tirto.id - Meski Asian Games 2018 tinggal 100 hari, sejumlah infrastruktur di Jakabaring, Palembang, masih ada yang belum rampung. Salah satunya, proyek light rail transit (LRT) alias kereta cepat ringan.
Jalur LRT sepanjang 23,4 kilometer memang sudah kokoh dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II sampai Jakabaring Sport City (JSC). Tapi penampilannya masih mentah. Butuh polesan sana-sini. Sampai pekan terakhir bulan lalu, lintasan LRT yang dipagari bahkan belum menggenapi jalur yang terpacak di atas Jalan Gubernur H. Asnawi Mangku Alam, satu-satunya jalan keluar dari bandara dengan panjang hanya sekitar 2,7 kilometer.
Taman buatan sebagai pembatas ruas jalan, yang ditanam di bawah jalur LRT, masih di jalanan sekitar bandara. Lampu-lampu jalan, yang dipasang setiap jarak 10-an meter di bawah jalur LRT, juga belum sampai keluar Jl. Gubernur H. Asnawi Mangku Alam. Bahkan, satu-satunya stasiun yang baru dipasangi tangga cuma di dekat JSC.
Hal ini tak mengherankan karena dari total 13 stasiun yang ditargetkan, hanya lima yang baru selesai sampai April kemarin. Ini bikin kereta LRT hanya beroperasi untuk satu trayek: dari bandara ke Jakarta Sport City dan sebaliknya.
Bukan cuma pembangunan LRT yang terlambat. Uji coba LRT, yang dijadwalkan akhir April lalu, batal. AKBP Ipung Purnomo, Deputi Keamanan dan Transportasi Inasgoc, mengatakan awal April lalu bahwa uji coba tersebut paling lambat dilaksanakan 30 April.
“Palembang dapat dua set rangkaian (kereta) dari Madiun,” katanya. “Itu satu rangkaian, ada satu loko, ada tiga gerbong. Satu gerbong itu muat 200 orang. Jadi satu rangkaian sekali narik bisa 600 orang.”
Saat saya mengonfirmasi ke Mashudi, manajer proyek Waskita Karya Pembangunan LRT Sumsel, ia menjawab uji coba itu bukan batal, hanya diundur.
Padahal gerbong yang dibuat PT Industri Kereta Api (INKA) di Madiun ini sudah sampai di Palembang pada 11 April lalu, diberangkatkan dari Tanjung Priok, Jakarta, ke pelabuhan Boom Baru, Palembang.
Lepas dua hari dari jadwal uji coba yang batal, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin malah berkata ada 8 trainset (gerbong) yang disiapkan di Palembang dan sedang diuji coba. Ia bahkan tetap optimis Palembang akan jadi kota pertama yang melihat LRT aktif beroperasi.
“Ini merupakan light rail transit pertama di Indonesia,” klaimnya dalam acara diskusi persiapan Asian Games di Jakarta, 2 Mei kemarin.
Sementara Mashudi berkata “info terakhir, kereta siap tanggal 8 Mei” saat saya bertanya kapan uji coba itu akan digelar.
LRT Susah Bikin Untung
Nirwono Joga, akademisi sekaligus praktisi tata kota dan tata ruang, tak terkejut mendengar keterlambatan tersebut. Ia lebih terkejut ketika tahu LRT yang dipilih sebagai moda transportasi untuk dibangun di Palembang.
“Kalau bicara ekonomi, itu rugi. Setelah Asian Games, siapa yang mau pakai?” katanya saat saya menemuinya di daerah Cinere, Depok.
Menurut Joga, yang juga mengamati pola perkembangan kota-kota olahraga dunia, dalam sisi transportasi kota, LRT adalah jenis transportasi yang paling dihindari. Muatannya terbatas, dan secara teknis lebih mahal serta boros ketimbang MRT. Belum lagi biaya perawatan yang mahal.
“Jadi, pilihan LRT itu biasanya pilihan terakhir kalau bicara untung-rugi,” kata Joga.
LRT dipilih Palembang untuk memenuhi syarat Dewan Olimpiade Asia (OCA) menyediakan transportasi cepat. Sebab, syarat sebagai tuan rumah ajang olahraga internasional, Palembang tak boleh bikin atlet terlambat bertanding atau berlatih. Biaya pembangunannya ditolong APBN, senilai sekitar Rp7 triliun.
Namun, modal itu dianggap Joga terlalu besar. Sementara Palembang tidak punya rencana transportasi masal dalam regulasi khusus tentang LRT. Bahkan tak ditemukan rencana khusus yang menyebut moda transportasi tersebut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sumsel 2013-2018, dan Rencana Jangka Panjang Pembangunan Daerah (RPJPD) Sumsel tahun 2005-2025.
Padahal, menurut Joga, hal macam itu penting terkait citra "kota olahraga dunia" yang digadang-gadang Palembang lewat JSC di bawah pemerintahan Gubernur Alex Noerdin. “Karena memang harus ada di Perda. Sehingga siapa pun pejabatnya mesti mengadakan anggaran."
Periode Gubernur Alex Noerdin selesai tahun ini. “Siapa pun pejabatnya harus mengarah dalam rencana pembangunan. Bahkan DPRD tetap harus mengikuti. Mengevaluasi boleh, tapi membatalkan Perda tentang RPJPD itu tidak boleh,” tambah Joga.
Pengaruh Buruk Pembangunan yang Berpusat
Dalam diskusi tentang kesiapan Asian Games, Gubernur Alex Noerdin menyebut bangga pembangunan JSC yang terintegrasi di satu tempat.
“Luasnya 360 hektare, dengan 20 venue berstandar internasional dan terakreditasi, terletak di tengah kota,” ungkapnya.
Menurut Joga, pendapat Noerdin bisa dikritisi. Ada alasan mengapa pengembangan kota-kota olahraga semestinya ak dilakukan terpusat. Ia mencontohkan Barcelona di Spanyol. Kota yang memang terkenal dengan atmosfer sepakbolanya itu pernah jadi tuan rumah Olimpiade 1992. Pola pembangunan kota olahraga tak dipusatkan di pusat kota belaka. Fasilitas olahraga disebar di beberapa daerah sekitar, yang akhirnya membawa dampak segar bagi pertumbuhan ekonomi Barcelona.
Tak semua kota tuan rumah ajang olahraga akbar paham pola pengembangan konsep kota olahraga. Montreal di Kanada, misalnya. Pada Olimpiade Montreal 1976, anggaran Kanada bengkak dari US$250 juta menjadi US$1,4 miliar. Dalam catatan The Guardian, sejumlah skandal korupsi menghiasi pembangunan infrastrukturnya. Akhirnya, kebutuhan pendanaan ditutup dari utang yang jatuh tempo dalam tiga puluh tahun. Padahal, dampak helat raksasa itu tak terlalu besar pada perekonomian Kanada.
Begitu juga Jepang ketika jadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 1998 di Nagano. Angka utangnya sampai sekitar US$11 miliar sehingga satu keluarga di Jepang harus berutang US$30 ribu.
Cerita serupa di Yunani. Pada Olimpiade Athena 2004, Yunani sebagai tuan rumah sedang mengalami krisis keuangan. Mereka sampai harus menjual perangko dan mengutip sumbangan rakyat untuk bisa merenovasi Stadion Panatheaniakon untuk pembukaan dan penutupan olimpiade.
Hingga sekarang, biaya penyelenggaraan Asian Games dipastikan Wakil Presiden Jusuf Kalla aman. “Semua anggaran terpenuhi," ujar Kalla, Ketua Pengarah Asian Games 2018, di Gedung INASGOC Jakarta, 19 Februari 2018.
Namun, secara terpisah, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro pada akhir April lalu mengingatkan risiko utang Indonesia usai perhelatan Asian Games 2018. Biaya pembangunan infrastruktur yang membengkak harus diimbangi pemanfaatan yang optimal. Sehingga dampak ekonomi dari pembangunan ini terasa panjang, tak cuma saat hari-H.
Menurut Joga, hal itu juga jadi tantangan buat Bappenas. Sebagai lembaga perencanaan nasional, Bappenas harus mulai membantu JSC mengembangkan konsep kota olahraga yang baik. Sebab, secara tata kota, pembangunan infrastruktur yang terpusat bukan jawaban mengejar untung.
“Untung yang dibicarakan cuma di hilir. Untung yang lebih besar lagi justru ketika sejak hulu dibangun,” tambah Joga.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam