Menuju konten utama

Mungkinkah Tren Gaya Hidup Alami Membuat Tawas Makin Naik Daun?

Pasar deodoran organik global diramalkan akan tumbuh sekitar 15% selama 2023-2028, dan mencapai 152 juta dolar pada tahun 2026.

Mungkinkah Tren Gaya Hidup Alami Membuat Tawas Makin Naik Daun?
Tawas atau Alum. foto/istockphoto

tirto.id - Belum lama ini lini masa media sosial TikTok diramaikan oleh tagar #armpitdetox yang menampilkan video pemakaian masker di area ketiak.

Sesuai judul tagar, tujuan pemakaian masker yang umumnya terbuat dari campuran tanah liat, cuka apel, garam dan arang aktif (charcoal) ini adalah untuk membersihkan dan mengeluarkan zat-zat bersifat toksik dari pori-pori kulit di area ketiak.

Mary Futher — pemilik jenama produk perawatan tubuh Kaia Natural dalam video yang diunggahnya di akun TikTok @madamesweat menyatakan bahwa, ritual detoksifikasi ini sedang populer dilakukan oleh mereka yang hendak beralih dari pemakaian deodoran (produk yang berguna menyamarkan bau badan) dan antiperspirant (produk yang berguna mengurangi produksi keringat) buatan pabrik ke jenis deodoran alami.

Menurut Futher, kulit ketiak yang selama bertahun-tahun terpapar bahan kimia sintetik dari pemakaian deodoran dan antiperspirant perlu waktu sekitar 2 sampai 4 minggu untuk membuang sisa-sisa zat kimia yang menyumbat pori-pori. Baru setelah itu kulit ketiak mampu beradaptasi dengan pemakaian deodoran yang terbuat dari bahan alami.

Seiring meningkatnya kesadaran untuk memelihara kesehatan secara holistik dan tren gaya hidup kembali ke alam, kini tak sulit menemukan produk perawatan tubuh yang diklaim lebih ramah lingkungan dan lebih aman bagi tubuh karena bebas dari pemakaian bahan kimia sintetik.

Produsen semakin banyak memproduksi deodoran alami dan bebas aluminium yang mengandung natrium bikarbonat (soda kue) serta bahan herbal. Pasar deodoran organik global diramalkan akan tumbuh sekitar 15% selama 2023-2028 dan mencapai 152 juta dolar pada tahun 2026.

Di lini masa media sosial saat ini bahkan kerap bermunculan aneka resep deodoran yang bisa dibuat sendiri di rumah, mulai dari deodoran yang berbasis minyak kelapa, lidah buaya, soda kue, arang aktif, air mawar, hingga tawas.

Yang disebut terakhir ini barangkali sudah tak asing lagi digunakan oleh kita yang bermukim di Indonesia sebagai obat untuk mengatasi aroma tubuh yang tidak sedap.

INfografik Tawas

INfografik Tawas

Tawas merupakan salah satu jenis garam mineral yang memiliki nama ilmiah aluminium kalium sulfat, atau biasa dikenal juga dengan nama garam alum.

Melansir artikel di Healthline, tawas sudah sejak ratusan tahun yang lalu digunakan oleh penduduk Asia Tenggara untuk mengatasi masalah bau badan yang tidak sedap. Di barat, tawas baru mulai digunakan pada tahun 1980-an dan dikenal pula dengan nama deodoran kristal.

Selain sebagai produk perawatan tubuh, tawas juga digunakan dalam proses penjernihan air, yaitu sebagai koagulan yang berfungsi mengumpulkan kotoran-kotoran mikro yang larut dalam air dan membentuknya menjadi gumpalan kecil.

Dalam industri makanan, tawas dalam bentuk soda tawas digunakan dalam campuran pembuatan baking powder dan bahan pengawet makanan. Tawas juga digunakan sebagai salah satu bahan campuran dalam beberapa jenis vaksin.

Di Indonesia, tawas yang digunakan sebagai produk perawatan tubuh umumnya ditemukan dalam bentuk bubuk seperti bedak, meski ada pula yang menggunakan tawas dalam bentuk kristal padat. Belakangan ini bisa pula ditemukan tawas dalam bentuk larutan ataupun gel, yang pemakaiannya bisa dengan cara disemprot atau dioleskan pada area ketiak.

Mengacu pada Medical News Today, tawas memiliki sifat bakteriostatik yang artinya mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Itu sebabnya tawas juga kerap digunakan sebagai bahan campuran dalam krim cukur untuk menekan terjadinya infeksi akibat luka pada saat mencukur kumis dan janggut. Selain itu tawas juga bersifat astringent, yaitu mampu mengakibatkan reaksi temporer berupa penyusutan ukuran pori-pori ketika bersentuhan dengan kulit.

Karena kedua sifat inilah, tawas disebut ampuh digunakan sebagai penangkal bau badan tidak sedap. Pasalnya, bau badan sebenarnya tidak datang dari keringat, melainkan muncul sebagai akibat dari aktivitas bakteri yang hidup di permukaan kulit.

Ketika kita berkeringat, bakteri akan mengeluarkan enzim untuk mengurai protein yang terkandung di dalam keringat. Aroma tak sedap yang muncul merupakan salah satu hasil dari proses penguraian protein oleh bakteri.

Bau badan akan terasa lebih menyengat pada area ketiak karena banyaknya lipatan kulit yang menjadikan area tersebut menjadi lembap sehingga memungkinkan bakteri lebih mudah berkembang biak. Itu sebabnya, pemakaian tawas yang mampu mencegah pertumbuhan bakteri di area ketiak merupakan strategi yang tepat untuk mengatasi keluhan bau badan.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Malaysia dan terbit di Journal of Clinical and Health Sciences pada Juni 2016 menyatakan bahwa, larutan tawas dengan kepadatan 7,5 mg/mL bisa dipertimbangkan sebagai formula yang cocok digunakan sebagai alternatif pemakaian bahan kimia sintetik yang terkandung dalam deodoran dan antiperspirant buatan pabrik.

Bahan Pemicu Alergi dalam Produk Perawatan Tubuh

Mengenai isu bahwa pemakaian tawas bisa memicu kanker, dr. Ismiralda Oke Putranti SpKK seperti dilansir Kompas menyatakan bahwa hal tersebut tidaklah benar.

Pasalnya, bahan aktif pada tawas tidak sama dengan bahan aktif yang digunakan dalam antiperspirant—yaitu aluminium klorida dan aluminium zirkonium; yang keduanya dicurigai memiliki sifat mirip hormon estrogen sehingga turut memicu terjadinya kanker payudara.

Bahkan isu bahwa pemakaian antiperspirant buatan pabrik bisa mengakibatkan kanker dan penyakit Alzheimer (penelitian menemukan kandungan aluminium di dalam otak penderita Alzheimer) pun hingga saat ini masih belum dapat dibuktikan secara ilmiah.

Hal ini dinyatakan oleh Dr. Harold Burstein, dokter spesialis onkologi di Dana-Farber Cancer Institute yang juga staf pengajar di Harvard Medical School. Menurut Burstein, kadar aluminium dari antiperspirant yang bisa diserap tubuh amat sangat kecil jumlahnya sehingga amat sangat bisa diabaikan keberadaannya.

Lagipula, seperti disebut dalam artikel berjudul "Are Natural Deodorants Better for You?" di New York Times, aluminium merupakan elemen ketiga yang paling banyak ditemukan dalam bebatuan bumi sehingga setiap orang bisa terpapar aluminium setiap saat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dari pemakaian peranti rumah tangga dan peralatan memasak seperti panci dan wajan.

Peneliti pun masih belum dapat memastikan apakah kandungan aluminium di dalam otak penderita Alzheimer merupakan penyebab atau akibat dari munculnya penyakit tersebut.

Dari sudut pandang ilmu medis, pakar kesehatan menyatakan bahwa pemilihan jenis deodoran ataupun antiperspirant yang ideal merupakan pilihan pribadi yang bisa jadi berbeda pada setiap orang.

Dr. Jennifer Chen, associate professor di bidang dermatologi dari Stanford Medicine menyatakan bahwa istilah ‘alami’ sendiri sebenarnya bisa membingungkan karena tidak ada standar ketentuan yang pasti mengenai kandungan bahan-bahan yang digunakan. Istilah ‘alami juga bukan jaminan bahwa deodoran tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang bisa merugikan kesehatan.

Pasalnya, yang sering menjadi masalah pada pemakaian produk perawatan tubuh terutama deodoran adalah iritasi yang disebabkan oleh reaksi alergi.

Hal tersebut bisa terjadi pada pemakaian deodoran dan antiperspirant pabrikan maupun deodoran yang diklaim terbuat dari bahan alami. Salah satu bahan yang paling sering mengakibatkan reaksi alergi adalah penambahan zat pewangi, baik itu adalah parfum sintetik maupun minyak atsiri (essential oil) yang kerap digunakan dalam produk deodoran alami.

Sebuah penelitian bahkan menyebutkan bahwa dibandingkan jenis-jenis produk perawatan tubuh lain seperti sabun, sampo, krim cukur dan lotion, deodoran merupakan jenis produk yang paling sering dikeluhkan memunculkan reaksi alergi.

Hal ini menurut Chen, disebabkan karena kondisi kulit ketiak yang tipis, memiliki banyak lipatan, dan lembap sehingga lebih rentan mengalami iritasi dan alergi dibandingkan area tubuh lainnya seperti punggung ataupun kaki.

Hidup Tanpa Deodoran, Mungkinkah?

Dr. Joshua Zeichner, associate professor di bidang dermatologi dari Mount Sinai Hospital di New York City menyatakan dalam artikel di situs CNN bahwa aroma tubuh seseorang dipengaruhi oleh kondisi kesehatan dan konsumsi makanan setiap hari. Keringat dari orang yang gemar makan jenis sayuran cruciferous seperti brokoli, kale, dan kembang kol akan sedikit berbau seperti sulfur.

Orang yang tubuhnya sehat juga semestinya tidak memiliki aroma tubuh yang menyengat. Lain halnya dengan mereka yang memiliki aroma tubuh khas karena memiliki masalah kesehatan seperti ketoasidosis atau uremia akibat diabetes.

Makanya, tidak heran jika ada sebagian orang yang merasa tidak perlu memakai deodoran ataupun antiperspirant untuk menyamarkan aroma tubuhnya. Salah satu pesohor yang melakukannya adalah aktor Matthew McConaughey, yang mengaku sudah berpisah dari ritual memakai deodoran selama lebih dari 35 tahun! Tapi, McConaughey mengaku rutin mandi beberapa kali sehari untuk memastikan bahwa tubuhnya selalu bersih.

Rajin mandi, menurut Zeichner, memang merupakan resep utama untuk mencegah munculnya masalah bau badan. Area wajah, ketiak, dan selangkangan adalah bagian tubuh yang perlu dibersihkan secara teliti karena paling banyak memproduksi keringat, sehingga memiliki kelembapan yang cocok sebagai tempat bakteri berkembang biak.

Cara lain untuk mencegah masalah bau badan adalah dengan mengenakan pakaian longgar dari bahan yang mampu menyerap keringat seperti katun.

Produksi keringat merupakan peristiwa alami dan diperlukan untuk membantu menyeimbangkan suhu tubuh.

Oleh karena itu, pada orang-orang tertentu yang tidak memiliki masalah bau badan, pemakaian baik tawas, deodoran, ataupun antiperspirant bukanlah suatu keharusan. Apalagi, bau badan tidak terkait sama sekali dengan tingkat kesehatan seseorang.

Baca juga artikel terkait TIPS GAYA HIDUP atau tulisan lainnya dari Nayu Novita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Nayu Novita
Penulis: Nayu Novita
Editor: Lilin Rosa Santi