tirto.id - Gambar mampu berbicara lebih. Ia tak cuma menangkap visual, tetapi juga bisa menangkap momentum yang menggelinding melintasi zaman. Jurnalis foto, Selim Korycki, paham akan hal itu. Lewat laporan berjudul “Longtime Neighbors” yang dipublikasikan Foreign Policy, Korycki memperlihatkan bagaimana salah satu komunitas Muslim tertua di Eropa, Tatar Polandia, bertahan hidup.
Jepretan Korycki, diambil pada Agustus dan September 2017, merekam pelbagai seluk beluk yang melekat pada komunitas yang tinggal di Bialystok, Provinsi Podlaskie ini. Beberapa hal yang ditangkap Korycki antara lain masjid tua bernama Bohoniki dengan gaya arsitektur mirip gereja, poster bertuliskan “Witaj szkolo!” atau “Selamat datang di sekolah” di salah satu SD lokal, sampai kitab Al Quran berukuran kecil yang biasa dikenal dengan sebutan “dalawar.”
Dokumentasi Korycki menunjukkan betapa komunitas Muslim Tatar merupakan kelompok minoritas agama dengan sejarah kompleks sejak masa Perang Dunia, keruntuhan komunisme, hingga fenomena bangkitnya kelompok sayap kanan belakangan ini.
Ditempa Keadaan
Dalam bab “History and Culture of Polish Tatar” yang dimuat di Muslims in Poland and Eastern Europe Widening the European Discourse on Islam (2011), Marek M. Dziekan mencatat secara rinci perjalanan Musim Tatar di Polandia.
Menurut Dziekan, Muslim Tatar muncul pertama kali di Polandia pada abad 14. Masyarakat Polandia kerap menjuluki mereka "Tatar Polandia," Tatar Lithuania-Polandia, serta Muslim Lipka. Asal usul mereka adalah kelompok-kelompok Islam kecil di Kaukasus, Azerbaijan, sampai Turki, dan imigran dari wilayah Golden Horde (Gerombolan Emas)—sebuah wilayah kekuasaan khan Mongol-Turki dalam abad pertengahan yang membentang dari Eropa Timur hingga Siberia Barat.
Cobaan demi cobaan menghampiri Tatar selama periode awal mereka menginjakkan kaki di Polandia. Keberadaan mereka seringkali jadi sasaran persekusi kelompok Katolik. Pada 1609, misalnya, sebuah masjid komunitas Tatar dihancurkan akibat hasutan para imam Katolik.
Situasi berubah memasuki abad 17, seiring meningkatnya gelombang imigrasi Muslim ke Polandia. Sejarawan mencatat, kala itu ada sekitar 100 ribu Muslim masuk ke Polandia. Komunitas Tatar tak lagi jadi sansak persekusi. Mereka mulai dirangkul negara dengan rekrutmen militer untuk dilibatkan dalam beberapa peperangan dan menjaga kawasan perbatasan sebelah timur wilayah Persemakmuran Polandia-Lithuania. Sebagai kompensasinya, Muslim Tatar dihadiahi tanah.
Kiprah yang terkenal, masih menurut riset Dziekan, tentu Pemberontakan Kościuszko (1794), di mana Muslim Tatar bergabung dengan armada pimpinan Tadeusz Kościuszko guna mengakhiri kekuasaan Kekaisaran Rusia dan Kerajaan Prusia di wilayah Persemakmuran Polandia-Lithuania. Dari pemberontakan ini, sosok-sosok penting Muslim Tatar lahir. Mustafa Achmatowicz dan Jakub Azulewicz—keduanya berpangkat kolonel—adalah dua dari sekian banyak contoh.
Kontribusi penting lain Muslim Tatar di ranah militer juga terlihat dalam pembentukan Resimen Uhlan-Tatar. Resimen ini kelak jadi cikal bakal berdirinya uhlan (sejenis aparat kepolisian) di Polandia.
Merawat Tradisi
Sama seperti masyarakat Islam lainnya, Muslim Tatar juga menjalankan apa yang sudah termaktub dalam kitab suci. Beribadah (sholat) lima waktu, membaca Al Quran, melangsungkan ziarah, mengamalkan sunah, hingga menunaikan haji.
Beberapa dari ritus ini, acapkali mereka sebut dalam bahasa Turki—tempat moyang mereka berasal. Misalnya, apabila Muslim pada umumnya mengenal solat Subuh (ibadah pagi hari), maka Tatar menyebutnya dengan “sabah namaz.” Lalu, dalam menyebut “imam” (pemimpin solat), Muslim Tatar mengenalnya dengan “molla.”
Masih mengutip Marek M. Dziekan dalam “History and Culture of Polish Tatar,” yang juga unik dari eksistensi Muslim Tatar ialah cara mereka menjalani ibadah sehari-hari.
Contohnya soal dzikir. Dalam Islam, dzikir dikenal dengan pembacaan doa-doa yang memuja kebesaran Tuhan. Namun, bagi Muslim Tatar, dzikir punya bermacam dimensi; tak sekadar merapal keagungan Sang Pencipta, tapi juga mendoakan utusan-utusannya (Adam sampai Muhammad) serta tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam.
Kemudian mengenai haji. Bagi umat Islam, haji (pergi ke Mekkah untuk ibadah) adalah kewajiban—bagi mereka yang mampu. Akan tetapi, tidak semua Muslim Tatar bisa menunaikan haji. Sebagai gantinya, mereka mengadakan ziarah di situs suci, yang dalam perspektif Muslim Tatar setara dengan Mekkah, yakni di Łowczyce, dekat Nowogródek.
Soal hari raya, Muslim Tatar pun juga punya versi tambahannya sendiri. Selama ini, umat Muslim mengenal Hari Raya Idul Fitri, Hari Lahir Nabi Muhammad, serta Tahun Baru Islam. Di kalangan Muslim Tatar, ada hari raya lain bernama Ashura (biasa dikenal Aszurejny Bajram) yang ditujukan untuk memperingati kematian Al Husain, putra sahabat Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib.
Dari segi ketaatan akan aturan agama, Muslim Tatar bisa dikata tidak terlalu saklek. Para perempuan tidak diwajibkan menutup wajah mereka dengan hijab. Tatar Polandia juga kerap ikut dalam acara umat Katolik yang menyajikan babi panggang hingga alkohol. Bahkan, nikah beda agama bukanlah hal yang mengejutkan. Ini semua terjadi akibat proses asimilasi Muslim Tatar dengan lingkungan tempat mereka yang multikultural.
“Setiap orang menghormati adat istiadat satu sama lain. Contoh sederhananya, ketika orang-orang Kristen merayakan hari besar mereka, saya tidak akan bekerja di ladang. Itu bakal mengganggu,” ungkap Dzemil Gebicki, salah satu bagian dari Muslim Tatar yang sehari-harinya bekerja sebagai pemandu tur, kepada Reuters.
Sementara Wladyslawa Arciuch, warga daerah Kruszyniany, menyebut bahwa orang-orang Muslim Tatar adalah “orang-orang yang baik.” “Aku seorang Katolik yang taat. Di sini ada orang Tatar yang berperilaku baik dan orang Kristen Ortodoks. Kami semua menjalin hubungan yang hangat satu sama lain. Kami tidak pernah punya masalah,” ujarnya.
Kendati "lentur" soal aturan agama, bagi Muslim Tatar identitas mereka tetaplah Muslim. Hal-hal yang disebutkan di atas merupakan penggalan cerita mengenai bagaimana mereka bisa melakukan integrasi dengan masyarakat setempat. Singkatnya: Muslim Tatar, sebagaimana narasi yang selalu lekat dengan Islam, menjunjung tinggi toleransi.
Bermasalah dengan Komunis dan Sayap Kanan
Awal abad 20 menjadi momen sulit bagi Muslim Tatar. Okupasi Jerman selama Perang Dunia II dan kemiskinan yang membuntutinya jadi penyebab zaman susah tersebut.
Tak lama selepas Jerman berhasil digasak pasukan sekutu, Republik Rakyat Polandia didirikan orang-orang komunis Polandia dan Uni Soviet untuk menggantikan pemerintahan sebelumnya yang berada di pengasingan.
Republik Rakyat Polandia dikendalikan oleh Partai Pekerja Persatuan Polandia (Polska Zjednoczona Partia Robotnicza, PZPR), yang tak lain adalah gabungan dari Partai Sosialis Polandia (Polska Partia Socjalistyczna, PPS) dan Partai Pekerja Polandia (Polska Partia Robotnicza, PPR). Partai Pekerja Persatuan Polandia memerintah Polandia hingga 1989.
Di masa rezim Stalinis inilah Muslim Tatar perlahan terpojok. Pasalnya, selama berkuasa, pemerintah Stalinis Polandia memaksa Muslim agar menyatu dengan agama lain melalui ritus perkawinan dan asimilasi—dua faktor yang juga jadi jawaban mengapa Muslim Tatar bisa lebih luwes dalam mempraktikkan ajaran agama.
“Sulit bagi kelompok kecil macam Tatar untuk memengaruhi situasi yang ada,” kata Bronislaw Talkowski, ketua komunitas Muslim Kruszyniany, seperti ditulis dalam “Poland's Lipka Tatars: A Model For Muslims In Europe?” yang terbit di Radio Free Europe Radio Liberty. “Komunitas Tatar terancam dengan asimilasi budaya dan agama dengan kultur Polandia. Ini sinyal buruk bagi komunitas kecil kami.”
Dampaknya pun cukup signifikan: populasi Tatar mulai menyusut. Jumlah mereka tergerus hingga ribuan saja.
Setelah rezim Stalinis Polandia ambruk, Muslim Tatar sempat punya harapan untuk membangun kembali identitas keislaman mereka. Namun, belakangan, harapan itu kini terancam oleh kebangkitan populisme sayap kanan di Polandia yang konsisten menyerukan agenda anti-imigran dan anti-Muslim.
Pangkal masalahnya bermula pada 2015, ketika Partai Hukum dan Keadilan (PiS) yang berhaluan konservatif menang pemilu dengan total perolehan suara sebanyak 37,6%. Kemenangan PiS membuat mereka leluasa menjalankan kewenangan eksekutif secara menyeluruh.
Bukannya membawa semangat pembaharuan, pemerintahan yang dipegang PiS justru membuat situasi jadi serba tak pasti. PiS banyak dikritik karena kebijakan-kebijakannya yang menempatkan Polandia dalam rezim otoritarianisme. Mereka mengontrol media, mengintervensi pengadilan dengan dalih “pemberantasan korupsi,” dan tak ragu memenjarakan siapa saja yang menguak kolaborasi Polandia dengan Nazi selama PD II.
Parahnya lagi, para politisi PiS juga getol menyuarakan retorika nasionalistik yang lambat laun berkembang menjadi propaganda supremasi kulit putih, Islamofobia, homofobia, anti-Semitisme, anti-feminisme, dan anti-imigran.
Kondisi kian ruwet dengan bermacam propaganda media sayap kanan yang mengatakan bahwa kelompok minoritas seperti Muslim dan dan imigran Afrika (sejak krisis pengungsi melanda Eropa) adalah malapetaka ekonomi dan ancaman bagi kehidupan bermasyarakat Polandia.
Konsekuensinya tidak main-main. Retorika tersebut, tulis Kasia Narkowicz dan Konrad Pedziwiatr lewat “Why are Polish People So Wrong about Muslims in Their Country?,” membangkitkan militansi kelompok-kelompok sayap kanan macam All-Polish Youth, National Movement, dan National Radical Camp. Merekalah yang mengerahkan demonstrasi anti-imigran dan anti-Muslim di Białystok, Wrocław, Gdańsk, dan Kraków—yang notabene jadi kawasan tinggal komunitas Muslim. Narasi yang dibawa tiap aksi kira-kira berbunyi seperti ini: imigran hanya jadi beban, Muslim adalah teroris, serta Muslim dan imigran akan menguasai Eropa.
Kasus nyata terjadi pada November silam kala puluhan ribu demonstran sayap kanan memenuhi jalanan Warsawa dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Polandia di mana mereka meneriakkan “Enyahlah Pengungsi!” tanpa henti.
Tak cuma menyentil isu imigran atau Islam, para demonstran juga menyerukan ungkapan-ungkapan rasis seperti “Polandia murni! Polandia kulit putih!,” sampai “Singkirkan Yahudi!,” sembari mengibarkan bendera nasional atau membentangkan spanduk bergambar falanga, simbol fasisme tahun 1930an.
Celakanya, sentimen-sentimen itu dibarengi dengan aksi brutal para preman sayap kanan yang ditujukan kepada minoritas Islam dan pengungsi di Polandia, tak terkecuali terhadap komunitas Muslim Tatar. The New York Times mencatat, komunitas Tatar pernah jadi korban ketika masjid di wilayah Kruszyniany dirusak oleh gerombolan neo-fasis. Bahkan, masjid Tatar di Gdansk yang dibangun pada 1991 juga dibom. Selain masjid, kuburan pun tak luput dari aksi-aksi vandal.
Berdasarkan data kepolisian, sebagaimana diwartakan Al Jazeera, 2016 adalah tahun dengan jumlah insiden kekerasan bermotif kebencian tertinggi kedua di Polandia setelah 2015 (765 laporan).
Angka tersebut juga melonjak tajam dari 2014 yang tercatat hanya sekitar 262 insiden. Di tahun yang sama, kantor kejaksaan juga melaporkan telah menyelidiki 1.631 kasus kekerasan bermotif kebencian yang dipicu oleh rasisme, anti-Semitisme, sampai xenophobia. Di lain sisi, sejak 2015, jumlah serangan terhadap Muslim meningkat dari 192 menjadi 362, diikuti oleh serangan terhadap orang Yahudi dan orang-orang gipsi.
Hasil riset Center for Research on Prejudice yang dirilis pada September 2015 menemukan fakta, kendati 80% orang Polandia tidak mengenal Muslim, dua pertiga di antaranya menyatakan “tidak nyaman” berdekatan maupun berhadapan dengan mereka. Sementara itu, lebih dari separuh responden mengungkapkan kekhawatirannya bahwa Muslim bakal mengancam “kesejahteraan ekonomi masyarakat” dan “nilai-nilai hidup Polandia.” Jumlah yang sama juga menyatakan Islamofobia adalah lumrah belaka.
Populisme sayap kanan di Polandia tumbuh seiring kemenangan partai-partai ultra-nasionalis di berbagai belahan dunia. Ia makin subur setelah terpilihnya Donald Trump, Brexit, krisis pengungsi Afrika, dan aksi-aksi kekerasan lainnya yang berdalih melindungi "masyarakat dari ancaman." Sasarannya sudah pasti: kelompok minoritas agama macam Muslim Tatar, Yahudi, LGBTQ, hingga imigran. Narasi-narasi yang dibawa pun tak masuk akal—dan cenderung membahayakan. Dan itu semua dilakukan sembari merapal kredo sejenis “Make blablabla Great Again.”