tirto.id - Sawito Kartowibowo jadi bahan pemberitaan pada tahun 1976. Ia dicap akan makar dan berbahaya bagi stabilitas Orde Baru setelah mendapat wangsit. Sawito menghujat Soeharto dan kroni-kroninya yang korup. Ia juga menulis sebuah dokumen berjudul: Menuju Keselamatan.
Sawito minta restu kepada beberapa tokoh bangsa seperti Bung Hatta, organisatoris TNI Tahi Bonar Simatupang, Buya Hamka, Kardinal Yustinus Darmoyuwono, dan mantan Kapolri pertama Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang merupakan mertuanya sendiri.
Para tokoh ini hampir tak tersentuh oleh Soeharto. Said Soekanto misalnya, ia 14 tahun jadi orang nomor satu di Kepolisian. Waktu Soeharto masih bocah, Soekanto sudah jadi calon komisaris polisi.
Soekanto yang doyan kebatinan akhirnya ditarik Orde Baru. Seperti terdapat dalam Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia (2000:183), pada Juli 1973 Soekanto didatangi utusan Soeharto yang menawarinya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Soekanto menerimanya dan segera dilantik pada 8 Agustus 1973. Meski Sawito, menantunya berulah, namun Soekanto yang sudah sepuh tak jadi musuh besar bagi Soeharto.
Soekanto menikah dengan Bua Hadidjah Lena Mokoginta. Dua tahun setelah ia tak lagi menjadi anggota DPA, tepatnya pada 5 Mei 1980, adik iparnya Letnan Jenderal Ahmad Yunus Mokoginta (selanjutnya hanya ditulis Mokoginta), menjadi orang yang berani berseberangan dengan Soeharto.
Mokoginta sebetulnya termasuk orang yang berjasa kepada Orde Baru. Menurut Jess Melvin dalam The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass (2018), pada 23 Maret 1965 Mokoginta mencanangkan Operasi Singgalang di Medan untuk menggulung kaum komunis. Orang-orang sipil dilibatkan dalam operasi tersebut.
“Mokoginta memberi dukungan kepada Pemuda Pancasila, suatu kelompok yang dibentuk untuk menandingi Pemuda Rakyat yang didominasi PKI,” tulis Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998 (2005: 375).
Mokoginta ikut menandatangani Petisi 50 sebagai ungkapan keprihatinan atas tafsiran Pancasila ala Soeharto.
Dalam pidato pada rapat ABRI di Pekanbaru (27 Maret 1980) dan HUT Koppasandha di Cijantung (16 April 1980), Soeharto memberi kesan bahwa dirinya adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila. Selain itu, ia juga melontarkan tuduhan bahwa ada usaha-usaha untuk mengangkat senjata, menginfiltrasi, dan perbuatan-perbuatan subversi lainnya menjelang pemilu.
Mokoginta dan para penandatangan Petisi 50 lainnya melihat kesalahan fatal dari rezim Soeharto. Mereka menginginkan perubahan meski risiko yang mesti mereka tanggung tidak kecil.
Beberapa tahun sebelumnya, Mokoginta juga tergabung dalam Forum Studi dan Komunikasi (FOSKO) yang berisi para oposisi pensiunan ABRI. FOSKO di antaranya diisi oleh Sudirman (ayah Basofi Sudirman), GPH Djatikusumo, dan Jenderal Widodo. Setelah itu kemudian terbentuk Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) yang anggotanya antara lain Laksamana Madya Suyitno Sukirno, Jenderal Hoegeng Iman Santoso, dan Letnan Jenderal Ali Sadikin.
Meski balasan yang menimpa para penandatangan Petisi 50 cukup keras, namun sebagian besar dari mereka tak sudi meminta maaf kepada Soeharto. Menurut Ali Sadikin dalam Tempo edisi 05 Februari 1994, permintaan maaf itu memang ada tapi hanya dilakukan oleh dua orang anak muda, bukan yang tua-tua seperti dirinya dan Mokoginta.
Polisi yang Keras
Seperti Soekanto, Mokoginta juga mantan polisi. Ia pernah jadi polisi sipil sebentar, tapi lebih dikenal sebagai polisi militer ketika dinas di Angkatan Darat. David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba (2009: 123) menyebut, “Mokoginta dikenal sebagai polisi militer yang keras, bahkan brutal.”
Jika banyak polisi hanya bisa galak terhadap rakyat sipil, maka Mokoginta yang telah pensiun mampu membuktikan bahwa dirinya bisa juga galak terhadap rezim Orde Baru. Bagi Soeharto, Petisi 50 yang dilakukan oleh Mokoginta dan kawan-kawan adalah tindakan brutal terhadap kekuasaannya.
Dalam Apa danSiapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (1981:393), Mokoginta pernah berujar, ”memang sulit mendidik mental seseorang yang tadinya jadi penguasa lantas menjadi bukan apa-apa...”
Barangkali konteks ucapan itu disampaikan kepada para tentara yang ia didik selama aktif di sekolah staf dan komando. Namun bisa juga ditujukan kepada Soeharto yang mulai menyelewengkan kekuasaannya.
Editor: Irfan Teguh