Menuju konten utama

Nasib Ojek Online Selama 4 Tahun Pemerintahan Jokowi

Ojek daring tumbuh "bersama" Joko Widodo. Selama empat tahun kepemimpinan Jokowi, telah banyak hal terjadi pada moda transportasi yang satu ini. Tidak semua selesai, termasuk regulasi yang masih kacau.

Nasib Ojek Online Selama 4 Tahun Pemerintahan Jokowi
Sopir ojek online yang tergabung dalam Aliansi Nasional Driver Online melakukanorassi dalam aksi protes pada Peraturan Menteri 108/2017 di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, Senin (29/1/2018). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Pada 2014 atau tahun ketika Joko Widodo mulai menjabat sebagai Presiden ke-7 Indonesia, masyarakat sama sekali tidak familier dengan ojek daring seperti Go-Jek atau Grab. Tapi kini, setelah empat tahun berlalu, ekspansi perusahaan-perusahaan teknologi itu tak terbendung. Armadanya—yang pengemudinya biasa disebut "mitra"—kini ada di hampir seluruh kota besar.

Tapi fakta bahwa perusahaan ini tumbuh berkali-kali lipat tidak lantas membuatnya terbebas dari masalah. Bisa dibilang pemerintah gagap merespons keberadaan mereka. Apa yang terjadi pada 2015 lalu adalah contoh konkretnya.

Ignasius Jonan yang kala itu masih menjabat Menteri Perhubungan lewat Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015 tertanggal 9 November 2015 memutuskan melarang ojek daring. Angkutan ini dinilai tidak memenuhi syarat sebagaimana yang termaktub dalam Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan.

Apa yang disebut perusahaan angkutan umum setidaknya harus memenuhi kriteria: berbadan hukum dan punya izin penyelenggaraan angkutan umum. Perusahaan seperti Go-Jek dan Grab tidak termasuk. Mereka pada dasarnya adalah perusahaan teknologi. Pun motor tidak bisa dikategorikan sebagai angkutan umum karena minimal, dalam UU yang sama, harus beroda tiga.

Tapi segera setelah regulasi baru itu ramai diberitakan, Joko Widodo meralatnya. Pada 18 Desember di Istana Bogor, Jokowi mengatakan transportasi daring tidak bisa dilarang karena dibutuhkan masyarakat.

"Aturan yang buat siapa sih? Yang membuat 'kan kita. Sepanjang itu dibutuhkan masyarakat, saya kira tidak ada masalah," ucap Jokowi, mengutip BBC.

Keberpihakan Jokowi dengan transportasi daring terutama Go-Jek terus terlihat setelahnya. Berkali-kali ia membanggakan Go-Jek sebagai aplikasi kebanggaan buatan "anak bangsa" di berbagai forum. Berkali-kali pula ia meminta anak-anak muda meniru inovasi Go-Jek. Dia bahkan datang ke peluncuran Go-Jek di Vietnam, pertengahan bulan lalu.

Nadiem Makarim, CEO Go-Jek, bahkan sempat diisukan jadi bagian dalam tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amien untuk pemilihan presiden tahun depan.

Tapi apa yang ditunjukkan Jokowi belum cukup menyelesaikan masalah. UU LLAJ tetap tidak berubah, dan oleh karena itu sepeda motor tetap tak boleh jadi transportasi umum. Kondisi ini kemudian direspons pengemudi yang menghimpun diri dalam asosiasi atau serikat. Berkali-kali mereka mendemo pemerintah. Tapi sekali lagi, tak juga ada perubahan.

Sedikit titik terang muncul setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan terkait uji materi pasal terkait sepeda motor di UU LLAJ yang dimohonkan oleh para pengemudi. Meski MK menolak mencabut pasal itu, tetapi akhirnya Kemenhub memutuskan pengaturan ojek daring ada di tangan Pemda, bukan lagi pusat.

Pemda, dalam hal ini, dianggap bisa mengatur ojek daring dengan dasar untuk menjaga ketertiban dan keamanan, bukan dalam konteks transportasi. Pada akhirnya, ada pemda yang melarang ojek daring sama sekali, tapi ada pula yang memperbolehkan dengan syarat dan ketentuan tertentu.

Direktur Angkutan dan Multi Moda Kementerian Perhubungan, Ahmad Yani, mengatakan dalam praktiknya regulasi yang dibuat pemda memang berbeda-beda.

"Ada beberapa pemda yang melaporkan ketentuan apa saja yang dibuat dan dijalankan. Biasanya pengaturan mengenai di mana boleh berhenti dan tidak boleh berhenti, di mana mengambil penumpang. Ada juga pembatasan jumlah operasi seperti di DKI," ujar Yani kepada reporter Tirto, Minggu (21/10/2018).

Tapi ini juga belum tentu menyelesaikan masalah. Seperti yang dikatakan Ketua Umum Perkumpulan Pengemudi Transportasi dan Jasa Daring Indonesia (PPTJDI), Igun Wicaksono, yang terjadi kemudian adalah banyak pemda yang malah melempar kembali tanggung jawab pengelolaan transportasi daring ke pusat.

"Pemda melempar kembali ke pemerintah pusat mengingat tidak ada payung hukumnya," kata Igun kepada reporter Tirto.

Masalah Hukuman dan Minimnya Perlindungan

Selain soal regulasi, catatan lain adalah mengenai kesejahteraan pengemudi itu sendiri. Para pengendara meminta pemerintah menetapkan standar minimum tarif untuk tiap kilometer yang dilalui ketika mengangkut penumpang (dan barang). Gagasannya mirip seperti upah minimum untuk para buruh.

Namun pemerintah mengaku tidak bisa melakukan itu. Dalam hal ini mereka cuma bertindak sebagai fasilitator atau mediator. Kondisi ini membuat pengemudi mengalihkan protes ke penyedia aplikasi.

Go-jek dan Grab pada akhirnya menyesuaikan tarif meski tidak sesuai dengan yang diinginkan pengendara—Rp4.000 per kilometer. Agustus lalu Go-jek memutuskan tarif per kilometer di luar jam sibuk berkisar antara Rp2.200 sampai Rp 3.300, setelah sebelumnya cuma Rp1.600. Sementara Grab, pada Mei lalu mematok tarif Rp2.300 per kilometer, dari yang sebelumnya Rp1.600.

Tapi itu tetap tidak cukup, kata Igun, "mitra" Grab selama tiga tahun terakhir. Igun mengatakan pendapatan pengemudi terus menurun karena persaingan usaha yang semakin ketat. Biang keladinya adalah karena penyedia aplikasi terus-terusan membuka lowongan bagi "mitra" baru. Katanya, untuk kerja 8 hingga 10 jam per hari, penghasilan mereka rata-rata cuma Rp2 juta sampai Rp3 juta atau ada di bawah Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp3,6 juta.

Belum lagi soal hukuman yang dijatuhkan oleh perusahaan kepada para "mitra"-nya, yang kadang tanpa konfirmasi, semisal soal ketidakcocokan antara nomor polisi kendaraan pada aplikasi dan yang tertempel.

"Aplikator tidak mengkonfirmasi dulu kenapa harus ganti motor. Rata-rata ojek online tidak bisa memperbaiki motornya yang rusak karena tidak memiliki biaya untuk perbaikan akibat dari tarif yang begitu murah," katanya.

Transportasi Umum Harus Tetap Prioritas

Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno mengatakan terlepas dari polemik ojek daring ini, transportasi publik harus tetap jadi prioritas pemerintah. Menurut Djoko masifnya transportasi daring, dan dengan demikian masalah-masalah yang mengikutinya, adalah karena transportasi publik belum memadai.

"Mau tidak mau seharusnya pemerintah memperbaiki transportasi umum sebagai solusinya, karena itu janji Jokowi saat itu (ketika dilantik) untuk memperbaiki transportasi umum," katanya kepada reporter Tirto.

Menurutnya, jika transportasi publik memadai, maka akan dengan sendirinya keberadaan transportasi daring akan tidak relevan.

Baca juga artikel terkait PEMERINTAHAN JOKOWI-JK atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Rio Apinino