tirto.id - “Saya hanya memetik tiga butir buah kakao.”
Kalimat itu diungkapkan seorang nenek bernama Rasminah atau Minah di depan Pengadilan Negeri Purwokerto. Ia meminta Hakim PN Purwokerto Muslich Bambang Luqmono untuk tidak menghukumnya. “Inyong [saya] tidak mau dihukum, Pak Hakim.”
Kendati demikian, Majelis Hakim tetap menjatuhkan vonis kepada Minah karena mencuri tiga butir buah kakao. “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama satu bulan 15 hari dengan ketentuan tidak usah terdakwa jalani kecuali jika terdakwa dijatuhi pidana lain selama tiga bulan masa percobaan,” kata Muslich, seperti dikutip Antara, pada November 2009 silam.
Kisah sedih Minah ini berawal dari pencurian tiga butir buah kakao seberat tiga kilogram di kebun PT RSA 4 yang dituduhkan kepadanya.
Saat itu, Minah berkeinginan menambah tanaman kakao miliknya yang berjumlah 200 batang sehingga dia memetik tiga butir kakao di kebun PT RSA dan meletakkannya di atas tanah. Akan tetapi, apa yang dilakukan Minah diketahui mandor PT RSA 4, Tarno alias Nono.
Kakao yang dipetik Minah kala itu sebenarnya langsung dikembalikan ke mandor perusahaan. Namun, PT RSA tetap melanjutkan proses hukum atas perbuatan Minah hingga vonis diberikan terhadap nenek berusia lebih dari 50 tahun itu.
Minah memang tak diwajibkan mendekam di penjara. Ia divonis hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Namun, kejadian yang dialami Minah bukan tidak mungkin dialami orang lain di kemudian hari.
Hal tersebut dikarenakan selama ini belum ada rumusan prinsip restorative justice dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini. Prinsip restorative justice menekankan pada pemenuhan keadilan terhadap sebuah perbuatan pidana. Pendekatan itu digunakan untuk menemukan solusi terbaik antara kedua pihak yang berperkara.
“Gampangnya restorative justice itu adalah pendekatan win-win solution untuk pelaku dan korban dalam ranah pidana,” kata Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Liza Fatihah kepada Tirto, Kamis (21/12/2017).
Upaya memasukkan unsur hukum restoratif sudah dimulai kala pemerintah dan Komisi III DPR RI membahas Rancangan Undang-Undang KUHP. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly berkata, pendekatan hukum restoratif akan mengedepankan denda dan kerja sosial dibanding hukuman penjara.
“Kalau ada nenek-nenek, jangan lah itu dikasih di tahanan. Kasih lah kerja sosial,” kata Yasonna di Kemenkumham, Jakarta, pada Rabu (20/12/2017).
Dalam naskah rancangan KUHP, hasil pembahasan panitia kerja R-KUHP DPR RI (24 Februari 2017) aturan restoratif ini diatur dalam Buku Kesatu Aturan Umum, Bab III yang mengatur soal pemidanaan, pidana, dan tindakan. Soal narapidana tidak harus dipenjara diatur dalam Pasal 66 ayat (1) poin e.
Akan tetapi, meski dipastikan menyerap unsur-unsur hukum restoratif, belum ada peraturan lebih detail mengenai penerapan hukuman tersebut dalam RUU KUHP. Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Trimedya Panjaitan berkata, pembahasan detail hukum restoratif masih akan dilakukan setelah masa reses.
Politikus PDI Perjuangan ini berkata, Komisi III akan melakukan sinkronisasi aturan terlebih dahulu sebelum nantinya mengatur teknis hukuman restoratif di KUHP yang baru. Pembahasan akan dimulai sejak 8 Januari 2018.
Kata Trimedya, DPR juga akan mengatur ihwal bentuk-bentuk pidana apa saja yang dapat dikenakan hukuman restoratif.
“Ya, diatur, dong. Pertama, misal perkara korupsi. Masa korupsi, misalnya, dulu pernah di DPRD di Aceh, korupsi Rp2,5 juta pantas tidak kita lakukan proses hukum ditahan? Kaya gitu-gitu, kan, penting. Beda misalnya kalau orang korupsi Rp2,5 miliar, atau Rp100 miliar. Harus ada kualifikasinya,” kata Trimedya.
Pendapat Trimedya mengenai penerapan hukuman restoratif di pidana korupsi bertolak belakang dengan argumen anggota Komisi III dari Fraksi Golkar, Adies Kadir. Menurut dia, restoratif tak bisa diterapkan dalam pidana khusus, seperti narkoba, terorisme, atau korupsi.
“Misalnya penipuan, pencurian dan persekusi, kalau ada perdamaian hendaknya diselesaikan dengan hukuman sosial atau sejenisnya,” kata Adies.
Kapasitas Berlebihan Penjara
Menurut Adies, ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan dimasukkannya unsur hukum restoratif pada RUU KUHP. Salah satunya, faktor membludaknya jumlah tahanan di lembaga pemasyarakatan. “Kalau ada hukuman lain yang disepakati antara para pihak yang bersengketa, kan dapat mengurangi kepadatan LP,” kata dia.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, saat ini ada 512 lapas, rutan, atau lembaga pembinaan khusus. Ratusan tempat tahanan itu tersebar di 33 Provinsi.
Sebanyak 71,761 tahanan dan 161,966 narapidana mendekam di ratusan lapas/rutan/lembaga pembinaan itu. Jika ditotal, jumlahnya ada sekitar 233,727 tahanan dan napi di balik kurungan.
Ironisnya, jumlah tahanan dan napi tersebut melebihi kapasitas lapas. Data Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham memperlihatkan, 29 dari 33 Provinsi memiliki jumlah tahanan yang tak sebanding dengan kapasitas hotel prodeo.
Namun, anggapan bahwa jumlah tahanan dan napi dapat berkurangnya akibat penerapan prinsip hukum restoratif mendapat kritikan dari peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu. Menurut dia, masalah membludaknya hunian rutan tak bisa hanya diatasi oleh prinsip hukum restoratif.
“Kalau RKUHP saya rasa tidak akan menyelesaikan masalah overcrowded lapas rutan, karena RJ (restorative justice) nya juga gak jelas,” kata Erasmus.
Kapasitas rutan dianggapnya tetap akan melebihi kapasitas, karena banyaknya pasal karet di RUU KUHP. Ia juga mengingatkan, banyak masa hukuman penjara terhadap perbuatan pidana yang ditambah pada rancangan beleid itu.
“Ancaman pidana tinggi-tinggi, minimum khusus nambah,” kata dia.
Urgensi Hukum Restoratif
Tanpa melihat latar belakang dimasukkannya unsur hukum restoratif dalam RUU KUHP, Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Liza Fatihah memandang langkah Pemerintah dan DPR sudah tepat. Menurut Liza, prinsip hukum restoratif dapat mengubah pandangan orang mengenai peradilan. Selama ini, ia menganggap peradilan kerap dianggap sebagai sarana menghukum orang seberat-beratnya.
“Lihat saja ancaman pidana yang makin ke sini makin berat, dan denda yang makin ke sini makin besar nominalnya. Karena tujuan peradilan termasuk peradilan pidana kan memberi keadilan dan kemanfaatan. Bukan soal menghukum orang saja,” kata Liza.
Pendapat Liza ini senada dengan Yasonna. Menteri dari PDIP itu mengklaim, hukuman pidana adalah hukuman penyembuh, sementara ia ingin memberikan pandangan bahwa penjara bukan satu-satunya langkah yang harus ditempuh untuk menghukum seseorang.
Kemenkumham, kata dia, ingin mencontoh hukum Belanda yang tidak perlu memenjarakan untuk mempidana seseorang. "Makanya konsep restorative justice yang di KUHP harus kita wujudkan," kata Yasonna.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz