Menuju konten utama

Muktamar Internasional Fikih Peradaban akan Bahas Tiga Masalah

Setidaknya ada tiga pembahasan yang akan dibicarakan dalam Muktamar Internasional Fikih Peradaban.

Muktamar Internasional Fikih Peradaban akan Bahas Tiga Masalah
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (kanan) didampingi Ketua PBNU Amin Said Husni (kiri)memberikan keterangan pers peluncuran Mars Satu Abad NU di Kantor Pusat PBNU, Jakarta, Jumat (6/1/2023). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.

tirto.id - Muktamar Internasional Fikih Peradaban di Surabaya, Jawa Timur, akan membahas tiga persoalan. Salah satunya adalah Piagam PBB yang dijadikan sebagai rujukan otoritatif dan sesuai dengan syariat Islam.

Muktamar yang digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 6 Februari ini merupakan kegiatan puncak dari rangkaian Halaqah Fikih Peradaban yang digelar secara serial di berbagai wilayah di Indonesia sejak Agustus 2022 hingga pertengahan Januari 2023.

Panitia Pelaksana Muktamar Internasional Fikih Peradaban, Ahmad Syarif Munawi menyampaikan, kegiatan ini akan membahas mengenai pentingnya melahirkan sebuah terobosan fikih yang baru di tengah realitas saat ini yang serba baru.

“Ini mau menegaskan kepada dunia internasional tentang pentingnya melahirkan fikih alternatif baru beserta usul fikihnya,” kata dia dalam rilis yang diterima Tirto, Rabu (25/1/2023).

Setidaknya, ada tiga pembahasan yang akan dibicarakan dalam forum tersebut. Pertama, para ulama akan membahas pandangan fikih baru terkait relasi hukum fikih dengan bentuk negara bangsa modern.

“Ini kelanjutan dari beberapa hal yang sudah diputuskan pada periode sebelumnya. Seperti Munas 2019 di Banjar yang membahas istilah kafir agar tidak digunakan dalam kehidupan berbangsa negara dan melahirkan istilah fiqih baru, yaitu ‘muwathin,’ warga negara. Bukan lagi identitas berdasarkan sentimen keagamaan, terlepas dari apapun agamanya,” terangnya.

Pembahasan pertama ini termasuk juga mengenai reformulasi pandangan hukum fikih terkait hasil konsep negara bangsa modern. Misalnya, Pancasila yang disahkan sebagai ideologi dan dasar negara.

“Negara bangsa adalah bentuk baru yang harus dicarikan legalitas hukum keagamannya dalam fikih baru,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PBNU itu.

Kedua, pola hubungan muslim dan non-muslim. Dahulu, narasi yang muncul adalah perihal permusuhan dan persinggungan. Pandangan terhadap hubungan sosial keduanya ini perlu direkontekstualisasi agar bisa hidup bersama dalam satu peradaban besar dunia.

“Ini kita mencari jalan agar kita sama-sama, tidak lagi ada narasi-narasi yang sifatnya mengarah pada kebencian terhadap orang-orang yang berbeda dengan kita,” ucapnya.

Ketiga, hal yang akan dibahas adalah Piagam PBB yang dijadikan sebagai rujukan otoritatif dan sesuai dengan syariat Islam. Sebagaimana diketahui, Piagam PBB menjadi salah satu kunci kesepakatan yang dapat menghentikan Perang Dunia II.

“PBB itu organisasi besar. Apakah keputusan dan produk-produk hukum yang dikeluarkannya bisa jadi acuan yang sah rujukan hukum syariat Islam? Ini yang nanti akan dibicarakan oleh para ulama yang hadir,” jelasnya.

Baca juga artikel terkait FIKIH atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maya Saputri