Menuju konten utama

Mobil Holden: dari Pelana Kuda Sampai Skandal di DPR

Holden adalah mobil buatan Australia yang pernah populer di Indonesia pada awal Orde Baru. Sejarah Holden dimulai sebagai pembuat baju zirah dan pelana kuda.

Mobil Holden: dari Pelana Kuda Sampai Skandal di DPR
Iklan Holden Premier 1966. FOTO/Istimewa

tirto.id - Waktu pindah dari daratan Inggris ke benua Australia, James Alexander Holden masih belasan tahun. Pada 1856, menurut Steve Bedwell dalam Holden V Ford: The Cars, the Culture, the Competition (2012: 8-9), “imigran Inggris yang tiba empat tahun sebelumnya ini, mendirikan J.A. Holden & Co, bisnis pelana dan baju zirah di Adelaide dengan memakai namanya.”

Zaman hidupnya James Alexander Holden (1 April 1835-1 June 1887), orang bepergian dengan mengendarai kuda atau dengan kereta yang ditarik kuda. Mobil belum ada di pasaran. Kereta yang didorong mesin uap yang dibuat Nicolas-Joseph Cugnot pada 1769 baru sekadar ekperimen dan mobil buatan Karl Benz pada 1885 belum dipasarkan besar-besaran di Australia.

Pada 1885, seorang Jerman bernama Henry Frederick Frost datang dan bermitra dengan James Holden. J.A. Holden & Co pun ganti nama jadi Holden & Frost Ltd.

Menurut Bedwell, setelah cucu James, Edward Wheewall Holden, bergabung pada 1905, bisnis keluarga ini menjangkau ranah otomotif (hlm. 10-11). Dimulai dengan reparasi cat mobil pada 1908, lalu membuat sidecar untuk sepeda motor. Pada 1918, keluarga Holden lalu membangun perusahaan pembuat badan mobil bernama Holden's Motor Body Builders (HMBB). Di tahun pertama, mereka membuat 587 badan mobil. Pabrikan itu sempat membuat badan mobil untuk Ford dan General Motors.

Waktu depresi ekonomi dunia 1929 melanda, Holden kena imbasnya. Pada 1931, menurut National Treasures from Australia's Great Libraries (2005: 104), General Motors membeli HMBB dan General Motors-Holden's pun terbentuk.

Perusahaan itu harus melewati masa Perang Dunia II yang sulit. Barulah di akhir 1948, sedan yang dinamai Holden 48-215 dirilis. Dalam Still Holden Together (2009), Don Loffler menyebut mobil itu sebagai purwarupa mobil Amerika pertama dan mobil produksi Australia pertama” (hlm. 78). Pada dekade setelahnya, sedan-sedan dengan merek dagang Holden terus diproduksi. Tak hanya untuk dalam negeri, tapi juga merambah ke luar negeri. Setidaknya untuk negara-negara Asia dan Pasifik.

Masuk ke Indonesia dan Bikin Masalah

Selepas Sukarno dilengserkan, tak hanya penanaman modal asing yang masuk ke Indonesia. Setelah Undang-Undang Penanaman Modal Asing 1967 terbit, tak lama sesudah Soeharto jadi Pejabat Presiden, mobil asing juga masuk. Mulai dari mobil industri sampai mobil mewah. Holden adalah salah satu merek mobil yang datang dan sempat bikin para anggota parlemen "masuk angin".

Holden memang bukan mobil sembarangan. “Holden ini pernah mendominasi pasar Indonesia pada tahun 1960-an,” tulis Januar R. P. Batubara dalam Studi Sektor Otomotif Pasca Inpres 2/1996 (1998: 12).

Di awal-awal Orde Baru berkuasa, Holden sudah jadi bahan omongan. Pada 1967, terjadi kehebohan bertaraf nasional yang terkenal dengan nama "Holden Affair".

Orang-orang kromo melarat Indonesia yang tak sanggup membeli Holden 1967, asal tak buta huruf, bisa membaca koran-koran nasional soal anggota dewan yang ingin membeli mobil buatan Australia itu. Diberitakan, Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) telah memesan 380 unit Holden 1967 lewat perusahaan swasta di Singapura. Prosedur pembeliannya berdasarkan kerja sama antara perusahaan swasta Indonesia dan perusahaan swasta Singapura yang membuka Letter of Credit.

Kompas (16/10/1967) memberitakan, Agen General Motor di Singapura membantah keras soal parlemen Indonesia telah memesan 380 mobil Holden 1967 lewat perusahaannya. Namun, seperti dilaporkan Kompas (19/10/1967) dan Sinar Harapan (18/10/1967), Panitia Rumah Tangga (PRT) DPR-GR lah yang justru membenarkan soal adanya pemesanan mobil untuk para anggota DPR-GR. Satu unit Holden 1967 dikenakan harga Rp355.000. Pembeliannya melalui PT PAMOS.

“Pemesanan tersebut hanya untuk para anggota yang sampai kini belum pernah mendapatkan atau mempergunakan fasilitas sebagai anggota DPR-GR, sedangkan mereka yang telah membeli Mazda beberapa tahun yang lalu tidak diperkenankan lagi untuk Holden ini,” tulis Sinar Harapan (18/10/1967).

Hingga 2 Oktober 1967, sudah terdaftar 148 anggota yang membayar uang muka. Bahkan ada yang sudah lunas.

Salah seorang anggota DPR-GR mengaku kepada Sinar Harapan (19/10/1967) bahwa ada ketidakberesan dalam pembelian mobil Holden. Anggota dewan ini bahkan sudah setor uang pembelian pada PT PAMOS. Janji awal PT PAMOS adalah para pemesan akan menerima Holden impian itu dalam waktu 45 hari sesudah penyetoran uang. Namun, Holden tak kunjung ia terima. Perusahaan tersebut telah mengumpulkan uang sejumlah 10 juta rupiah dari 148 pemesan.

“Disinyalir juga bahwa penyimpanan uang indent tersebut tidak pada sebuah Bank saja, tetapi pada beberapa Bank,” tulis Sinar Harapan (19/10/1967).

Jika begitu yang dilakukan PT PAMOS, maka perusahaan ini dapat dituntut atas dasar perbuatan kriminal.

infografik holden

Munculnya Protes dan Tuntutan Pembatalan

Tentu saja muncul tuntutan agar pembelian mobil mewah di masa sulitnya ekonomi di awal Orde Baru itu dibatalkan. Kelompok mahasiswa mengirim surat terbuka kepada pimpinan DPR-GR. Surat terbuka itu ditandatangani Koordinator Kelompok Mahasiswa, yakni Mari’e Muhammad, yang belakangan pernah jadi Menteri Keuangan di tahun 1990-an. Tentu saja pimpinan DPR-GR punya mulut dan kehendak sendiri.

”Membeli atau tidak, hak masing-masing anggota. DPR-GR tidak berhak untuk memutuskan boleh tidaknya anggota DPR-GR punya mobil,” kata Sjarief Thajeb seperti dikutip Kompas (25/10/1967).

Memang tidak salah jika anggota DPR-GR itu punya mobil, meski zaman sedang sulit. Belakangan, pimpinan DPR-GR meminta anggota yang ingin membeli mengurusnya pembeliannya sendiri. Kerasnya tekanan dari masyarakat membuat DPR-GR bikin pernyataan. Pada 30 Oktober, seperti diberitakan Kompas (1/11/1967), Ketua DPR-GR Sjaichu menyatakan pembelian Holden oleh anggota DPR-GR dibatalkan.

Di antara anggota DPR-GR itu terdapat mantan mahasiswa yang ikut menurunkan Soekarno dan mencapnya sebagai "Orde Lama", lalu ikut merintis Orde Baru. “Beberapa pemimpin KAMI kemudian masuk DPR-GR, terlibat dalam birokrasinya, terlibat dalam pembelian Holden dan sebagainya,” tulis Arief Budiman dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005 (2006: 250). Adik Arief, Soe Hok-Gie, termasuk orang yang kecewa dengan sikap kawan-kawannya yang jadi anggota DPR-GR.

Kepemilikan mobil Holden ternyata tak ada korelasinya dengan kinerja para anggota parlemen. "Dari data yang dikumpulkan Sinar Harapan ternyata bahwa alasan pembelian Holden tersebut yaitu untuk menjamin kehadiran para anggota pada sidang ternyata kurang tepat. Sebab anggota yang naik Becak lebih rajin daripada yang punya mobil," tulis Sinar Harapan (19/10/1967).

Baca juga artikel terkait SEJARAH PERUSAHAAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Bisnis
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan