolektif adalah Gerbang Brandenburg dan kemenangan di final Piala Dunia 2014. “Ingatan yang sama, yang dikenali dengan bahasa yang sama, adalah milik kami dan membentuk kami sebagai negara.”
Merz dan De Maizière sama-sama meninggikan Jerman di atas yang lain dengan bahasan Leitkultur mereka masing-masing. Yang membedakan De Maizière dengan Merz adalah, ia dianggap secara langsung menyerang orang-orang Islam lewat opininya. “Sekali lagi, ini adalah tentang agama,” ujar pimpinan partai FDP kepada ARD.
Para penentang opini De Maizière menilai bahwa pemaksaan nilai-nilai yang disebutkan di atas hanya akan memicu konflik serta menghalangi tercapainya pemahaman dan penerimaan dalam masyarakat.
Thomas Oppermann, perwakilan SPD di Bundestag, berujar kepada Ruhr Nachrichten: “Prinsip-prinsip pemandu kami adalah konstitusi – tidak ada jika, tidak ada tapi, dan berlaku untuk semua orang.” Oppermann, yang partainya adalah bagian dari koalisi akbar, menilai opini De Maizière sebagai “langkah murahan dari kelompok konservatif untuk mengejar ketinggalan dari populis sayap kanan.”
Dukungan untuk De Maizière, sementara itu, datang dari Andreas Scheuer, sekjen CSU. Menurut Scheuer, identitas dominan akan menjadi “penunjuk arah yang jelas” untuk integrasi.
Berulang kali debat Leitkultur diangkat ke permukaan oleh pihak-pihak yang berbeda namun satu hal mengenainya tidak berubah: tidak ada konsensus mengenai apa yang dimaksud dengan Leitkultur. Tidak pula ada kesepakatan yang pasti mengenai perlu tidaknya Leitkultur. Malah, yang muncul adalah pertanyaan: apakah sekelompok dasar nilai-nilai dan tradisi Jerman yang dapat dipaksakan kepada orang-orang?
Islamis di Antara Para Pengungsi Jerman
Pada Agustus 2016, saat jumlah pengungsi di Jerman sedang banyak-banyaknya, Mathias von Hein dari Deutsche Welle mewawancarai Bassam Tibi. Hal pertama yang coba Von Hein gali adalah pandangan Tibi mengenai kebijakan tangan terbuka Angela Merkel – dengan “wir schaffen das” atau “kita bisa [mengatasi ini]” sebagai slogannya – yang saat itu telah satu tahun berjalan.
“Setahun setelah ‘wir schaffen das’ Angela Merkel memangkas liburannya; ia pergi ke Berlin setelah serangan teroris bulan Juli,” ujar Tibi. “Dan Anda mungkin berpikir, ‘Sekarang perempuan ini sudah mempelajari sesuatu; sekarang ia akan lebih masuk akal ketika berbicara. Dan apa yang ia katakan? Kita bisa.’ Saya hampir terjatuh dari kursi. Saya pikir, ‘di negara mana saya tinggal?’ Lebih banyak akal sehat di negara asal saya di Suriah ketimbang di Jerman. ... ‘Kita bisa’ bukan solusi, melainkan itu adalah pengakuan moral.”
Von Hein coba menggarisbawahi fakta bahwa Tibi sendiri adalah seorang imigran dan bertanya, bukankah ia harusnya bersyukur Jerman begitu terbuka kepada para pengungsi dari negara asalnya. Tibi menjawab: “Saya adalah rasionalis; saya bukan moralis.” Menurut pengamatan Tibi di lapangan, jumlah pengungsi yang benar-benar bersyukur atas keterbukaan Jerman memang banyak namun yang ingin memaksakan penerapan nilai-nilai Islam sama banyak.
Dari apa yang dilihat Tibi mengeluarkan pernyataan lain: tidak ada yang namanya potensi masalah dari masyarakat paralel, karena yang seperti itu sudah terjadi. “Itu bukan risiko,” kata Tibi. “Itu kenyataan!”
Tibi menambahkan: “Pengalamanku baru-baru ini menunjukkan bahwa di antara orang-orang yang datang ke sini, ada orang Suriah yang mau menaati konstitusi Jerman, yang mau berintegrasi dan yang ingin mendapat pendidikan. Namun ada juga Islamis yang ingin menerapkan nilai-nilai Islam di sini. Kita harus mulai belajar untuk membedakan mereka. Tidak ada yang namanya orang asing dan pengungsi. Ada kriminal di antara pengungsi. Dan di antara para pengungsi ada orang-orang yang terluka, yang harus kita bantu dan memang pantas mendapat bantuan.”
Tibi mengaku khawatir mengenai masa depan Jerman jika masalah-masalah yang ia sebutkan tidak terselesaikan dalam waktu dekat.
“Lingkar pertemanan saya sebagian besarnya terdiri dari imigran: Persia, Afghan, Turki. Dan kami, sebagai imigran yang sudah menetap di sini dalam waktu lama, merasa khawatir. Kami takut. Dan biar saya beri tahu apa yang kami takutkan: orang-orang baik hari ini bisa menjadi neo-Nazi esok hari.”
Penulis: Taufiq Nur Shiddiq
Editor: Zen RS