Menuju konten utama

Gojek dan Revolusi Transportasi Umum

Larangan transportasi online langsung memicu aksi protes. Pemerintah pun buru-buru mencabut aturannya. Transportasi online sudah menjadi sebuah moda alternatif yang didamba masyarakat. Selain murah, faktor lain yang membuat masyarakat kepincut transportasi online adalah kemudahan aksesnya. Cukup dengan mengunduh aplikasi di telepon pintar, masyarakat bisa memesan ojek online tersebut.

Gojek dan Revolusi Transportasi Umum
Presiden Joko Widodo (tengah) berdialog dengan pengendara Gojek saat pertemuan makan siang bersama pengemudi kendaraan umum di Istana Negara, Jakarta, Selasa (2/9). ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma.

tirto.id - Mia bersungut-sungut setelah membaca aturan tentang larangan transportasi online. Ia menumpahkan kekesalannya di media sosial. Mia tidak sendiri. Para pengguna transportasi online merasa kesal dengan keluarnya aturan tersebut dan menumpahkannya di media sosial.

Tagar #SaveGojek sempat menjadi trending topic di Twitter pada 18 Desember 2015. Sebagian besar berisi cuitan tentang keberatan larangan ojek online. Netizen resah jika layanan ojek online dilarang. Mereka sudah sangat nyaman dengan kehadiran ojek online.

Bisnis transportasi berbasis aplikasi online memang tengah naik daun. Masyarakat yang sudah jengah dengan transportasi konvensional merasa senang dan terbantu dengan transportasi berbasis online itu. Pilihan mereka untuk menggunakan transportasi semakin beragam. Bisnis tidak lagi dimonopoli oleh metromini, kopaja, angkot, ataupun bus-bus yang sudah tidak layak jalan.

Kehadiran transportasi berbasis online juga menyentil pemerintah yang seringkali abai untuk menyediakan transportasi layak. Alih-alih memperbaiki sistem transportasi, pemerintah justru merespons kehadiran transportasi online dengan mengeluarkan larangan. Bukan mendapat simpati, larangan itu justru mengeluarkan protes keras dari masyarakat.

Transportasi Tidak Layak

Minggu, 6 Desember 2016, peristiwa mengerikan terjadi di jantung ibukota. Sebuah Metromini tertabrak kereta commuter line di perlintasan dekat Stasiun Angke, Jakarta Utara. Sebanyak 13 orang tewas akibat aksi ugal-ugalan sopir Metromini yang nekat menerobos perlintasan meski sudah ada peringatan akan datangnya kereta.

Peristiwa itu kembali memunculkan perdebatan tentang kondisi Metromini yang sudah tidak layak. Ketua DPD Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan menyebut 90 persen dari total 1.600 unit Metromini yang beroperasi di Jakarta tidak layak beroperasi. Tak hanya itu, sebanyak 90 persen dari Metromini yang beroperasi ternyata sudah berusia lebih dari 20 tahun. Padahal, sesuai Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014, usia maksimal untuk bus besar, sedang, dan kecil sekitar 10 tahun.

Keruwetan Metromini tidak sampai di situ. Shafruhan menyebut banyak Metromini yang tidak memiliki surat izin trayek. Belum lagi masalah kanibalisme spare part yang menjadikan Metromini sebagai salah satu moda transportasi paling berbahaya. Belum lagi tingkah pengemudinya yang lebih sering ugal-ugalan ketimbang tertib. Tapi toh Metromini tetap dengan tenang melenggang di jalanan ibukota. Tilang dan razia yang dilakukan aparat tak pernah membuat mereka jera.

Metromini tidak sendirian menjadi raja jalanan. Ada pula Kopaja yang sering ugal-ugalan yang menyebabkan hilangnya nyawa. Pada 16 September 2015, sebuah Kopaja yang sedang ugal-ugalan menabrak pengemudi Gojek. Dua orang meregang nyawa yakni pengemudi Gojek dan istri yang sedang diboncengnya.

Satu orang luka berat yakni anak dari pengemudi Gojek tersebut yang baru berusia 8 tahun. Sopir Kopaja bernama Budi mengaku melanggar aturan dengan masuk jalur busway. Budi yang merupakan sopir tembak juga mengaku bahwa remnya tidak berfungsi dengan baik karena terganjal oleh botol.

Angkutan umum atau angkot yang sering diandalkan masyarakat pun seringkali rawan kriminalitas. Pada 20 Juni 2015, seorang karyawati menjadi korban pemerkosaan sopir angkot D-01 jurusan Ciputan-Kebayoran Baru. Korban tidak menyangka sopir angkot yang ditumpanginya justru melakukan aksi bejatnya di kawasan TB Simatupang, Jakarta.

Kasubdit Pembinaan dan Penegakan Hukum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto mengungkapkan, sepanjang Januari hingga November 2015, terjadi 253 kecelakaan angkutan umum di Jakarta. Kecelakaan tersebut membawa korban hingga 292 orang dengan rincian 14 orang meninggal, 83 luka berat, dan 195 luka ringan.

Untuk jumlah angkutan umum yang mengalami kecelakaan mencapai 5.833 kendaraan, terdiri dari Kopaja, Mikrolet, Metromini, bus, taksi, bajaj, bemo, pick up, minibus, dll. Metromini mencatat jumlah kecelakaan terbanyak hingga 62 armada, disusul Kopaja sebanyak 41 armada.

Transportasi umum berubah menjadi sebuah moda yang mengerikan. Namun, masyarakat tidak memiliki banyak pilihan. Hingga hadirlah transportasi online.

Terganjal Regulasi

Transportasi online di Indonesia mulai booming pada tahun 2015. Namun, jika dilihat lebih jauh, bisnis transportasi online sebenarnya sudah dimulai beberapa tahun ke belakang. Gojek misalnya, sejatinya sudah memulai bisnis sejak tahun 2010. Saat memulai bisnisnya, Gojek melayani pesanan via telepon dan SMS.

Ketika bisnis transportasi online mulai marak, pemerintah merasa resah karena tidak adanya payung hukum yang jelas. Lahirlah Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015 yang diteken Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pada tanggal 9 November 2015. Melalui surat tersebut, Menhub Jonan melarang beroperasinya ojek maupun taksi berbasis aplikasi online. Argumentasi Jonan bersandar pada tidak tercantumnya ojek sebagai jenis transportasi umum yang diatur dalam undang-undang.

Aturan itu mengacu pada Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaraan Umum, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 69 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang.

Niat Menhub Jonan menegakkan aturan ternyata mendapat protes dari masyarakat. Setelah media sosial bergejolak, Menhub memutuskan untuk mencabut Surat Pemberitahuan tersebut. Apalagi Presiden Joko Widodo turun tangan dan menyatakan agar transportasi online tidak dilarang.

“Saya segera panggil Menhub. Ojek dibutuhkan rakyat. Jangan karena aturan rakyat jadi susah. Harusnya ditata – Jkw,” tulis presiden di akun twitternya @jokowi.

Keberadaan transportasi online memang tidak ada payung hukumnya. Organda DKI Jaya mempertanyakan keabsahan transportasi online tersebut sebagai transportasi umum yang tak diatur dalam undang-undang.

“Kalau ilegal, saya enggak mendukung. Jelas ada ketentuan yang dilanggar. Kalau yang dioperasikan kendaraan ilegal, tidak dianggap kendaraan umum, ini enggak benar,” keluh Ketua DPD Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan seperti dikutip dari Antara.

Digemari Publik

Tidak ada payung hukum tidak berarti transportasi online tak laku. Meski sempat terganjal aturan, tetapi kenyataannya transportasi online semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Salah satu penyebab larisnya penggunaan transportasi online adalah murahnya tarif yang ditawarkan.

Di awal kehadirannya, para penyedia transportasi online memberikan tarif promo yang menggiurkan. Gojek misalnya, memberi tarif promo Rp 15.000 ke manapun tujuan pelanggan dengan jarak maksimal 25 km. Grab Bike memberi tarif yang serupa, tetapi lebih murah yakni Rp 12.000 dengan batas maksimal jarak tempuh juga 25 km.

Tarif yang ditawarkan ojek online itu tentu saja sangat menggiurkan jika dibandingkan ojek pangkalan atau ojek konvensional yang rata-rata bisa mematok hingga Rp 20.000 untuk jarak kurang dari 10 kilometer. Belum lagi kenyamanan yang ditawarkan ojek online dengan memberikan helm, masker penutup hidung ataupun rambut.

Selain ojek online, transportasi online lain yang juga menyedot perhatian adalah taksi online. Nama-nama besar yang kini menguasai taksi online antara lain Uber, Grab Taxi, Easy Taxi. Tarif yang dikenakan taksi online ini juga lebih murah dibandingkan taksi konvensional. Uber misalnya, menerapkan tarif buka pintu Rp7.000, Rp500 tiap menit, dan Rp2.850 per kilometer. Tarif minimal untuk layanan Uber sebesar Rp30.000. Bandingkan dengan tarif Blue Bird misalnya, yang menetapkan tarif buka pintu Rp7.000 dan Rp3.600 per kilometer. Tarif minimum Blue Bird Rp40.000.

Selain murah, faktor lain yang membuat masyarakat kepincut transportasi online adalah kemudahan aksesnya. Cukup dengan mengunduh aplikasi di telepon pintar, masyarakat bisa memesan ojek online tersebut. Tidak repot, praktis. Kemudahan inilah yang selalu disanjung-sanjungkan oleh masyarakat, terutama kelas menengah yang jumlahnya semakin besar di Indonesia.

Dengan segala keunggulan tersebut, maka tidak heran jika pengguna transportasi online semakin banyak. Memang belum ada data resmi yang merilis jumlah pengguna transportasi online di Indonesia. Gojek misalnya, meski tak membuka data jumlah pengguna sebenarnya, Chief Executive Officer (CEO) Gojek, Nadiem Makarim mengaku sejak peluncuran aplikasi mobile Gojek pada Januari 2015, order yang diterima perusahaannya telah melonjak sepuluh kali lipat dari biasanya.

Laris manisnya ojek online juga dapat dilihat dari unduhan aplikasi di telepon pintar. Gojek masih mendominasi bisnis transportasi online. Aplikasi Gojek di android sudah diunduh oleh 5 juta pengguna hingga 21 Januari 2016 . Di bawah Gojek ada Grabbike yang aplikasinya baru diunduh oleh 10.000 pengguna.

Selain dari pengguna, populernya transportasi online juga bisa dilihat dari jumlah pengemudi yang bergabung di masing-masing perusahaan.

Jumlah pengemudi yang bergabung dengan Gojek menurut data memiliki 12.000 pengemudi. Namun, menurut pengakuan Nadiem, perusahaannya kini telah memiliki 200.000 pengemudi. Gojek untuk sementara menghentikan rekrutmen pengemudi karena sudah lebih dari cukup. Pesaing terdekatnya, Grab Bike memiliki 3.000 pengemudi. Blue-Jek yang hadir belakangan memiliki 1.000 pengemudi. Sementara LadyJek yang memiliki segmen pasar khusus untuk wanita memiliki 800 pengemudi.

Antusiasme masyarakat yang besar ditangkap oleh Gojek. Perusahaan dengan tagline “An Ojek for Every Need” ini memperluas layanannya ke Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Surabaya. Layanannya pun semakin beragam tak sekadar mengantar penumpang, tetapi juga antar pesan makanan melalui Go-Food hingga layanan pijat profesional melalui Go-Massage.

Mengancam Transportasi Konvensional

Digemari masyarakat, bukan berarti jalan ojek online mudah. Di awal kehadirannya, muncul konflik-konflik antara ojek online dengan ojek pangkalan. Bentrokan pengemudi Gojek dan ojek pangkalan setiap hari menghiasai media massa. Nyatanya, ojek online tidak goyah, bahkan mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat. Penggunanya semakin besar setiap hari.

Sejumlah taksi di parkir di depan kampus ITB bersamaan dengan seminar bertajuk Fenomena Moda Transportasi Baru Kota Bandung di Era Digital, Bandung, Jawa Barat, Senin (24/8). Aksi parkir taksi tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap konroversi keberadaan Go-Jek dan Taksi Uber. ANTARA FOTO/Agus Bebeng[/caption]

Maraknya transportasi berbasis aplikasi online secara perlahan mulai mengancam eksistensi transportasi umum. Shafruhan mencatat maraknya transportasi berbasis aplikasi setahun belakangan mengakibatkan turunnya jumlah penumpang angkutan umum rata-rata sebanyak 33 persen.

Diakui Shafruhan, menurunnya pengguna transportasi umum di Jakarta karena masyarakat mulai beralih menggunakan transportasi berbasis aplikasi yang lebih simpel dan menawarkan solusi melewati kemacetan di kota.

Menurut data Organda DKI Jakarta, pada 2015, penurunan penumpang terjadi di hampir seluruh jenis moda transportasi. Penumpang bajaj turun 40 persen, taksi turun 30 persen, dan bus turun 30 persen. Bila dirata-rata, penurunan jumlah penumpang angkutan umum mencapai 33 hingga 34 persen.

Ini baru tahun pertama booming dari transportasi online. Ke depan, bukan tidak mungkin penurunannya semakin besar. Paparan di atas menunjukkan transportasi online dalam beberapa tahun ke depan sangat mungkin berkembang di kota-kota besar terutama di kota-kota yang memiliki masalah dengan kemacetan. Secara tidak langsung, tumbuhnya transportasi berbasis aplikasi ini juga akan mereduksi pengguna transportasi umum. Apalagi jika persoalan regulasi sudah mendapat kepastian yang jelas dari pemerintah.

“Change has its enemies,” kata mendiang Robert Kennedy.

Perubahan memang akan menimbulkan kegundahan, terutama bagi mereka yang selama ini sudah merasa sangat nyaman. Perubahan adalah sebuah ancaman. Demikian pula kehadiran transportasi online yang dianggap sebagai sebuah ancaman bagi beberapa gelintir orang. Namun, perubahan sebenarnya bisa memunculkan sebuah peluang. Peluang untuk perbaikan, peluang untuk menata sistem transportasi yang lebih baik, peluang untuk melayani masyarakat lebih baik. Inilah yang menjadi pekerjaan besar pemerintah dan para pemangku kepentingan industri transportasi.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya

tirto.id - Teknologi
Reporter: Reza Yunanto