Menuju konten utama

Nama dan Peran Nurhadi Mulai Menyusut dalam Dakwaan Eddy Sindoro

Nurhadi hanya disebut sekali dalam dakwaan Eddy Sindoro, padahal dalam dakwaan Edy Nasution, Nurhadi disebut delapan kali.

Nama dan Peran Nurhadi Mulai Menyusut dalam Dakwaan Eddy Sindoro
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman (kiri) berjalan memasuki Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Selasa (6/11/2018). ANTARA FOTO/Reno Esnir/aww.

tirto.id - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menggelar sidang perdana kasus dugaan suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dengan terdakwa mantan Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro, Kamis (27/12/2018).

Dalam sidang itu, Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan bagaimana Eddy dua kali memberi suap kepada Edy Nasution, panitera PN Jakpus. Uang itu diberikan Eddy untuk mengurus perkara yang melibatkan dua anak perusahaan Lippo Group, yakni PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dan PT Across Asia Limited (PT AAL).

"[Eddy Sindoro] Memberi uang sejumlah Rp150 juta dan 50 ribu dolar AS kepada Edy Nasution selaku panitera pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Jaksa Abdul Basir saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis kemarin.

Nama mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi juga disebut dalam dakwaan tersebut. Namun, peran Nurhadi yang dibacakan dalam dakwaan tidak terlalu menonjol.

Nurhadi hanya disebut pernah menelepon Edy Nasution dan meminta segera mengirimkan berkas Peninjauan Kembali (PK) PT AAL ke Mahkamah Agung. Saat itu, Nurhadi masih aktif sebagai Sekretaris MA.

"Edy Nasution dihubungi oleh Nurhadi selaku Sekretaris MA waktu itu meminta agar berkas perkara PT AAL segera dikirim ke MA," kata jaksa.

Saat itu, PT AAL tengah mengurus PK setelah MA menyatakan perusahaan itu pailit, padahal batas waktu pengajuan PK sudah melewati tenggat yang diatur, yakni 180 hari. Namun melalui Edy Nasution, PT AAL dapat mengajukan PK. Untuk 'jasanya' itu, Edy Nasution mendapat 50 ribu dolar AS.

Nama Nurhadi yang hanya disebut satu kali dalam dakwaan itu menimbulkan pertanyaan. Ini terasa janggal lantaran dalam surat dakwaan Edy Nasution, Nurhadi disebut delapan kali.

Pada 29 Oktober 2018, misalnya, KPK memanggil Nurhadi dan istrinya Tin Zuraida untuk diperiksa sebagai saksi dalam perkara ini. Namun, keduanya tidak hadir dengan dalih surat panggilan dari KPK belum mereka terima.

Kemudian, KPK memanggil ulang Nurhadi pada 6 November 2018. Nurhadi memenuhi panggilan ini, tapi istrinya, Tin Zuraida tidak pernah dipanggil lagi setelah mangkir dari panggilan kedua pada 2 November 2018.

KPK juga pernah mengagendakan pemeriksaan terhadap empat ajudan Nurhadi yang berstatus polisi. Setidaknya dua kali KPK memanggil para ajudan Nurhadi tersebut, yakni pada 14 November 2018 dan 3 Desember 2018. Namun keempat polisi itu selalu mangkir.

Uang dalam Kloset

Dugaan keterlibatan Nurhadi dalam perkara suap Eddy Sindoro juga pernah menguat dalam proses penyidikan dan persidangan terhadap Edy Nasution, panitera PN Jakarta Pusat pada 2016.

Pada 20 April 2016, KPK menggeledah rumah Nurhadi di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam penggeledahan itu, KPK menyita uang senilai Rp 1,7 miliar dalam berbagai pecahan mata uang dan sejumlah dokumen.

Selain itu, terungkap pula ketika penyidik baru datang, terjadi kepanikan di rumah Nurhadi. Penyidik menemukan sejumlah uang dan sobekan dokumen di dalam kloset kamar mandi Nurhadi.

Tak hanya rumah, KPK juga menggeledah ruang kerja Nurhadi di Mahkamah Agung, dan menyita sejumlah uang serta dokumen. Selepas penggeledahan, KPK mencegah Nurhadi untuk berpergian ke luar negeri selama 6 bulan. Pencegahan berlaku sejak 21 April 2016.

Selain itu, di dalam dakwaan terhadap Edy Nasution disebutkan Eddy Sindoro akan berkoordinasi dengan Nurhadi dalam pengurusan perkara yang melibatkan Lippo Group di Mahkamah Agung. Sementara untuk perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eddy Sindoro akan berkoordinasi dengan Edy Nasution melalui staf bagian hukum Lippo, Wresti Kristian Hesti Susetyowati.

Salah satunya adalah ketika Eddy hendak mengurus pengubahan redaksional surat jawaban dari PN Jakarta Pusat mengenai permohonan eksekusi tanah sengketa di Tangerang yang diajukan seorang ahli waris ke tanah yang sedang diduduki Lippo.

Saat itu, Eddy Sindoro memerintahkan Wresti bertemu Edy Nasution dan meminta PN Jakpus menolak permohonan eksekusi tanah tersebut. Untuk itu, Edy Nasution meminta Rp3 miliar kepada Wresti. Disebutkan juga, permintaan itu merupakan arahan dari Nurhadi. Eddy Sindoro keberatan dengan besaran tersebut dan meminta Wresti menawar hingga ke angka Rp1 miliar.

Selanjuntnya, Edy Nasution melalui telepon mengatakan kepada Wresti, sesuai arahan Nurhadi, uang itu akan digunakan untuk turnamen tenis. Akhirnya Edy Nasution bersedia menurunkan permintaan ke angka Rp2 miliar, tapi Eddy Sindoro hanya menyanggupi Rp1,5 miliar.

Dalam berita acara pemeriksaan yang dibacakan jaksa dalam persidangan Edy Nasution juga terungkap sopir pribadi Doddy Aryanto Supeno, Darmaji mengaku sering mengantarkan Doddy yang membawa tas berisi uang ke rumah Nurhadi. Doddy Aryanto Supeno merupakan orang kepercayaan Eddy Sindoro dan pegawai PT Artha Pratama Anugerah, anak perusahaan Lippo Group.

Kesaksian itudibacakan jaksa dalam persidangan Edy Nasution pada 2 November 2016.

Saat menjadi saksi atas terdakwa Edy Nasution, Nurhadi mengaku tidak pernah menerima uang atau janji dari Edy Sindoro. Ia juga mengaku tak tahu soal permintaan uang terkait turnamen tenis karena ia bukan panitia, dan ia mengaku tidak bisa bermain tenis.

Mengenai dokumen-dokumen yang disita penyidik, Nurhadi pun mengaku tidak tahu menahu. Dia bilang, sebelum penggeledahan, ia sempat melihat map dengan tulisan KYMCO. Lantas ia menyobeknya dan membuangnya ke tempat sampah.

KPK Terkendala Ajudan Nurhadi

Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan sampai saat ini KPK belum menetapkan Nurhadi sebagai tersangka. Ia mengatakan, mangkirnya empat ajudan Nurhadi dari pemeriksaan KPK berpengaruh dalam pengembangan perkara ini.

Saat ini KPK masih mengikuti persidangan Eddy Sindoro dan melihat fakta-fakta yang berkembang di sana.

"Jadi tentu saja proses pemeriksaan yang belum bisa dilakukan tersebut sedikit banyak akan berpengaruh pada penanganan perkara ini," kata Febri.

Baca juga artikel terkait SUAP LIPPO GROUP atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abul Muamar