Menuju konten utama
Obituari

Mochtar Pabottingi dan Masa "Muda, Beda, Berbahaya" di Yogya

Sambil kuliah, Mochtar Pabottingi bergaul dengan para seniman. Di Malioboro biasa mereka berhimpun.

Mochtar Pabottingi dan Masa
Peneliti dan pakar politik Mochtar Pabottingi (ujung kanan) dalam diskusi di Jakarta Pusat. (ANTARA/Prisca Triferna)

tirto.id - Koran Kedaulatan Rakyat edisi 2 Januari 1974 menerbitkan berita tentang “Malam Keprihatinan Nasional” yang digelar pada malam tahun baru. Nama Mochtar Pabottingi tercetak sebagai pemimpin demo. Cuma ada typo: Prabotinggi.

Aksi berlangsung di depan patung Jenderal Sudirman di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Lagu-lagu perjuangan dinyanyikan, sejumlah mahasiswa berorasi. Di pengujung acara, mewakili Kelompok Diskusi Juli 73 yang menjadi inisiator acara, Mochtar membacakan pernyataan yang memprotes otoritarianisme Orde Baru, represi kehidupan mahasiswa, penanganan tak adil atas kasus pemerkosaan Sum Kuning, pembiaran pembabatan hutan di Kalimantan, dan lembeknya penanganan kasus korupsi—khususnya di Pertamina.

Hal yang terjadi kemudian adalah interogasi. Mochtar diinterogasi Staf Asisten Intel Khusus Polwil 096 Yogyakarta, Roekmini Koesoemo Astuti – kelak menjadi Anggota Komnas HAM setelah pensiun. Sejumlah pertanyaan diajukan. Misalnya, apa hubungan dengan Aini Chalid, siapa saja yang pernah diundang bicara di Kelompok Diskusi Juli 73 dan siapa saja yang hadir.

Mereka memang pernah mengundang sejumlah tokoh. Termasuk Ketua Dewan Mahasiswa UI Hariman Siregar. Aini menjadi semacam penghubung kelompok tersebut dengan para aktivis mahasiswa di Jakarta.

“Seluruh interogasi itu berlangsung dari jam sembilan pagi sampai jam tiga sore. Di tangan dan kantor Ibu Roekmini, aku diperlakukan dengan baik…Baru belakangan kusadari bahwa jika kala itu aku diinterogasi di tempat lain oleh pejabat kepolisian lain, tidaklah mustahil hasilnya bisa beda sama sekali,” tulis Mochtar dalam novel otobiografis, Burung-burung Cakrawala.

Beberapa hari kemudian, 15 Januari 1974, meletus peristiwa Malari di Jakarta. Ratusan tokoh masyarakat dan pentolan mahasiswa diciduk. Di antaranya Hariman dan Aini. Mochtar tak sampai mendekam di tahanan tapi interogasi lanjutan mesti dihadapi.

Magnet Bernama Yogya

Yogyakarta yang mematangkan intelektualitas pria kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, 17 Juli 1945, tersebut. Sebelumnya ia kuliah di FISIP dan Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar. Ketika keuangan keluarga meredup dan ada beasiswa dari Caltex, pada 1968, ia mendaftar ke Sastra Inggris Universitas Gajah Mada (UGM) dan diterima—tidak kembali dari awal, melainkan berstatus mahasiswa tingkat empat.

Kota Gudeg menyimpan magnet tersendiri. Ketika liburan di sana pada 1964, ia merasa ada bisikan di kalbu: bakal betah tinggal dan menuntut ilmu di sana. Empat tahun kemudian, bisikan itu menjelma kenyataan.

“Di Yogya yang sarat bintang-bintang ini, cakrawalaku mengalami peningkatan jelajah, keterarahan, dan kualitas secara berarti. Di fakultas, kami diharuskan membaca karya-karya Sastra Inggris klasik maupun modern secara utuh dan saksama,” catat anak keempat dari delapan bersaudara ini.

Sambil kuliah, Mochtar bergaul dengan para seniman. Di Malioboro biasa mereka berhimpun. Dalam ingatannya, mereka suka ngumpul di sebuah warung tenda yang menyediakan kopi, susu segar, dan roti bakar. Sering sampai larut malam mereka ngobrol tentang banyak hal, tentang cewek-cewek jelita sampai buku-buku terbaru.

Ia pun kerap bertandang ke kediaman dramawan dan penyair WS Rendra yang sekaligus menjadi markas Bengkel Teater di Ketanggungan Wetan. Rumah itu memiliki panggung terbuka di bagian belakang.

“Seingatku, kamar tamu Mas Willy tak berisi kursi. Mas Willy suka berbaring begitu saja di lantai rumahnya yang sejuk. Aku tak pernah lupa wajah Mbak Narti yang selalu jernih-tulus dengan suaranya yang merdu, terutama jika menyanyi,” tutur Mochtar. Willy adalah sapaan akrab untuk Rendra, Narti yang dimaksud adalah istri pertama sang penyair, Sunarti Soewandi.

Sebagai mahasiswa sastra, Mochtar juga gemar menulis puisi. Karyanya muncul di majalah Basis dan Horison. Kelak puluhan puisinya dibukukan di Dalam Rimba Bayang-bayang dan Konsierto di Kyoto.

Ia pernah pula menyutradarai pementasan drama Prabu dan Putri karya Rustandi Kartakusuma dalam rangka Dies Natalis UGM pada 1972.

Kegiatan kesenian tak berawal di Yogya. Saat masih di Makassar, Mochtar sudah menulis puisi, cerita pendek, bahkan naskah drama. Pada 1964, ia memenangkan lomba penulisan cerita pendek se-Sulawesi Selatan. Hadiahnya adalah dua jilid kumpulan tulisan Bung Karno, Di Bawah Bendera Revolusi.

Kesenian digeluti, kehidupan intelektual-politis diselami. Mochtar tergabung dalam sebuah kelompok diskusi. Ada perbedaan nama. Mochtar menyebutnya Kelompok Diskusi Juli 73. Sementara, sejumlah anggota lain menamakan Kelompok 13.

Dinamakan Kelompok 13, tutur Imam Yudotomo dalam esai “Ashadi Siregar, Aktivis Mahasiswa dan Kawan Saya,” lantaran beranggotakan tiga belas orang dan didirikan pada 13 Juli. Mereka adalah Ashadi Siregar, Aini Chalid, Imam Yudotomo, Daniel Dhakidae, Peter Hagul, Gaspar Ehok, Ali Sugiharjanto, Chandra Ismail, Subagyo Sayogyo, Bambang Setiawan, Fauzie Ridjal, Parakitri Tahi Simbolon, dan Mochtar Pabottingi.

Kebanyakan telah lulus kuliah pada awal 1970-an, tapi aktivisme mereka berlanjut. Mochtar, misalnya, lulus pada November 1972.

Sebagian mereka adalah eks pengelola mingguan Sendi yang dibredel pada awal 1972 karena pemberitaan tentang Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Tapi, Mochtar bukan salah satu di antaranya. Pemimpin Redaksi Sendi, Ashadi Siregar, diajukan ke pengadilan, dinyatakan bersalah telah menghina Soeharto dan keluarganya, tapi tak ditahan.

Pada September 1974, Mochtar mengepakkan sayap, meninggalkan Yogya. Selama enam tahun di sana, tergelar dialog kultural secara intens dalam diri Mochtar. Budaya Bugis yang mengalir dalam darahnya menghadapi “tantangan serius” dari budaya Jawa.

“Internalisasi nilai-nilai Jawa membuatku bisa mengoreksi kecenderungan-kecenderungan tertentu dari laku budaya Bugisku dan sekaligus bisa meningkatkan kedalamannya pada sisi-sisi lain. Sama halnya, aku bisa melihat beberapa titik di mana sistem atau tradisi laku budaya Jawa berpeluang mendapatkan koreksi atau peningkatan harkat dengan injeksi nilai-nilai Bugis tertentu,” aku Mochtar dalam Burung-burung Cakrawala.

Tajam, Bernas, dan Jernih

Selepas Yogya dan singgah beberapa warsa di Jakarta, Mochtar belajar ke University of Massachusetts untuk tingkat master dan University of Hawaii demi meraih Ph.D. Sepulang merantau, publik mengenalnya sebagai akademisi politik dengan pikiran tajam, bernas, dan jernih. Esai-esainya terbit di Kompas, Prisma, Forum Keadilan, TEMPO, juga di sejumlah buku.

Dalam pengantar buku Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, ia menggambarkan rezim tersebut sebagai jembatan yang tergantung pada dua tebing tinggi dan curam– yang dipetiknya dari sebuah cerita pendek Franz Kafka.

“…Namun kedua tebing curam, tempat jembatan itu bertumpu, sudah mulai luruh. Jika salah satu atau keduanya runtuh, yang akan terjadi adalah kehancuran bagi segenap yang berada di atasnya….kita pun, dalam sepuluh tahun terakhir, merasakan jembatan itu mulai bergetar,” tulis Mochtar dalam buku terbitan 1995 atau tiga tahun sebelum Orde Baru ambruk itu.

Ayah empat anak ini tengah menjabat Kepala Puslitbang Politik dan Wilayah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) alias berstatus pegawai negeri. Namun, status tersebut tak menghalangi untuk bersuara lantang dan terang.

Ketika TEMPO, Editor, dan DeTIK dibredel pada 21 Juni 1994, pena Mochtar juga setajam katana. Menyumbang esai di antologi Bredel 1994, Mochtar menulis, pembredelan itu bakal memantik perlawanan masyarakat.

“Ini saya yakini lantaran perlawanan demikian tak lain dari pengamalan atas undang-undang, konstitusi, dan dasar negara yang berlaku dan sama-sama kita santuni. Perlawanan memang selamanya bermula dari segelintir individu yang memiliki integritas dan keberanian. Tapi saya yakin bahwa perlawanan ini niscaya makin lama makin besar. Semangat zaman berada di situ,” tulis Mochtar.

Pada 4 Juni 2023, Mochtar tak lagi mengepakkan sayap. Ia wafat dalam usia menjelang 78 tahun setelah dirawat akibat serangan jantung. Dipeluk duka, penyair Yudhistira ANM Massardi di Facebook memajang karyanya, Selamat Jalan, Pangeran Malioboro. Begini sebagian teks puisi itu:

Jogja, akhir 1960-an.

Ketika masih bercelana pendek

Ketika menyusuri malam-malam Malioboro

Di buk seberang Gedung Agung

Selalu kuberharap jumpa para intelektual muda bercahaya

Mochtar Pabottingi di antaranya

Atletis, tampan, turtle neck warna krem

Dialah "Pangeran Malioboro" --

penuh kagum aku menjulukinya

Ia selalu memberi semangat si bocah gelandangan penuh mimpi

Untuk itu, Bang Mochtar, aku bersyukur, bahagia, terimakasih sepanjang hayat.

Baca juga artikel terkait HUMANIORA atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Yus Ariyanto
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono