Menuju konten utama

Muhammadiyah Pertanyakan Soal New Normal & Simpang Siur Kebijakan

PP Muhammadiyah mempertanyakan pemberlakuan new normal atau kelaziman hidup yang baru di tengah pandemi dan kesimpangsiuran kebijakan pemerintah dalam penanganan COVID-19.

Muhammadiyah Pertanyakan Soal New Normal & Simpang Siur Kebijakan
Presiden Joko Widodo didampingi Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kiri) dan Kapolri Jenderal Pol Idham AzizÊmeninjau kesiapan penerapan prosedur standar New Normal di Stasiun MRT BundaraanÊHI, Jakarta, Selasa (26/5/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberikan pernyataan resmi merespons soal pemberlakuan new normal atau kelaziman hidup yang baru di tengah pandemi dan kesimpangsiuran kebijakan pemerintah dalam penanganan COVID-19.

Muhammadiyah mengeluarkan siaran pers tertulis yang ditandatangani oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan Sekretaris Umum Abdul Mu'ti, Kamis (28/5/2020). Pernyataan pers itu juga dibacakan langsung oleh Abdul Mu'ti melalui video.

"Berbagai pemberitaan dan pernyataan pemerintah tentang 'new normal' akhir-akhir ini menimbulkan tanda tanya dan kebingungan masyarakat. Di satu sisi, pemerintah masih memberlakukan PSBB tapi pada sisi lain menyampaikan pemberlakuan relaksasi," kata Abdul Mu'ti.

Kesimpangsiuran ini disebut sering menjadi sumber ketegangan aparat dengan rakyat. Bahkan, demi melaksanakan aturan kadang sebagian oknum aparat menggunakan cara-cara kekerasan.

Demikian halnya dengan kebijakan new normal. Menurut Abdul, perlu ada penjelasan dari pemerintah tentang kebijakan new normal, sehingga masyarakat tidak membuat penafsiran masing-masing.

"Di satu sisi, mal dan tempat perbelanjaan mulai dibuka, sementara masjid dan tempat ibadah masih harus ditutup. Hal ini berpotensi menimbulkan ketegangan antara aparat pemerintah dengan umat dan jemaah," jelasnya.

Padahal, kata Abdul, ormas keagamaan sejak awal konsisten dengan melaksanakan ibadah di rumah. Hal itu sangat tidak mudah keadaannya di lapangan bagi umat dan bagi ormas sendiri demi mencegah meluasnya kedaruratan akibat wabah Covid-19.

Laporan BNPB menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 masih belum dapat diatasi. Namun, kata Abdul, pemerintah justru melonggarkan aturan dan mulai mewacanakan new normal.

"Apakah semuanya sudah dikaji secara valid dan saksama dari para ahli epidemiologi. Wajar jika kemudian tumbuh persepsi publik yang menilai kehidupan masyarakat dikalahkan untuk kepentingan ekonomi," kata dia.

Penyelamatan ekonomi, menurutnya, memang penting, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah keselamatan jiwa masyarakat ketika wabah Covid-19 belum dapat dipastikan penurunannya.

Karena itu, ia meminta pemerintah mengkaji dengan saksama pemberlakuan new normal, dan memberikan penjelasan yang obyektif serta transparan.

Terutama hal itu menyangkut dasar kebijakan new normal dari aspek utama yakni kondisi penularan Covid-19 di Indonesia saat ini, maksud dan tujuan new normal; serta konsekuensi terhadap peraturan yang sudah berlaku, khususnya PSBB dan berbagai layanan publik.

Kemudian jaminan kepada daerah yang sudah dinyatakan aman atau zona hijau yang diberlakukan new normal. Selain itu, juga perlu persiapan saksama agar masyarakat tidak menjadi korban, termasuk menjaga kemungkinan masih luasnya penularan wabah Covid-19.

Pemerintah dengan segala otoritas dan sumber daya yang dimiliki, kata dia, memiliki legalitas kuat untuk mengambil kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Dengan demikian maka pemerintah sepenuhnya bertanggung jawab atas segala konsekuensi dari kebijakan new normal yang akan diterapkan.

Baca juga artikel terkait PANDEMI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri